Cyber
Army di Era Digital Politic
Rachmah Ida ; Guru Besar Media FISIP Universitas Airlangga Surabaya
|
JAWA
POS, 09 Maret 2018
BARU saja
beredar dalam grup-grup jejaring sosial tentang keberadaan sejumlah WAG dan
Facebook group yang diidentifikasi berafiliasi dengan gerakan Muslim Cyber
Army (MCA), yang kini tengah menjadi bidikan pengguna jejaring media sosial
(medsos) dan Polri.
Berbagai
nama kelompok jejaring sosial menggunakan medsos sebagai arena berpolitik
praktis dengan sejumlah alasan. Pertama, ketersediaan ruang bebas (free
space) untuk konten apa saja dan intensi gerakan apa saja. Kedua, digital
nature-nya bersifat sekuler dan tidak berpretensi karena berbasis teknologi.
Ketiga, berdaya jangkau dan kecepatan yang masif. Keempat, menjadi medium
mobilisasi massa yang mudah diakses siapapun.
Ketika
ruang publik nyata terbelenggu kontrol dan regulasi yang ketat, ruang-ruang
publik maya menjadi alternatif medium bagi gerakan-gerakan non-government,
komunal, dan radikalisme sektarian, termasuk jihad online, melalui internet
serta aplikasi dengan format digital yang ada. Ketika kehadiran internet
dianggap menjanjikan ruang publik baru bagi proses demokrasi, keterlibatan
publik, dan ruang politik baru bagi warga negara (e.g. Sen & Hill, 2011;
best, 2009; Margetts, 2013), euforia dan banjir demokrasi dalam ruang siber
menjadi meluap.
Hukum
siber (cyber law) bahkan seolah tak mampu menjaring para pelaku kriminal di
dunia maya, baik kriminal yang sesungguhnya maupun kriminal politik yang
menyerang pemerintah. Pelajaran dari peristiwa sejak Arab Spring dan
aktivisme digital politic di negara Timur Tengah menjadi bukti bahwa gerakan
keroyokan atau mobilitas digital ternyata ampuh untuk menggulingkan rezim
kekuasaan sekaligus menjadi kekuatan baru (new power) untuk melakukan
propaganda politik.
Di
tanah air, gerakan-gerakan digital politic sangat terasa ketika masa pilpres
dan pilgub DKI Jakarta 2017. Kini, menjelang pilkada serentak 2018, dan
Pemilu/Pilpres 2019, aktivisme digital politic mulai bergerilya.
Digital Politic
Power is ubiquitous
atau kekuasaan berada di mana saja (Coleman & Feelon, 2013). Dengan kata
lain, kekuasaan berada di setiap ruang dan waktu dalam kehidupan manusia. Maka,
dalam konteks politik, kehadiran internet dan media digital telah membawa
serta melibatkan kekuasaan melalui representasinya, penggambarannya, dan
praktik-praktik aktivitasnya.
Perkembangan
teknologi digital (DTCs) membawa pergeseran dan transformasi politik melalui
gerakannya, aktivitasnya, bahkan konsep, nilai, dan definisinya. Bicara
tentang digital politic bukan sekadar mendiskusikan cerita dan gambaran
gerakan-gerakan politik melalui media online (daring). Melainkan, teknologi
digital telah membuka akses baru ruang aksi tidak hanya bagi dan oleh pelaku
politik, tapi juga bagi pendukung atau suporter politik.
Yang
ada selama ini, dalam konteks Indonesia, pendukung politik hanya identik
dengan massa yang dimobilisasi. Tapi, kini menjadi konsep massa aktif yang
secara sukarela dalam ruang terbuka baru memberikan dukungan politik nyata.
Kemunculan
digital politic di Indonesia sudah terjadi di tahun-tahun akhir pemerintahan
Orde Baru, ketika internet mulai dikenal dan diakses oleh sebagian kecil
masyarakat melalui warnet.
Penggunaan
suporter politik melalui medsos semakin panas dan menjadi new digital
politics landscape di tanah air dalam pilgub DKI dan kasus Ahok pada 2016.
Digital politic kini seolah menjadi bagian dari kehidupan digital culture
yang tengah terjadi di Indonesia dalam satu dekade ini.
Cyber Army
Konsep
cyber army sebelumnya banyak digunakan di ranah budaya populer. Penggunaan
cyber army muncul seiring dengan munculnya fan club atau penggemar berat
suatu band atau selebriti terkenal.
Cyber
army pada awalnya adalah komunitas yang terbentuk di dunia maya untuk
mewadahi para anggota fan club budaya populer yang digemari pencintanya. Para
penggemar (fan) itu ”berkumpul” dan diwadahi ruang-ruang siber. Para pencinta
grup musik rock Megadeth, misalnya, mempunyai fan club yang mereka sebut MCA
(Megadeth Cyber Army). Begitu pula band K-pop, memiliki cyber army. Namun, di
Iran, Iranian Cyber Army adalah kelompok atau grup hacker komputer, yang
anehnya juga dihubungkan dengan pemerintahan Iran.
Cyber
army kini menjadi alat propaganda baru dalam aktivitas komunikasi politik
praktis yang mudah dan murah. Sebagai bentuk aktivisme digital dalam politik,
cyber army bahkan mempunyai label-label yang stereotipe. Misalnya Srikandi
Muslim Cyber Army, Cyber Muslim 212, MCA, United Muslim Cyber Army, Akademi
Tempur MCA, The United MCA, The Legend MCA, Special Force MCA, Muslim Sniper,
dan lainnya.
Ketika
ideologi dan nilai militerisme saat Orde Baru menuai banyak kritik dan
hujatan pedas, kini tampaknya militerisme melalui akun-akun medsos kembali
menjadi momok bagi kehidupan politik pemerintahan, apalagi dengan
mengatasnamakan muslim. Di masa post-Islamism
(cyber army telah menjadi bagian dari kehidupan budaya digital/digital
culture landscape) di Indonesia.
Apalagi
jika benar, para anggota cyber army, seperti MCA, memakai aplikasi Zello,
semacam aplikasi walkie-talkie yang bisa digunakan untuk berbicara dan
berkoordinasi sebelum membombardir informasi dan opini hoax melalui WhatsApp
group yang mereka buat.
Cyber
army menjadi kekuatan komunal baru yang digerakkan untuk intensi yang tidak
sehat bagi kehidupan sistem politik. Pelakunya bahkan menjadi anomali
demokrasi dan kebebasan berbicara/berpendapat. Mereka menjadi rezim baru
politik yang mengganggu (disrupt)
demokrasi Indonesia yang belum established.
Dengan aktivismenya melalui pelontaran peluru hoax kepada masyarakat yang
derajat literasi digitalnya juga belum matang benar, cyber army menjadi
ancaman baru masyarakat digital Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar