Rabu, 14 Maret 2018

Cyber Army di Era Digital Politic

Cyber Army di Era Digital Politic
Rachmah Ida  ;   Guru Besar Media FISIP Universitas Airlangga Surabaya
                                                      JAWA POS, 09 Maret 2018



                                                           
BARU saja beredar dalam grup-grup jejaring sosial tentang keberadaan sejumlah WAG dan Facebook group yang diidentifikasi berafiliasi dengan gerakan Muslim Cyber Army (MCA), yang kini tengah menjadi bidikan pengguna jejaring media sosial (medsos) dan Polri.

Berbagai nama kelompok jejaring sosial menggunakan medsos sebagai arena berpolitik praktis dengan sejumlah alasan. Pertama, ketersediaan ruang bebas (free space) untuk konten apa saja dan intensi gerakan apa saja. Kedua, digital nature-nya bersifat sekuler dan tidak berpretensi karena berbasis teknologi. Ketiga, berdaya jangkau dan kecepatan yang masif. Keempat, menjadi medium mobilisasi massa yang mudah diakses siapapun.

Ketika ruang publik nyata terbelenggu kontrol dan regulasi yang ketat, ruang-ruang publik maya menjadi alternatif medium bagi gerakan-gerakan non-government, komunal, dan radikalisme sektarian, termasuk jihad online, melalui internet serta aplikasi dengan format digital yang ada. Ketika kehadiran internet dianggap menjanjikan ruang publik baru bagi proses demokrasi, keterlibatan publik, dan ruang politik baru bagi warga negara (e.g. Sen & Hill, 2011; best, 2009; Margetts, 2013), euforia dan banjir demokrasi dalam ruang siber menjadi meluap.

Hukum siber (cyber law) bahkan seolah tak mampu menjaring para pelaku kriminal di dunia maya, baik kriminal yang sesungguhnya maupun kriminal politik yang menyerang pemerintah. Pelajaran dari peristiwa sejak Arab Spring dan aktivisme digital politic di negara Timur Tengah menjadi bukti bahwa gerakan keroyokan atau mobilitas digital ternyata ampuh untuk menggulingkan rezim kekuasaan sekaligus menjadi kekuatan baru (new power) untuk melakukan propaganda politik.

Di tanah air, gerakan-gerakan digital politic sangat terasa ketika masa pilpres dan pilgub DKI Jakarta 2017. Kini, menjelang pilkada serentak 2018, dan Pemilu/Pilpres 2019, aktivisme digital politic mulai bergerilya.

Digital Politic

Power is ubiquitous atau kekuasaan berada di mana saja (Coleman & Feelon, 2013). Dengan kata lain, kekuasaan berada di setiap ruang dan waktu dalam kehidupan manusia. Maka, dalam konteks politik, kehadiran internet dan media digital telah membawa serta melibatkan kekuasaan melalui representasinya, penggambarannya, dan praktik-praktik aktivitasnya.

Perkembangan teknologi digital (DTCs) membawa pergeseran dan transformasi politik melalui gerakannya, aktivitasnya, bahkan konsep, nilai, dan definisinya. Bicara tentang digital politic bukan sekadar mendiskusikan cerita dan gambaran gerakan-gerakan politik melalui media online (daring). Melainkan, teknologi digital telah membuka akses baru ruang aksi tidak hanya bagi dan oleh pelaku politik, tapi juga bagi pendukung atau suporter politik.

Yang ada selama ini, dalam konteks Indonesia, pendukung politik hanya identik dengan massa yang dimobilisasi. Tapi, kini menjadi konsep massa aktif yang secara sukarela dalam ruang terbuka baru memberikan dukungan politik nyata.

Kemunculan digital politic di Indonesia sudah terjadi di tahun-tahun akhir pemerintahan Orde Baru, ketika internet mulai dikenal dan diakses oleh sebagian kecil masyarakat melalui warnet.

Penggunaan suporter politik melalui medsos semakin panas dan menjadi new digital politics landscape di tanah air dalam pilgub DKI dan kasus Ahok pada 2016. Digital politic kini seolah menjadi bagian dari kehidupan digital culture yang tengah terjadi di Indonesia dalam satu dekade ini.

Cyber Army

Konsep cyber army sebelumnya banyak digunakan di ranah budaya populer. Penggunaan cyber army muncul seiring dengan munculnya fan club atau penggemar berat suatu band atau selebriti terkenal.

Cyber army pada awalnya adalah komunitas yang terbentuk di dunia maya untuk mewadahi para anggota fan club budaya populer yang digemari pencintanya. Para penggemar (fan) itu ”berkumpul” dan diwadahi ruang-ruang siber. Para pencinta grup musik rock Megadeth, misalnya, mempunyai fan club yang mereka sebut MCA (Megadeth Cyber Army). Begitu pula band K-pop, memiliki cyber army. Namun, di Iran, Iranian Cyber Army adalah kelompok atau grup hacker komputer, yang anehnya juga dihubungkan dengan pemerintahan Iran.

Cyber army kini menjadi alat propaganda baru dalam aktivitas komunikasi politik praktis yang mudah dan murah. Sebagai bentuk aktivisme digital dalam politik, cyber army bahkan mempunyai label-label yang stereotipe. Misalnya Srikandi Muslim Cyber Army, Cyber Muslim 212, MCA, United Muslim Cyber Army, Akademi Tempur MCA, The United MCA, The Legend MCA, Special Force MCA, Muslim Sniper, dan lainnya.

Ketika ideologi dan nilai militerisme saat Orde Baru menuai banyak kritik dan hujatan pedas, kini tampaknya militerisme melalui akun-akun medsos kembali menjadi momok bagi kehidupan politik pemerintahan, apalagi dengan mengatasnamakan muslim. Di masa post-Islamism (cyber army telah menjadi bagian dari kehidupan budaya digital/digital culture landscape) di Indonesia.

Apalagi jika benar, para anggota cyber army, seperti MCA, memakai aplikasi Zello, semacam aplikasi walkie-talkie yang bisa digunakan untuk berbicara dan berkoordinasi sebelum membombardir informasi dan opini hoax melalui WhatsApp group yang mereka buat.

Cyber army menjadi kekuatan komunal baru yang digerakkan untuk intensi yang tidak sehat bagi kehidupan sistem politik. Pelakunya bahkan menjadi anomali demokrasi dan kebebasan berbicara/berpendapat. Mereka menjadi rezim baru politik yang mengganggu (disrupt) demokrasi Indonesia yang belum established. Dengan aktivismenya melalui pelontaran peluru hoax kepada masyarakat yang derajat literasi digitalnya juga belum matang benar, cyber army menjadi ancaman baru masyarakat digital Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar