Negara
Sungai
Nasrullah ; Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi
Universitas Lambung Mangkurat
|
KOMPAS,
14 Maret
2018
Gegap gempita dinamika
politik di Tanah Air cenderung mengaburkan kepedulian kita terhadap
lingkungan. Alhasil, bencana lingkungan yang sebenarnya begitu dirasakan
akibatnya ternyata tidak ditanggulangi secara serius. Bencana ekologi seperti
banjir, kemarau, kebakaran lahan merupakan siklus tahunan yang semestinya
dapat dihindari atau paling tidak mampu diminimalkan.
Pada kenyataannya bencana
seperti itu tak kunjung mendapatkan solusi tepat pada level nasional sebagai
tindakan preventif. Penyebabnya tidak lain adalah kebijakan negara terlalu
sibuk mengeksploitasi sumber daya alam. Melalui julukan Indonesia sebagai
negara maritim dan negara agrarismenunjukkan betapa kuatnya semangat untuk
memproduksi hasil bumi. Padahal, pada saat bersamaan kita mengabaikan
bagaimana produksi hasil bumi bisa ada dan kemudian dinikmati secara
berkelanjutan, yang dalam hal ini sungai sebagai ekologi yang selama ini
dipandang sempit sebagai sarana transportasi belaka.
Peradaban
sungai
Sejak masa lalu, sungai
punya posisi vital dalam membentuk peradaban dunia. Sungai Nil, Sungai Indus,
Sungai Gangga, hingga peradaban Sungai Eufrat dan Tigris adalah bukti nyata
lahirnya peradaban besar dunia itu. Di sekitar aliran sungai tersebut
muncullah negara-negara besar yang berpengaruh secara global.
Di Nusantara pun tak
kurang melahirkan negara-negara besar sejak ratusan tahun sebelum Indonesia
merdeka. Seperti kerajaan Hindu tertua, yakni Kerajaan Kutai di tepi Sungai
Mahakam, Sriwijaya di Sungai Musi, Kerajaan
Banjar di tepi Sungai Martapura, bahkan terdapat belasan kesultanan di
tepi Sungai Kapuas, Kalimantan Barat. Di tanah Jawa, sungai juga terkenal
sebagai pembentuk peradaban besar, yakni Bengawan Solo di Jawa Tengah, Kali
Code atau Selokan Mataram di Yogyakarta, hingga Ciliwung di Jakarta.
Fakta historis peradaban
sungai di berbagai belahan dunia, dan era kejayaan sungai di Indonesia
sebelum kemerdekaan, sungguh tak terbantahkan. Tetapi, kebijakan negara
hingga saat ini agaknya masih memarjinalkan peran sungai dan keberadaan
masyarakat sekitarnya. Saat ini, kita
telah kehilangan sungai dalam pengalaman hidup karena berbagai aspek
kehidupan cenderung berorientasi ke daratan. Dengan mudah kita menemui
kota-kota Indonesia yang dibelah oleh sungai, tetapi ternyata kota tersebut
justru jadi kuburan bagi sungai dan menggantikannya dengan jalan raya.
Anekdot di daerah tentang
ibu kota Jakarta misalnya ”Jakarta tidak memiliki banyak sungai, tetapi
memiliki banyak jembatan”.Tentu anekdot tersebut sangat satiris bahwa
kebijakan pemerintah pusat lebih bertumpu pada jalan raya. Padahal, ketika
musim hujan tiba yang mengakibatkan banjir di beberapa kota besar di
Indonesia selalu dikaitkan dengan meluapnya air sungai. Oleh karena itu,
negara perlu memperhatikan sungai pada tiga aspek, yakni keseimbangan
ekologi, estetis, dan kultural.
Keseimbangan
ekologis
Sungai merupakan bagian
dari ekologi daratan yang jadi media mengalirkan air. Melalui sungailah
segala aktivitas daratan seperti pertanian, perkebunan, dan hutan dapat hidup
dan berkembang. Namun, dalam kenyataannya, kehadiran sungai dipandang sebelah
mata seolah sektor pertanian, misalnya, dapat berlangsung tanpa sungai.
Sebutan negara agraris pun hanya melihat aspek produk, yakni pada hasil alam,
tetapi mengabaikan kondisi sungai yang mengairi pertanian.
Sungai-sungai di
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah memiliki berbagai istilah seperti
saka, tatas, tabukan, anjir, antasan, batang danum, yang menunjukkan fungsi
sungai tak hanya sarana transportasi, tetapi juga sebagai tata kelola air
pada kawasan pertanian dan akses permukiman penduduk. Kesadaran ekologis
seperti ini pula menempatkan sejumlah kawasan di Indonesia berorientasi pada
sungai, terutama pada penamaan kawasan hulu dan hilir ataupun menamakan suatu
daerah berdasarkan nama-nama sungai.
Di sisi lain, sungai hanya
ada dalam ingatan pengalaman bersifat sementara ketika banjir datang melanda
sejumlah kota besar di Indonesia. Permasalahan utama banjir adalah persoalan
pada sungai di bagian hulu yang mengirim secara berlimpah. Kota Jakarta,
misalnya, selalu melihat datangnya banjir dari daerah hulu sungai, terutama
Bogor. Pun kota-kota di daerah lain yang terkoneksi oleh sungai selalu
memiliki keterkaitan antara hulu dan hilir sungai. Oleh karena itu, kesadaran
penting sebenarnya bahwa tidak ada satu kota yang benar-benar otonom
menghindari bencana alam seperti banjir tanpa bantuan daerah lain.
Sayangnya kesadaran akan
satu sungai sebagai tanggung jawab bersama tidak jadi kebijakan atau
prioritas pemerintah dalam skala provinsi maupun antar-provinsi hingga
tingkat nasional. Akibatnya, penanganan sungai hanya secara sektoral,
terutama kota yang berdampak akibat banjir itu saja. Alhasil, banjir merupakan agenda tahunan
dan sungai menjadi kambing hitam atas berlangsungnya bencana tersebut.
Estetis
Wacana tentang sungai,
disadari atau tidak, telah membubuhkan stigma negatif oleh masyarakat
terhadap sungai. Ketika terjadi banjir, misalnya, berita-berita di pelbagai
media sering menampilkan kalimat: ”banjir ini terjadi akibat air sungai
meluap” atau ”debit air di sungai mengalami kenaikan sehingga masyarakat
harus bersiap menghadapi banjir”. Bahkan, dalam peristiwa lain, dengan mudah
kita menemukan kalimat, ”seorang anak tenggelam di sungai” atau ”arus sungai
yang deras menelan korban”. Dengan demikian, sungai bukan sebagai obyek material
yang disenangi, tetapi seolah bersifat ”antagonis” karena menimbulkan korban
manusia. Pola pikir seperti ini hendaknya diubah karena alam cenderung
memperlakukan manusia berbanding sejajar dengan perlakuan manusia kepada alam
itu dan begitu pula terhadap sungai.
Perubahan pola pikir
semestinya sungai dilihat sebagai obyek estetis untuk dinikmati dan dirasakan
oleh masyarakat. Maka, keindahan kota-kota sungai di dunia seperti Venesia,
Amsterdam, dan Bangkok semestinya tak terhitung jumlahnya di banyak kota
Indonesia. Namun, hingga saat ini hal tersebut masih jauh panggang dari api.
Sungai hanya berfungsi tong sampah raksasa untuk menampung benda apa pun yang
dibuang oleh manusia. Maka, Bengawan Solo yang begitu indah dilantunkan dan
dilukiskan sang maestro Gesang dalam lagunya sekadar lantunan lagu yang
realitasnya bertolak belakang.
Salah satu kota yang
berupaya memanfaatkan sungai secara estetis sedang dirintis oleh Pemerintah
Kota Banjarmasin. Kultur masyarakat sungai yang terkenal dengan kegiatan
perekonomian tradisional sejak ratusan tahun lalu, yakni Pasar Terapung,
diperkuat dengan adanya kawasan siring Sungai Martapura di tengah kota
Banjarmasin. Perlahan-lahan sungai jadi tujuan wisata domestik, tempat
melepas lelah, serta wisata kota yang murah dan mudah bagi warga kota, dan
menjadi kawasan selfie. Padahal, luas kawasan yang dimanfaatkan sebagai
kawasan wisata sungai di tengah kota hanya ”sejengkal” dari ratusan sungai
yang membelah Kota Banjarmasin.
Kultural
Di sinilah perlunya
kehadiran negara dalam mengelola sungai dengan memperhatikan dan melibatkan
masyarakat yang ada di daerah aliran sungai. Aktivitas masyarakat acap kali
dilihat pada aktivitas membuang sampai ke sungai belaka sehingga masyarakat
dijauhkan dari lingkungan sungai. Padahal, masih banyak aktivitas seperti
perdagangan sungai, transportasi, lahan untuk bekerja mencari dan memelihara
ikan, hingga aktivitas mandi di tepi sungai merupakan aspek kultural yang
tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia.
Pelibatan masyarakat mutlak
diperlukan karena merekalah generasi pewaris peradaban dan kebudayaan sungai
secara turun- temurun. Mendekatkan kembali masyarakat dengan sungai melalui
partisipasi mereka, baik secara teknis hingga menghidupkan dan mengemas lagi
mitologi sungai sebagai upaya merawat sungai secara berkelanjutan. Selain
itu, stigma negatif selama ini yang menjauhkan ikatan emosional warga
sepanjang sungai yang berasal dari anggapan ”orang sungai”, ”orang hulu”,
yang identik ketertingalan dan keterbelakangan harus dihapuskan. Akhirnya,
sudah saatnya negara memfokuskan pada pengelolaan dan perawatan sungai secara
terpadu, baik antar-daerah maupun antar-kawasan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar