Penjarahan
R William Liddle ; Profesor Emeritus Ohio State University, Columbus, Ohio, AS
|
KOMPAS,
14 Maret
2018
Menurut Artikel 1, Pasal
9, Klausul 4, UUD AS, disahkan pada 1789, semua pejabat pemerintah “dilarang, tanpa persetujuan Kongres,
menerima hadiah, pembayaran, jabatan, atau gelar apa pun dari raja, pangeran,
atau negara asing mana pun.” Klausul ini terkenal sebagai emoluments clause atau klausul
pembayaran.
Kenapa hubungan pihak
asing dengan pejabat pemerintah begitu diutamakan dalam konstitusi
kami? Di Federalist No 22, Alexander Hamilton menjelaskan: “Salah satu titik lemah republik selaku
bentuk negara, antara manfaatnya yang banyak, adalah keterbukaannya yang
berlebihan kepada korupsi asing.” The Federalist Papers ditulis
Hamilton, James Madison dan John Jay, para pendiri bangsa, untuk mendukung
ratifikasi konstitusi yang baru disusun pada 1787.
Dalam sejarah Amerika,
belum pernah ada presiden yang dimakzulkan berdasarkan klausul
pembayaran. Setelah Richard Nixon meletakkan jabatannya pada 1974 sebab
terbukti menutupi pembobolan kantor Partai Demokrat di kompleks Watergate,
ada konsensus baru tentang makna konflik kepentingan dan cara terbaik
mengatasinya. Sejak itu semua calon presiden mengumumkan rekor
pembayaran pajak pendapatannya selama beberapa tahun agar masyarakat bisa
menilai sendiri kemungkinan konflik kepentingan ke depan. Setelah
terpilih, semua asetnya ditaruh dalam suatu blind trust, tempat aset itu dikelola secara rahasia oleh seorang
trustee selama masa kepresidenannya untuk meyakinkan masyarakat bahwa
keputusan presiden didasarkan pada keperluan bangsa.
Donald Trump adalah
presiden pertama sejak Nixon yang tak merilis rekor pembayaran pajaknya atau
melepaskan kekuasaan atas asetnya. Ia juga presiden pertama yang
mengangkat anaknya sendiri, Ivanka Trump, dan menantunya, Jared Kushner,
selaku staf resmi di Gedung Putih. Masing-masing punya perusahaan
sendiri: Ivanka di dunia mode perempuan dan Jared di sektor realestate.
Menurut laporan Jared pada
pemerintah ketika diangkat sebagai penasihat senior presiden, ia punya aset
sebanyak 761 juta dollar AS dalam bentuk realestate dan investasi lain.
Jared maupun Ivanka belum menuruti saran Departemen Keadilan untuk menaruh
aset mereka dalam sebuah blind trust.
Apa dampak penampikan
Trump dan keluarganya atas norma etika politik yang sudah lama ditaati dua
partai besar kami? Plunder,
penjarahan, menurut David Frum, intelektual publik konservatif ternama, dalam
buku barunya Trumpocracy: The
Corruption of the American Republic.
Wawasan Frum: “Korupsi merupakan keadaan normal dalam
kehidupan masyarakat; sebaliknya, kejujuran adalah suatu perjuangan
sungguh-sungguh yang tak terhenti terhadap inersia budaya dan gravitasi
politik.”
Contohnya banyak sekali
tentang Trump sendiri. Dalam triwulan pertama 2017 Hotel Trump di
Washington menerima 4,1 juta dollar AS di atas proyeksinya, berkat pilihan
berbagai pemerintahan asing dan perusahaan menggunakan fasilitasnya, meski
tarifnya dinaikkan jauh di atas hotel sekitar. Di Mar-a- Lago, klub
golf swastanya di Florida, fee menjadi anggota dinaikkan dua kali ke 200.000
dollar AS. Berbagai instansi Partai Republik, seperti Asosiasi Gubernur
Republik, mengeluarkan 1,3 juta dollar AS di properti Trump pada paruh
pertama 2017.
Dari satu segi,
contoh-contoh ini bikin saya tersenyum mengingat reputasi Trump selaku orang
kikir yang sering dituntut pemborongnya sebab tak dibayar sesuai
kontraknya. Kenaikan tarif di propertinya adalah segi lain
kekerdilannya sebagai manusia.
Selama ini mungkin
berbagai ulah Jared Kushner lebih memprihatinkan sebagai ancaman terhadap
mutu demokrasi kami. Pada 27 Februari 2018, The Washington Post
memberitakan bahwa “pejabat di
setidaknya empat negara telah membicarakan secara rahasia bagaimana
memanipulasi Jared Kushner dengan memanfaatkan kerumitan bisnisnya, kesulitan
keuangannya, dan kekurangpengalamannya tentang kebijakan luar negeri.”
Keempat negara itu: Uni Emirat Arab, RRT, Israel, dan Meksiko.
Kesimpulan Frum persuasif:
“Suatu negara hukum bisa bertahan atas
sejumlah korupsi pejabatnya. Ia tak bisa bertahan terhadap suatu
culture of impunity, budaya berciri kebebasan dari hukuman. Inilah
alasan kenapa rezim korup lekas jadi otoriter; rezim otoriter lekas jadi
korup.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar