Ekonomi-Politik
Ujaran Kebencian
Masdar Hilmy ; Guru Besar Ilmu Sosial dan Wakil Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Ampel Surabaya
|
JAWA
POS, 05 Maret 2018
HARIAN
ini menurunkan berita utama tentang pengungkapan sindikat penyebar berita
bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) oleh Polri selama tiga hari
berturut-turut (1–3/3/2018). Yang menggelikan, tersangka ujaran kebencian
membawa-bawa nama ’’Muslim’’ ke dalam sindikasinya (The Family Muslim Cyber
Army). Sebuah paradoks yang sulit diterima nalar sehat. Pelaku menyebarkan
berita bohong terkait kebangkitan PKI, penculikan ulama, pelarangan azan, dan
perusakan tempat ibadah.
Pengungkapan
sindikasi tersebut mengindikasikan negeri ini tengah berada dalam darurat
hoax dan ujaran kebencian. Produksi hoax dan ujaran kebencian begitu
membuncah melalui medsos. Tampaknya, pembuatan hoax dan ujaran kebencian
sudah menjadi industri baru yang menggiurkan. Para pelaku kejahatan tersebut
tidak bekerja atas dasar kesadaran ideologis-religius. Mereka bekerja atas
dasar logika keuntungan dan ideologi kebencian.
Artinya,
ada logika keuntungan ekonomi-politik di balik setiap pemberitaan kabar
bohong dan ujaran kebencian. Mereka tidak mungkin bekerja tanpa pasokan dana
dari kelompok yang berkepentingan. Pertemuan antara pemesan berita dan pelaku
kejahatan membentuk sebuah simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan.
Jika dugaan ini benar, para pelaku telah menanamkan benih-benih disharmoni dan
disintegrasi sosial gara-gara pemberitaan yang tidak benar.
Tentu
saja kita tidak boleh meremehkan eskalasi ujaran kebencian. Sekalipun
gelombang ujaran kebencian belum berhasil menciptakan kekacauan sosial,
ujaran-ujaran tersebut akan meninggalkan prasangka, stigma, dan stereotipe
sosial yang bertahan lama dalam memori kolektif masyarakat yang sulit
dipulihkan. Prasangka dan stigma sosial itulah yang pada tahap selanjutnya
mempertebal segregasi dan fragmentasi sosial yang dapat dikonversi menjadi
konflik sosial di kemudian hari.
Terungkapnya
jaringan pembuat hoax dan ujaran kebencian lewat medsos mengingatkan kita
kepada kelompok ’’Saracen’’ yang melakukan hal yang sama di Facebook beberapa
saat lalu. Mereka merupakan sindikat pembuat ujaran kebencian yang dibayar
oleh pemesan seharga Rp 75 juta hingga Rp 100 juta untuk satu proyek. Kita
bisa membayangkan besarnya sirkulasi dana untuk membiayai sejumlah proyek
yang melibatkan banyak pemesan dan pelaku. Di tengah berbagai problem
struktural yang mengimpit masyarakat kita, hadirnya tuntutan (demand)
melahirkan peluang pekerjaan (supply). Akibatnya, kebencian pun dikonversi
menjadi uang.
Dengan
demikian, para pelaku kejahatan digital merupakan kelompok profesional yang
menjalankan bisnisnya atas dasar keuntungan ekonomi belaka. Mereka tidak
peduli atas dampak destruktif pemberitaan yang mereka sebarkan di medsos.
Mereka tahu betul bagaimana cara mengaduk-aduk emosi pembaca, yakni melalui
konten SARA. Penelitian menunjukkan bahwa konten yang paling sering diklik
dan dibagikan adalah yang mampu menggerakkan emosi pembaca.
Kenyataan
itu menunjukkan terciptanya ruang ekonomi-bisnis baru di tengah masyarakat
kita akibat derasnya laju teknologi dan informasi. Ternyata kegagapan dan
kegagalan kita mengantisipasi derasnya laju teknologi-informasi akan
menyisakan sejumlah struktur kesempatan (opportunity
structure) bagi munculnya modus-modus baru kejahatan digital sekaligus
problem sosial yang destruktif. Kenyataan itu diperburuk oleh absennya peran
kelas menengah sosial dan kaum terdidik dalam memfilter secara kritis
berbagai pemberitaan tentang ujaran-ujaran kebencian tersebut.
Bahkan,
berita bohong dan ujaran kebencian itu ternyata banyak diunggah dan
dikonsumsi oleh kaum terpelajar yang berbasis di kampus-kampus kita. Itu
menunjukkan bahwa tingkat pendidikan atau keterpelajaran seseorang tidak
berkorelasi langsung terhadap tingkat literasi media yang dimilikinya. Hal
itu sekaligus mengindikasikan bahwa banyak kaum terpelajar kita tidak mampu
melakukan proses-proses validasi dan verifikasi kebenaran terkait dengan
setiap pemberitaan hoax dan ujaran kebencian di medsos.
Akibatnya,
kegaduhan-kegaduhan sosial yang berawal dari unggahan berita bohong dan
ujaran kebencian di medsos justru banyak melibatkan orang ’’pintar’’ tersebut.
Mereka justru berkontribusi menciptakan prasangka, stigma, dan stereotipe
negatif yang berujung pada friksi dan tergerusnya kohesi sosial masyarakat
kita. Untungnya, masyarakat kita tidak mudah dikompori dan diadu domba.
Beberapa berita tentang penganiayaan tokoh-tokoh agama kita ditanggapi secara
dingin, tanpa reaksi balasan berlebihan yang dapat memperkeruh suasana.
Itulah salah satu kekenyalan sosiologis masyarakat kita yang patut
diapresiasi.
Memang
kita sudah punya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang telah disempurnakan
menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE. Dalam UU tersebut,
sudah diatur secara detail dan lengkap jenis-jenis sanksi hukuman bari para
pelanggar. Di antaranya, ancaman hukuman yang bervariasi sesuai dengan jenis
dan tingkatan kejahatannya: 4 tahun penjara.
Melihat
kondisi masyarakat kita yang tengah dikepung gelombang berita bohong dan
ujaran kebencian, tidak ada pilihan lain kecuali penegakan hukum (law enforcement) yang tegas dan tuntas
terhadap para pelanggar.
Di
tingkat akar rumput, hal yang perlu dilakukan adalah penguatan dosis
rasionalitas publik melalui media
literacy dalam rangka menciptakan kekenyalan sosiologis dari gempuran
pesan-pesan bohong dan ujaran kebencian dimaksud. Masyarakat perlu disadarkan
bahwa di balik setiap ujaran kebencian yang mereka baca melalui medsos selalu
ada tangan-tangan kotor (dirty hands)
yang berusaha mengail di air keruh. Berita-berita tersebut dibuat oleh para
profesional yang menghendaki keuntungan ekonomi belaka tanpa mau peduli
terhadap dampak pemberitaan yang telah dibuatnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar