Kita
Butuh Nyepi
I Wayan Westa ; Pekerja Kebudayaan;
Tinggal di Denpasar
|
KOMPAS,
16 Maret
2018
Nyepi menjenguk kita
kembali, satu perayaan tahun baru Saka yang tak dirayakan dengan
ingar-bingar. Tak ada kembang api dan
suara terompet, tak ada tepuk tangan, tak ada pesta jalanan dengan suara gemuruh. Sungguh antiklimaks
dari riuh keseharian sepanjang tahun.
Dan Nyepi menjadi semacam
drama kesunyian di mana kegaduhan dipulangkan ke dalam hening. Dan kita kemudian menyepakati; Nyepi adalah cara
ampuh menge-nol-kan diri. Ke titik inilah
semua drama hidup dikembalikan: dari nol menuju nol, dari sunyi menuju
sunyi.
Semua atribut badani
diistirahatkan, indria-indria dikendalikan. Ini ritual agung ke dalam diri
paling dramatik— poya-poya, nafsu rendah, kerakusan akan materi ditekuk ke
titik nadir, bahwa jalan materi
bukanlah tempat bersandar abadi.
Musuh
terbesar
Nun dalam perjuangan
paling dramatik itu, lawan paling tangguh
manusia adalah dirinya sendiri. Bukankah globalisasi, kapitalisme, dan
konsumerisme telah menyentuh sisi-sisi paling dasariah manusia? Betapa
mahalnya hening hari ini di tengah-tengah
revolusi informasi yang telah mengubah penduduk bumi menjadi homo digital, hal mana dunia bisa
direngkuh dalam satu lentikan ujung jari di layar ponsel cerdas. Ini adalah
dunia senyap sekaligus dunia yang
gaduh.
Satu misteri bumi disulap menjadi kian datar. Lewat
kebudayaan nirkabel, manusia berhadapan dengan sejumlah kemungkinan dan
pilihan. Inilah “durga maya”, sesuatau yang dianggap misteri sekaligus
menjadi realitas. Eric Schmidt bersama
Jared Cohen, lewat buku bertajuk The New Digital Age, diterbitkan KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia) dengan judul Era Baru Digital (2014), mengingatkan kita tentang
lompatan besar itu.
Dalam kata pengantar cukup
menegangkan, penulis The New Digital Age itu mencatat, dalam sejarah planet
ini, internet-lah eksperimen terbesar yang melibatkan anarki. Setiap menit,
ratusan juta orang membuat dan menyerap konten digital yang tak terhitung
banyaknya, dalam dunia online yang tak terikat pada hukum bumi. Kemampuan
baru berekspresi dan menggerakkan informasi dengan leluasa pun melahirkan
lanskap virtual mahakaya yang kita kenal hari ini.
Bayangkan setiap hubungan
yang ditempa, setiap perjalanan yang direncanakan, setiap pekerjaan yang
ditemukan, juga setiap mimpi yang terlahir, mendewasa, dan mewujud lewat
platform ini. Sampai di sini, Jared Cohen bersama Eric Schmidt pun mewanti,
“Renungkan juga semua fenomena yang dimungkinkan ketiadaan kendali
atas-ke-bawah: penipuan online, kampanye hitam, situs kelompok pembenci, dan
ruang-ruang obrolan teroris. Inilah internet, ruang nirpenguasa terbesar
dunia”.
Krisis
kejiwaan dan moral
Dan dalam dunia yang riuh sekaligus senyap itu Nyepi kita
butuhkan untuk mengontrol insting-insting primata kita yang liar, menemukan
kemanusiaan kita, menyadari hening itu
menjadi kebutuhan menghaluskan jiwa dari kekasaran-kekasaran libido primata.
Lawan ketamakan sesungguhnya adalah kesederhanaan. Satu aras hidup
dikendalikan dengan satu kata; cukup.
Itulah Nyepi, upaya
terus-menerus merawat jiwa. Hidup bukan melulu menyangkut soal bagaimana rasa lapar dan haus dipuaskan, nafsu-nafsu dikobarkan,
semua dikuasai. Dalam semesta hidup ada jiwa yang perlu dirawat, karenanya ia perlu nutrisi jiwa (amreta jiwa). Setelah
menyadari bekapan tubuh yang rapuh,
jiwa pun sadar, bahwa sejatinya
ia adalah hening, melampaui kehadiran
dan ketidakhadiran. Melampaui masa kini, masa lalu, dan masa depan. Itulah
parama artha sunya, jiwa yang mengatasi hidup.
Nyepi adalah persoalan
merawat jiwa, persoalan merawat batin di dalam. Dalam kehidupan berbangsa
misalnya, kita perlu memeriksa ulang pendekatan-pendekatan pembangunan kita,
yang selama ini melulu mengejar pertumbuhan ekonomi. Willy Brandt, dari TheIndependent Comission
on International Development Issues, Leppenas, 1980, jauh-jauh hari telah
mengingatkan, mengajukan diadakannya penilaian kembali atas
prioritas-prioritas, pertimbangan-pertimbangan non-ekonomi diperhitungkan
secara bersungguh-sungguh.
Pertimbangan-pertimbangan
non-ekonomi ini penting disadari dalam rangka pembangunan jiwa. Proyek-proyek
fisik mesti diimbangi dengan proyek-proyek meta-fisik. Pemberdayaan sedalam-dalamnya
peran kebudayaan dan peran seni dalam
pengertian lebih luas akan menyalakan
gen peradaban batin bangsa ini.
Betapa di situ, seluruh dimensi pembangunan tak cuma menyentuh pembangunan
fisik, tapi turut serta merawat jiwa anak-anak bangsa.
Krisis semesta hidup yang
kita alami hari ini boleh jadi berhulu sumber pada krisis kejiwaan– krisis
moral. Karena yang sesungguhnya terjadi jiwa-lah yang lupa kita rawat.
Praktik pendidikan jauh dari spirit
pemuliaan hidup. Seperti mencetak robot-robot tak berjiwa. Otak mereka
cerdas, tapi jiwa-jiwa mereka lemah, moral mereka tak menyala. Kita lupa
mengajarkan kesederhanaan, kita lupa mendidik mereka memaknai hidup, saling
menghormati dan bertanggung jawab.
Kita tahu, kemulian itu sejatinya adalah kebaikan-kebaikan kecil yang
menyala di setiap sanubari anak bangsa.
Melawan
ketamakan diri
Dan kita semua
sesungguhnya butuh Nyepi. Kita butuh energi untuk melawan ketamakan diri
sendiri. Bila sehari sebelum Nyepi orang Bali menggelar ritual Tawur, makna
simboliknya tak semata menggembalikan unsur pembangun semesta hidup untuk
menjadi segar kembali, akan tetapi ini
sekaligus menjadi ajang “pertempuran” tak pernah henti. Pertempuran melawan musuh-musuh di
dalam diri, melawan; ketamakan,
kemalasan, kedengkian, kemarahan, kebodohan, dan karakter-karakter rendah
lainnya.
Nyepi bukanlah pertunjukan
kolosal yang riuh, bukan perjalanan keluar dengan pesta melimpah, penuh sorak
gempita. Nyepi menjanjikan bahwa keheningan itu adalah juga nutrisi jiwa,
yang terlalu lama kita lupakan. Keheningan yang kelak membuat jiwa-jiwa
tersenyum, seperti senyum matahari saat fajar menjenguk. Kita memang telah
lama membiarkan jiwa ini tak menyala,
tertekan sejumlah problem tubuh dan mental. Karenanya para tetua Nusantara-Bali memberi jalan, temukan
hening di dalam, saat mana, niat rendah, indria-indria liar bertemu jiwa
hening di dalam — di situ semua yang kasar, kembali pada ke maha-heningan. Itulah sunyi yang
membebaskan.
Bila esok hari Nyepi jatuh bertepatan dengan hari suci
Saraswati, hari pemuliaan Tuhan karena telah menurunkan ilmu pengetahuan
untuk membebaskan derita hidup manusia, segera kita sadar, tugas penting ilmu
pengetahuan itu untuk memuliakan hidup dan mengharmonikan dunia. Tentu hanya
mereka yang telah menemukan hening dalam diri bisa melakukan itu– karena ia
bebas dari dialektika, ia telah
melampaui tubuh dan pikiran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar