Revitalisasi
Agama, Pancasila, dan NKRI
Choirul Mahfud ; Dosen Studi Islam Institut Teknologi Sepuluh Nopember
(ITS) Surabaya
|
JAWA
POS, 06 Maret 2018
POKOK
bahasan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kembali menjadi kajian
serius di tengah hiruk pikuk masalah intoleransi dan patologi sosial, agama,
ekonomi, serta politik lokal dan nasional. Belum lama ini, pemuka agama di
seluruh Indonesia berkumpul dalam forum musyawarah besar yang membahas
problematika kebangsaan, NKRI, Pancasila, dan kebinekaan.
Inisiasi
forum dialog antar pemuka agama semacam itu memang masih relevan dan penting
dilakukan. Terutama sebagai ikhtiar pencegahan dini dari masalah konflik dan
disintegrasi bangsa. Apalagi, menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019,
dimungkinkan adanya segregasi, lemahnya kohesi sosial, menguatnya sentimen
dan perbedaan ideologi politik, serta kekhawatiran terjadinya ancaman
persatuan dan kesatuan di antara seluruh elemen masyarakat dalam NKRI.
Dalam
konteks ini, revitalisasi agama dan Pancasila untuk NKRI merupakan momen yang
tepat untuk direnungkan semua pihak. Praktisnya, kontribusi dan peran utama
pemuka agama dan negara, media massa, serta masyarakat sipil perlu terus dioptimalkan
demi keutuhan, kerukunan, keharmonisan, dan kepentingan nasional menuju
kemajuan bangsa.
Karena
itu, kini disadari pemerintah bahwa bangsa ini mem- butuhkan energi besar
dari semua elemen bangsa dan pemangku kepentingan kekuasaan dalam merawat NKRI.
Tidak saja dibutuhkan kekompakan dari kaum alit dan elite agama, tetapi juga
tokoh politik, budaya, sosial, ekonomibisnis, dan lainnya. Energi besar itu
bisa berupa gagasan pikiran, pengalaman, dan berbagai alternatif upaya
penanganan masalah berbasis solusi untuk menjaga kerukunan dan merawat
keutuhan bangsa dari segala macam tantangan, ancaman, serta problematika
kehidupan berbangsa.
Belakangan
ini, keresahan dan kegelisahan publik perlu dan penting direspons.
Kegelisahan itu terutama disebabkan adanya berbagai peristiwa kekerasan,
penganiayaan, penyerangan, persekusi, hingga pembunuhan kepada tokoh serta
pemuka agama di berbagai daerah di Indonesia. Korbannya, antara lain, guru,
ustad, ulama, pastor, serta tokoh agama Islam, Buddha, Hindu, Kristen, dan
lainnya di sejumlah daerah di Bandung, Jawa Barat, dan Jogja. Ditengarai,
pelakunya adalah orang gila atau kurang normal yang memiliki niat jahat.
Bahkan, ada yang identitas dan motivasi pelakunya belum diketahui secara
jelas dan pasti.
Fakta
dan berita tersebut tidak hanya meresahkan publik, tetapi juga menjadi
pekerjaan rumah bagi seluruh elemen masyarakat, aparat pemerintah, dan tokoh
agama untuk selalu waspada. Juga, harus dipikirkan solusi pencegahannya agar
tidak menjalar dan berlarut-larut hingga mengancam ketenteraman kehidupan
masyarakat di negeri ini.
Gerakan
411, 212, dan 112 yang dikenal dengan aksi bela Islam pada akhir 2017 masih
menyisakan tanda tanya sejumlah pihak hingga saat ini. Di sisi lain, muncul
gerakan klaim paling Pancasialis yang menimbulkan pro-kontra di sebagian
masyarakat lainnya. Dalam konteks ini, sudah seharusnya semua pihak untuk
terus saling introspeksi dan evaluasi diri. Lebih baik bila bertemu, duduk
bersama, berdialog, dan bermusyawarah secara baik-baik demi persatuan dan
kesatuan NKRI.
Disadari
bahwa Indonesia bukanlah negara agama. Namun, agama memiliki sumbangan besar
dalam menyokong perjalanan kehidupan bangsa berlandasan Pancasila. Karena
itu, sila pertama Pancasila meneguhkan kalimat ’’Ketuhanan Yang Maha Esa’’.
Demikian pula sila kedua, ketiga, keempat, dan kelima dalam Pancasila yang
senapas dengan nilai, eksistensi, serta kontribusi agama dalam bernegara.
Sebagaimana
diungkapkan Din Syamsuddin selaku utusan khusus Presiden Jokowi dalam urusan
perdamaian, hubungan Pancasila dan agama tidak perlu dipersoalkan, tetapi
perlu direaktualisasikan. Pancasila merupakan warisan sejarah bangsa
Indonesia untuk kerukunan bangsa dan perdamaian dunia.
Dalam
konteks ini, bisa dipahami bahwa Pancasila memiliki dimensi internal dan
eksternal. Secara internal, Pancasila menjadi alat pemersatu keragaman suku,
bahasa, budaya, dan agama di Indonesia. Dengan Pancasila, ada titik temu
sekaligus jalan tengah untuk menjawab masalah perbedaan di tengah masyarakat
multikultural.
Secara
eksternal, Pancasila sesungguhnya juga memiliki sumbangan bagi peradaban dan
perdamaian dunia yang berlandasan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan berbasis permusyawaratan, dan keadilan bagi seluruh masyarakat
dunia. Masalahnya, bagaimana semua pihak bisa terus melakukan revitalisasi
Pancasila dalam kehidupan global dan lokal? Tentu diperlukan proses yang
berkelanjutan dan berkemajuan yang melibatkan seluruh elemen bangsa.
Rasanya,
intensitas dialog berbasis solusi untuk kerukunan antarelemen masyarakat
menjadi kata kunci untuk meredam berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan.
Lebih dari itu, dialog bersama pemuka agama dan pemerintah menjadi media
komunikasi, koordinasi, serta update informasi terkini problem internal dan
eksternal antarorganisasi komunitas keagamaan dan kebangsaan di negeri ini.
Melalui
dialog dan forum musyawarah, diharapkan ada jalan keluar serta solusi jangka
pendek, menengah, dan panjang dalam menata kembali kehidupan berbangsa dan
bernegara berlandasan pilar kebangsaan Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD
1945, dan NKRI.
Dalam
konteks ini, merevitalisasi agama dan ideologi Pancasila sebagai solusi jalan
tengah sepanjang masa perlu terus diupayakan. Pasalnya, Pancasila tetap
memerlukan upaya sosialisasi dan revitalisasi terus-menerus agar dipahami dan
diamalkan seluruh elemen masyarakat sesuai dengan maksud dan tujuan bernegara
berdasar amanat konstitusi serta sejarah berdirinya bangsa Indonesia. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar