Tak
Sembarang Orang Bisa Menjadi Guru
Salahuddin Wahid ; Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
KOMPAS,
16 Maret
2018
Ketika calon presiden Joko Widodo
berkunjung ke Pesantren Tebuireng pada Mei 2014 dalam kaitan kampanye, saya
sampaikan bahwa masalah kita banyak, tetapi masalah utama kita ialah
penegakan hukum, reformasi birokrasi, peningkatan pertumbuhan dengan
pemerataan hasil pembangunan dan penyediaan pelayanan pendidikan yang bermutu
dan tersebar ke semua wilayah.
Kalau keempat masalah itu bisa diselesaikan
dalam 10 tahun, kita akan lari membalap negara lain. Dari keempat hal di atas
hanya pemerataan pembangunan wilayah yang bisa dijalankan dengan cukup baik,
tetapi pertumbuhannya kurang. Sebetulnya pendidikan adalah yang paling
penting bagi masa depan Indonesia tetapi itu hanya bisa diwujudkan dengan
mewujudkan terlebih dulu yang lain.
Kita memberi penghargaan terhadap
Wakil Presiden Jusuf Kalla yang telah melakukan oto-kritik terhadap kinerja
pemerintah, dengan mengatakan bahwa mutu pendidikan Indonesia di dunia
internasional termasuk yang rendah. Bahkan di lingkungan ASEAN, Indonesia
berada di papan tengah, kini sudah di bawah Vietnam yang dulu berada di
belakang kita. Padahal, anggaran pendidikan kita sejak 2010 sudah naik
tajam dan kini sudah mencapai Rp 400 triliun. Sebenarnya kita mengalami
kemajuan tetapi negara lain seperti Vietnam jauh lebih maju.
Masa lalu
Dengan kondisi seperti di atas
seorang jurnalis di London bernama Elizabeth Pisani membuat tulisan berjudul
“Indonesian kids don’t know how stupid they are”. Kondisi seperti di atas
sudah berlangsung lama sekali, sudah berganti menteri berkali-kali, tetapi
tidak banyak terjadi perbaikan. Penyakitnya sudah diketahui, tetapi belum ada
perbaikan memadai.
Kalau dibandingkan soal ujian pada
masa 40-50 tahun lalu dengan soal ujian masa sekarang akan terlihat bahwa
soal ujian masa lalu lebih berat. Juga kalau dibandingkan soal ujian masa
kini di Indonesia dengan Singapura, Thailand, Malaysia, kita lebih mudah.
Tetapi kita tahu bahwa hasil ujian nasional kita untuk matematika secara
nasional rata-rata tidak memuaskan, angkanya di bawah 50. Kemungkinan besar
untuk mata pelajaran IPA juga seperti itu.
Beberapa bulan lalu Menteri Keuangan
Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi membuat tulisan
bersama di majalah Tempo yang mengungkap keberhasilan mereka amat dibantu
oleh kehebatan SMA di mana mereka belajar. Generasi saya (20 tahun lebih tua
dari pada kedua menteri hebat itu) punya kesan yang sama. Artinya guru-guru
kami saat itu secara nasional rata-rata bagus.
Saya mempunyai seorang sahabat, Ir
Abdul Kadir Baraja. Setamat SMP pada 1963 dia mendaftar masuk SGA karena
ingin menjadi guru. Ternyata dia tidak lulus ujian masuk. Dia bisa masuk
tanpa tes ke salah satu SMA terbaik di Surabaya lalu masuk ke ITS.
Setelah menjadi insinyur dia menjadi pengusaha yang berhasil dan mendirikan
sekolah yang menjadi salah satu sekolah terbaik di Surabaya. Artinya pada
saat itu untuk menjadi guru diperlukan syarat yang tidak ringan. Tidak
sembarang orang boleh dan bisa menjadi guru. Di sejumlah negara hanya
peringkat 1-10 yang bisa menjadi guru.
Saya teringat sebuah tulisan Prof
Dr Slamet Iman Santoso sekian puluh tahun lalu tentang hebatnya guru-guru
beliau yang orang Belanda. Guru-guru itu mampu membangkitkan rasa ingin tahu
yang kuat di dalam diri para murid sehingga mau belajar tanpa disuruh. Ini
membuat siswa akan belajar seumur hidup. Guru-guru Belanda itu mampu
menanamkan rasa tanggung jawab dan percaya diri di dalam diri murid tetapi
tahu batas kemampuan. Satu-satunya kekurangan Belanda ialah terlalu sedikit
mencetak guru-guru yang hebat itu, yang terdiri dari bangsa Indonesia.
Kesimpulannya untuk bisa menghasilkan guru yang hebat seperti itu,
hanya orang berbakat dan punya kemampuan hebat yang bisa menjadi guru.
Masa kini
Data Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan pada Desember 2016 mengungkap jumlah keseluruhan guru mencapai
2.922.826 orang terdiri dari 1,43 juta (49 persen) guru PNS dan 1,49 juta (51
persen) guru swasta. Dari guru non PNS, 812.000 (54,5 persen) adalah
guru honorer, yang sistem perekrutan dan juga pengelolaannya belum jelas.
Kurun 2016-2020 diperkirakan ada 317.000 guru akan pensiun.
Di samping itu ada informasi yang
menyebutkan, pada 2016 dan tahun-tahun selanjutnya akan terdapat lebih dari
250.000 sarjana pendidikan yang akan lulus. Selain 24 Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan (LPTK) eks IKIP serta 24 fakultas keguruan dan ilmu
pendidikan yang menjadi Perguruan Tinggi Negeri (PTN), juga terdapat LPTK
swasta sebanyak 410 lembaga. Terdapat 5.579 program studi pendidikan di
lembaga negeri dan swasta dengan jumlah mahasiswa sekitar 1,18 juta dan lebih
dari 100.000 lulusan per tahun. Ketua Asosiasi Rektor LPTK Negeri
se-Indonesia Syawal Gultom menyatakan lulusan LPTK kurang kompetensinya
menjadi guru.
Sejumlah besar guru (PNS)
mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG). Dengan nilai kelulusan 80, terdapat
sekitar 41.000 guru tidak lulus. Terpaksa dilakukan UKG ulang dengan nilai
kelulusan diturunkan menjadi 65. Guru yang lulus UKG ulang mendapat
sertifikat profesi guru. Yang belum lulus menjalani program belajar mandiri
untuk ikut UKG ulang berikutnya. Materi UKG terkait dengan kemampuan
pedagogik (kependidikan) dan profesional (keilmuan sesuai mata pelajaran yang
dipegang.
Ir Abdul Kadir Baraja yang
mendapat Dr Honoris Causa dari Universitas Negeri Surabaya, memahami betul
masalah utama kita ialah kurangnya jumlah guru yang baik. Maka dia berjuang
mewujudkan niat mulia untuk menghasilkan guru yang baik. Dia mendirikan STKIP
berasrama untuk mewujudkan cita-citanya itu. Dia mencari calon guru yang bisa
lolos ujian masuk setara ujian masuk ke ITB, Universitas Indonesia dan
lain-lain.
Mereka tidak usah membayar biaya apapun. Ternyata tidak mudah mencari calon seperti itu. Dari kebutuhan 50 orang hanya diperoleh tidak sampai 30. Masalah lain yang akan timbul ialah bagaimana memberi kesejahteraan yang memadai bagi guru-guru yang baik itu seperti negara-negara lain menghargai guru-guru mereka.
Dugaan saya, sekitar sepertiga
jumlah guru memenuhi syarat, sekitar sepertiga jumlah guru tidak memenuhi
syarat tetapi bisa dilakukan pembinaan untuk bisa memenuhi syarat dan sekitar
sepertiga amat sulit untuk bisa diperbaiki. Kalau mau lebih ketat, yang amat
sulit untuk diperbaiki bisa mencapai sekitar separuh. Pertanyaannya,
bagaimana cara kita membina mereka yang masih mungkin dibina. Lalu bagaimana
nasib mereka yang tak memenuhi syarat dan bagaimana mencari pengganti mereka
yang harus diganti dan tak bisa dibina, karena jumlahnya amat banyak.
Jadi kita akan menghadapi masalah
yang sama seperti yang dihadapi oleh sejumlah profesi. Setiap tahun, pasokan
tenaga cukup banyak dan kebutuhannya juga cukup banyak. Tetapi kebutuhan itu
tidak terpenuhi karena dari sekian banyak pasokan itu, hanya sedikit yang
memenuhi standar internasional. Ketidakmampuan kita memenuhi kebutuhan akan
guru yang baik akan berdampak pada masa depan bangsa. Bonus demografi tidak
akan banyak manfaatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar