Spirit
Reformasi
Irfan Ridwan Maksum ; Guru Besar Tetap Fakultas Ilmu Administrasi dan
Ketua DeLoGo FIA UI
|
KOMPAS,
14 Maret
2018
Bulan Mei nanti, tepat 20
tahun berlalu reformasi bergulir. Saat itu, harapan membuncah untuk
memperbaiki keadaan ketakadilan politik dan ekonomi yang dirasakan bangsa
Indonesia. Sepanjang reformasi terjadi dinamika politik dan ekonomi yang
sangat tinggi pula.
Dalam soal politik,
sirkulasi elite nasional dan lokal yang amat stagnan pada masa Orde Baru
mampu didobrak dengan pilpres dan pilkada yang makin baik, bahkan kini
dilakukan secara langsung. Pertanda nilai demokrasi membaik.
Secara ekonomi, dinamika
yang terjadi pun tidak kalah tinggi. Kini bahkan ditekan dengan pembangunan
infrastruktur yang amat kuat dengan harapan mampu mendongkrak percepatan dan
pemerataan pembangunan ekonomi. Dimotori Presiden Jokowi, pembenahan
perizinan yang berdampak langsung pada kegiatan ekonomi terus diperbarui.
Namun, perjalanan
reformasi yang makin baik seakan dihadang oleh momen sirkulasi elite politik
lokal dan nasional dengan Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019. Gejalanya
adalah merapatnya ke individu Jokowi dan intrik pilkada langsung yang berbau
oligarki politik dibumbui politik uang. Tentu harus kita waspadai.
Simpul
reformasi
Reformasi di Indonesia
ditandai oleh tekanan lingkungan yang tinggi untuk perubahan. Perpindahan
dari kolonialisme ke kemerdekaan, pergeseran rezim Orde Lama ke Orde Baru dan
Orde Baru ke era Reformasi semua ditandai tekanan lingkungan reformasi yang
tinggi. Farazmand (2011) menyebutkan adanya lingkungan sosial,
ekonomi-politik, dan hukum dalam reformasi di sebuah negara bangsa. Secara
sosial terjadi pergeseran struktur sosial, baik domestik maupun
internasional, yang berdampak pada tuntutan perubahan tata kelola sebuah
negara bangsa.
Dilanjutkan ekonomi dan
politik yang biasanya dimulai dengan adanya ketimpangan atau ketidakadilan,
dan lingkungan hukum yang menjadi ujung tombak muncul ketidakadilan pula,
sebagai pemicu reformasi tata kelola negara bangsa. Bahkan, akhirnya jadi
sinyal awal adanya reformasi kelak di kemudian hari.
Pergeseran lingkungan
reformasi di Indonesia selalu bercorak bing-bang, perubahan yang diinginkan selalu
dalam skala besar. Terjadi pola overhaul reform. Jenis reformasi seperti ini
ditandai miskin strategi, muncul tanpa arah, bergerak berdasarkan
aksi-reaksi.
Di tataran politik, skala
nasional dan lokal, dalam 20 tahun terakhir di Indonesia dibenahi dengan
amendemen UUD, mirip pada saat pergeseran dari kolonialisme ke kemerdekaan.
Tetapi, sedikit berbeda tekanan dari perubahan rezim Orde Lama ke Orde Baru
yang memanfaatkan perbaikan politik nasional dan lokal bersifat instrumental
tanpa membenahi UUD. Jargonnya bahkan memurnikan kembali UUD 1945.
Pergeseran Orde Lama ke
Orde Baru terasa memiliki desain strategi yang dikembangkan Soeharto meski
juga sedikit bing-bang.Tetapi, instrumental sifatnya sehingga lebih mudah
untuk mengontrolnya. Dilakukan saat itu, antara lain, fusi partai, pembenahan
kabinet, perbaikan hubungan antar-lembaga negara, tata ulang manajemen
lembaga negara, dan yang paling penting pembenahan hubungan pusat-daerah.
Lingkungan sosial-politik dan ekonomi pun kala itu terasa mendukung Soeharto.
Pergantian rezim Orde Baru
ke Orde Reformasi ditandai perubahan UUD. Perubahan jenis ini jelas berskala
besar, bukan instrumental saja. Kini sudah memasuki dekade kedua, tentu kita
bisa saksikan aksi-reaksi yang terjadi dalam berbagai simpul di atas. Sebagai
contoh, tekanan terhadap tata kelola DPR muncul revisi UU MD3, publik
merespons. Tekanan terhadap sistem pilkada langsung diusulkan kembali ditarik
ke pilkada tidak langsung, isu revisi UU KPK, UU Penanganan Terorisme, UU
Pemerintahan Daerah, dan seterusnya.
Perubahan skala besar
tersebut berdampak pada selalu terjadinya hukum aksi-reaksi dan munculnya
perbaikan tambal sulam dalam bingkai tata kelola Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Hal ini jika tidak dibaca dengan baik gambar besar
(big-picture) apa yang sedang terjadi dapat membahayakan eksistensi
negara-bangsa ini. Penentu corak gambar besar dalam permainan aksi-reaksi
akan dikembalikan pada kepala negara yang sekaligus kepala pemerintahan.
Menjaga
momen
Sebaiknya kepala negara tak
abai terhadap geliat dan gejolak lingkungan reformasi. Amati betul gambar
besar yang terjadi sehingga mampu membaca warna-warni yang mengisi gambar
besar tersebut. Jika tidak hati-hati, kepala negara akan terjebak membuat
kabur gambar besar tata kelola NKRI yang berkembang.
Momen pilpres tidak boleh
menjebak kepala negara jauh dalam permainan politik praktis yang memunculkan
aksi-reaksi yang meruntuhkan koridor gambar besar tata kelola NKRI tersebut.
Jabatan adalah amanah yang ditujukan untuk kemaslahatan bangsa dan negara.
Kepala negara berdirilah di semua pihak. Jangan sampai melupakan berbagai
elemen yang seolah berada di seberang secara politik di mata kepala negara
sebagai individu. Isu satu calon presiden dalam Pilpres 2019 dan semua tampak
merapat kepada Jokowi harus disikapi dengan wajar, tidak mengeliminasi
pihak-pihak yang dianggap ”musuh” sekalipun.
Momen tahun kelima masa
pemerintahan Jokowi seharusnya digunakan untuk melakukan berbagai hal terkait
spirit reformasiyang diinginkan bangsa ini. Kerjakan secara senyap, tetapi
terbukti. Hindari terjebak dalam politik praktis yang berada dalam hukum
aksi-reaksi yang berkembang.
Bicaralah lantang dalam
berbagai persoalan kelembagaan besar tata kelola NKRI, tidak dalam soal yang
melulu teknis, terlebih infrastruktur transportasi, perhubungan, dan
pelayanan publik semata. Dan, reformasi bukan sekadar penataan aparatur sipil
negara (ASN) dan birokrasi semata. Itu semua otomatis tanggung jawab kepala
pemerintahan. Sebagai kepala negara, bicaralah juga tentang tata kelola besar
NKRI agar kembali kokoh spirit reformasi. Tegakkan keadilan politik dan
ekonomi. Gemuruhkanlah spirit negara bangsa RI. Tegakkan NKRI di mata dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar