Rabu, 14 Maret 2018

Ekonomi-Politik Ujaran Kebencian

Ekonomi-Politik Ujaran Kebencian
Masdar Hilmy  ;   Guru Besar Ilmu Sosial dan Wakil Direktur Pascasarjana
UIN Sunan Ampel Surabaya
                                                      JAWA POS, 05 Maret 2018



                                                           
HARIAN ini menurunkan berita utama tentang pengungkapan sindikat penyebar berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) oleh Polri selama tiga hari berturut-turut (1–3/3/2018). Yang menggelikan, tersangka ujaran kebencian membawa-bawa nama ’’Muslim’’ ke dalam sindikasinya (The Family Muslim Cyber Army). Sebuah paradoks yang sulit diterima nalar sehat. Pelaku menyebarkan berita bohong terkait kebangkitan PKI, penculikan ulama, pelarangan azan, dan perusakan tempat ibadah.

Pengungkapan sindikasi tersebut mengindikasikan negeri ini tengah berada dalam darurat hoax dan ujaran kebencian. Produksi hoax dan ujaran kebencian begitu membuncah melalui medsos. Tampaknya, pembuatan hoax dan ujaran kebencian sudah menjadi industri baru yang menggiurkan. Para pelaku kejahatan tersebut tidak bekerja atas dasar kesadaran ideologis-religius. Mereka bekerja atas dasar logika keuntungan dan ideologi kebencian.

Artinya, ada logika keuntungan ekonomi-politik di balik setiap pemberitaan kabar bohong dan ujaran kebencian. Mereka tidak mungkin bekerja tanpa pasokan dana dari kelompok yang berkepentingan. Pertemuan antara pemesan berita dan pelaku kejahatan membentuk sebuah simbiosis mutualisme yang saling menguntungkan. Jika dugaan ini benar, para pelaku telah menanamkan benih-benih disharmoni dan disintegrasi sosial gara-gara pemberitaan yang tidak benar.

Tentu saja kita tidak boleh meremehkan eskalasi ujaran kebencian. Sekalipun gelombang ujaran kebencian belum berhasil menciptakan kekacauan sosial, ujaran-ujaran tersebut akan meninggalkan prasangka, stigma, dan stereotipe sosial yang bertahan lama dalam memori kolektif masyarakat yang sulit dipulihkan. Prasangka dan stigma sosial itulah yang pada tahap selanjutnya mempertebal segregasi dan fragmentasi sosial yang dapat dikonversi menjadi konflik sosial di kemudian hari.

Terungkapnya jaringan pembuat hoax dan ujaran kebencian lewat medsos mengingatkan kita kepada kelompok ’’Saracen’’ yang melakukan hal yang sama di Facebook beberapa saat lalu. Mereka merupakan sindikat pembuat ujaran kebencian yang dibayar oleh pemesan seharga Rp 75 juta hingga Rp 100 juta untuk satu proyek. Kita bisa membayangkan besarnya sirkulasi dana untuk membiayai sejumlah proyek yang melibatkan banyak pemesan dan pelaku. Di tengah berbagai problem struktural yang mengimpit masyarakat kita, hadirnya tuntutan (demand) melahirkan peluang pekerjaan (supply). Akibatnya, kebencian pun dikonversi menjadi uang.

Dengan demikian, para pelaku kejahatan digital merupakan kelompok profesional yang menjalankan bisnisnya atas dasar keuntungan ekonomi belaka. Mereka tidak peduli atas dampak destruktif pemberitaan yang mereka sebarkan di medsos. Mereka tahu betul bagaimana cara mengaduk-aduk emosi pembaca, yakni melalui konten SARA. Penelitian menunjukkan bahwa konten yang paling sering diklik dan dibagikan adalah yang mampu menggerakkan emosi pembaca.

Kenyataan itu menunjukkan terciptanya ruang ekonomi-bisnis baru di tengah masyarakat kita akibat derasnya laju teknologi dan informasi. Ternyata kegagapan dan kegagalan kita mengantisipasi derasnya laju teknologi-informasi akan menyisakan sejumlah struktur kesempatan (opportunity structure) bagi munculnya modus-modus baru kejahatan digital sekaligus problem sosial yang destruktif. Kenyataan itu diperburuk oleh absennya peran kelas menengah sosial dan kaum terdidik dalam memfilter secara kritis berbagai pemberitaan tentang ujaran-ujaran kebencian tersebut.

Bahkan, berita bohong dan ujaran kebencian itu ternyata banyak diunggah dan dikonsumsi oleh kaum terpelajar yang berbasis di kampus-kampus kita. Itu menunjukkan bahwa tingkat pendidikan atau keterpelajaran seseorang tidak berkorelasi langsung terhadap tingkat literasi media yang dimilikinya. Hal itu sekaligus mengindikasikan bahwa banyak kaum terpelajar kita tidak mampu melakukan proses-proses validasi dan verifikasi kebenaran terkait dengan setiap pemberitaan hoax dan ujaran kebencian di medsos.

Akibatnya, kegaduhan-kegaduhan sosial yang berawal dari unggahan berita bohong dan ujaran kebencian di medsos justru banyak melibatkan orang ’’pintar’’ tersebut. Mereka justru berkontribusi menciptakan prasangka, stigma, dan stereotipe negatif yang berujung pada friksi dan tergerusnya kohesi sosial masyarakat kita. Untungnya, masyarakat kita tidak mudah dikompori dan diadu domba. Beberapa berita tentang penganiayaan tokoh-tokoh agama kita ditanggapi secara dingin, tanpa reaksi balasan berlebihan yang dapat memperkeruh suasana. Itulah salah satu kekenyalan sosiologis masyarakat kita yang patut diapresiasi.

Memang kita sudah punya UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU ITE. Dalam UU tersebut, sudah diatur secara detail dan lengkap jenis-jenis sanksi hukuman bari para pelanggar. Di antaranya, ancaman hukuman yang bervariasi sesuai dengan jenis dan tingkatan kejahatannya: 4 tahun penjara.

Melihat kondisi masyarakat kita yang tengah dikepung gelombang berita bohong dan ujaran kebencian, tidak ada pilihan lain kecuali penegakan hukum (law enforcement) yang tegas dan tuntas terhadap para pelanggar.

Di tingkat akar rumput, hal yang perlu dilakukan adalah penguatan dosis rasionalitas publik melalui media literacy dalam rangka menciptakan kekenyalan sosiologis dari gempuran pesan-pesan bohong dan ujaran kebencian dimaksud. Masyarakat perlu disadarkan bahwa di balik setiap ujaran kebencian yang mereka baca melalui medsos selalu ada tangan-tangan kotor (dirty hands) yang berusaha mengail di air keruh. Berita-berita tersebut dibuat oleh para profesional yang menghendaki keuntungan ekonomi belaka tanpa mau peduli terhadap dampak pemberitaan yang telah dibuatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar