Konstruksi
Kebangsaan Partai Politik
A Bakir Ihsan ; Dosen Ilmu Politik dan Wakil Dekan FISIP
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KOMPAS,
16 Maret
2018
Sesuai penetapan Komisi Pemilihan
Umum (KPU), partai politik yang bertarung pada Pemilu 2019 bertambah dari 10
menjadi 14. Belakangan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menetapkan PBB
sebagai peserta pemilu. Dengan bertambahnya jumlah partai, pilihan masyarakat
semakin banyak, walaupun dengan distingsi yang sulit ditegaskan. Menjelang
pemilu kelima di era reformasi, perlu diajukan evaluasi terkait manfaat
partai bagi konstruksi kebangsaan.
Terngiang kembali gugatan dua
pendiri partai sekaligus bapak bangsa; Thomas Jefferson dan Soekarno terhadap
partai politik. Menurut Jefferson (1789); “If I could not go to heaven but
with a party, I would not go there at all (kalau saya tidak bisa ke surga
tanpa sebuah partai politik, saya lebih memilih untuk tidak pergi ke sana
sama sekali.” Dan bagi Soekarno (1956); “Marilah sekarang bersama-sama kita
menguburkan semua partai!”.
Dua pernyataan tersebut
merefleksikan harapan sekaligus kekhawatiran. Partai diharapkan bisa
memobilisasi dan mengartikulasi aspirasi, tapi dapat pula meruntuhkan
kolektivitas bangsa karena partisi yang lebih ditonjolkan. Partai yang
merepresentasikan irisan sosial dieksploitasi melampaui dasar kebangsaan.
Tampaknya kekhawatiran itu masih cukup relevan melihat fenomena parpol saat
ini yang lebih memikirkan kepentingan diri daripada konstituennya.
Akibatnya, seperti dilansir
beberapa lembaga survei, opini masyarakat terhadap partai politik relatif
buruk. Menurut hasil survei Indobarometer, Maret 2017, sebanyak 51,3 persen
masyarakat menilai partai politik buruk. Akibatnya masyarakat merasa tidak
dekat dengan partai politik (62,9 persen). Hal serupa juga ditunjukkan oleh
hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Oktober 2016.
Terjadi penurunan tingkat
kedekatan masyarakat terhadap partai politik dari 10 persen menjadi 9 persen.
Opini buruk dan jarak masyarakat terhadap partai politik memperlihatkan belum
maksimalnya fungsi artikulasi publik. Bahkan dalam kasus tertentu partai
politik menjadi penyumbang menguatnya sekat primordial untuk kepentingan
pragmatis.
Problem institusi
Dua tantangan terbesar agenda
kebangsaan yang cenderung menguat saat ini adalah, pertama, intoleransi.
Gejala intoleransi semakin kasat mata melalui penegasian terhadap kelompok
yang berbeda atau memberi ruang bagi munculnya primordialisme.
Partai, yang oleh sebagian ahli
diartikan sebagai partisi (partition) terjebak dalam penguatan sekat sosial
untuk kepentingan pragmatis. Akibatnya, kapasitas, kapabilitas, dan
integritas baik secara personal maupun institusional terabaikan karena pertimbangan
emosional-primordial sesaat. Isu primordial, khususnya agama, menjadi amunisi
karena diyakini dapat mengerek elektabilitas. Di sinilah simpang jalan
partai; antara kepentingan suara dan bangsa.
Kedua, korupsi. Hasil survei
Global Corruption Barometer (Kompas, 8/3/2017) DPR sebagai kawah eksistensi
anggota partai, jadi lembaga terkorup. Temuan ini tampaknya terkonfirmasi
oleh bertambahnya jumlah tersangka anggota Dewan yang “tertangkap” Komisi
Pemberantasan Korupsi. Kepentingan “citra” diri politisi dan kelompoknya
telah mendistorsi orientasi kebangsaan dengan cara korupsi.
Kedua problem tersebut hadir bukan
semata problem moral (nilai), tetapi juga karena secara institusi, partai
politik belum memiliki komitmen kuat dalam hal anti korupsi dan penguatan
toleransi.
Dari 10 partai yang ada di DPR RI
saat ini, tidak ada yang secara eksplisit menyebut urgensi toleransi sebagai
landasan strategis dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah tangga (AD/ART)-nya.
Sementara dalam hal korupsi, hanya ada tiga partai yang secara eksplisit
menyebut secara tersurat melawan korupsi. Namun secara faktual, tidak ada
satu partai pun yang anggotanya bersih dari korupsi.
Sayap demokrasi
Selain pada ranah institusi,
problem juga hadir pada substansi demokrasi yang masih berkepak sebelah.
Layaknya burung, demokrasi memiliki dua sayap yang saling berkelindan
menerbangkan demokrasi, yaitu liberty (kebebasan) dan equality (kesetaraan).
Secara umum, perayaan demokrasi selama ini sudah beranjak dari prosedur ke
substansi.
Dinamika jumlah partai politik, tingkat partisipasi masyarakat,
dan ruang luas menyampaikan pendapat, merupakan bukti adanya kebebasan
(liberty) sebagai aktualisasi substansi demokrasi.
Sayangnya sayap liberty tak
diimbangi kekuatan equality. Akibatnya muncul apa yang Geoff Mulgan (1994)
sebagai the dictatorship of the majority atau dalam bentuk lain yang oleh
Robert Michels (1968) disebut oligarki. Kebebasan jadi bancaan yang dinikmati
para pemilik modal sosial, ekonomi, dan politik di tengah ketakberdayaan
(disempowerment) rakyat banyak. Kondisi ini kian memperburuk agenda
kebangsaan yang menempatkan seluruh anak bangsa setara.
Problem pada ranah institusi
partai dan substansi demokrasi tersebut memerlukan kerja serius. Terlebih
melihat arah partai yang hanya membesar secara kuantitas (prosedur), tapi
minus secara kualitas (substansi).
Paling tidak, tiga langkah
komprehensif berikut dapat membantu partai politik menjadi penguat
kebangsaan. Pertama, rekonstruksi struktural. Langkah ini memerlukan kemauan
politik (political will) partai politik untuk memastikan aspek kebangsaan
sebagai landasan eksistensinya diimplementasikan secara terstruktur dan
terukur. Minimal pemberian sanksi berat terhadap kadernya yang korup atau
memainkan isu SARA (Suku Ras Agama dan Antargolongan) dapat mempertegas
identitas kebangsaan partai.
Kedua, transformasi kultural.
Urgensi fungsi sosialisasi politik dan penguatan partisipasi warga merupakan
momentum partai politik untuk melekatkan dirinya pada warga. Fungsi ini dapat
mereorientasikan politik warga dari partai sebagai patron yang “menghidupi”
dengan pundi-pundi menjadi partner yang saling membutuhkan. Hal ini sekaligus
menjadi langkah pemberdayaan (empowerment) warga yang dalam jangka panjang,
warga bisa sukarela menghidupi partai.
Ketiga, kaderisasi meritokratif.
Problem kaderisasi terjadi karena partai politik lebih mementingkan
keuntungan instan. Merekrut publik figur atau pemilik modal tanpa melalui
proses kaderisasi bukan hanya merusak sistem, tetapi juga merendahkan
ideologi partai. Kaderisasi melalui sistem merit akan melahirkan calon
pemimpin yang berintegritas.
Dengan langkah komprehensif
tersebut, partai dapat memperkuat peran kebangsaannya melalui beragam varian
aktualisasinya. Bukti basis kebangsaan partai akan terlihat dari kader yang
berintegritas (tidak korup) dan inklusif (toleran) yang sekaligus menjadi
bagian dari institusionalisasi partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar