Mimpi
Buruk di Ghouta dan Afrin
Smith Alhadar ; Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies
|
JAWA
POS, 15 Maret 2018
SEJAK 18
Februari, Ghouta Timur di pinggiran Damaskus berubah menjadi neraka. Serangan
tanpa belas kasihan pasukan rezim Presiden Bashar al-Assad –dibantu serangan
udara Rusia– menghancurkan kota-kota di Ghouta Timur yang dikuasai
pemberontak Jais al-Islam, Faylaq al-Rahman, dan Hay’at Tahrir al-Syam.
Saat
tulisan ini ditulis, sudah hampir 1.000 warga tewas. Yang mengerikan,
sebagian anak-anak tewas akibat serangan senjata kimia berupa gas klorin oleh
pasukan rezim Assad. Pada saat yang sama, militer Turki –dibantu Tentara
Pembebasan Syria (FSA)– mengintensifkan serangan terhadap kawasan Afrin di
barat laut Syria untuk menghancurkan Unit Perlindungan Rakyat (YPG), milisi
Kurdi. Tapi, yang lebih banyak jatuh korban adalah rakyat sipil.
Untuk
melindungi rakyat sipil di Ghouta Timur dan Afrin, pada 24 Februari Kuwait
dan Swedia mengajukan rancangan resolusi DK PBB yang menyerukan gencatan
senjata di seluruh Syria selama 30 hari untuk memungkinkan evakuasi rakyat
sipil yang terluka.
Namun,
Rusia tak mendukung resolusi itu sampai DK PBB mengubah redaksinya. Awalnya,
resolusi menyerukan pihak-pihak bertikai mulai melaksanakan gencatan senjata
dalam waktu 72 jam. Atas tuntutan Rusia, kalimat ”dalam waktu 72 jam” diganti
dengan ”tanpa penundaan” dan kata ”segera” dihapus dalam rekomendasi
penyaluran bantuan dan evakuasi. Juga, resolusi mengecualikan kelompok Al
Qaeda, negara Islam di Iraq dan Syria (ISIS), dan individu serta organisasi
yang berkaitan dengan mereka. Tapi, dengan perubahan redaksi ini, Resolusi DK
PBB 2401 itu justru menjadi multitafsir yang menjustifikasi rezim Syria dan
Rusia terus membombardir Ghouta Timur. Memang Jais al-Islam dan Faylaq
al-Rahman yang didukung Arab Saudi dipandang sebagai kelompok moderat. Namun,
Hay’at Tahrir al-Sham, yang merupakan kumpulan faksi-faksi radikal dengan
tulang punggung Jabhat Fath alSham (dulu bernama Front al-Nusra), berafiliasi
dengan Al Qaeda.
Yang membuat Syria dan Rusia mengeneralisasi semua faksi di
Ghouta Timur sebagai kelompok teroris adalah karena Jais al-Islam dan Faylaq
alRahman sering bekerja sama dengan Hay’at Tahrir al-Syam dalam menghadapi
musuh bersama: rezim Assad.
Resolusi
DK PBB 2401 juga tak diindahkan Turki. Ankara berpendapat YPG, yang merupakan
kepanjangan tangan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), merupakan kelompok
teroris. Memang Uni Eropa dan AS juga menetapkan PKK yang beraliran Marxis
itu sebagai kelompok teroris.
Tapi terkait YPG, AS berpendapat lain. Kelompok
yang dilatih dan dipersenjatai AS itu –yang selama ini dipakai AS untuk
memerangi ISIS di Syria– tidak dianggap sebagai kelompok teroris. Apa pun,
Turki khawatir Partai Demokrasi Kurdistan (PYD), yang merupakan sayap politik
PYG, akan mendirikan negara federal di perbatasan Turki yang membentang dari
Syria utara hingga timur laut. Hal ini akan mendorong lebih kuat gerakan
separatis PKK yang sejak 1984 mengangkat senjata melawan Ankara.
Serangan
gencar pasukan Syria dan Rusia atas Ghouta Timur tanpa kesanggupan DK PBB
untuk menghentikannya dengan sendirinya memuluskan serangan Turki atas Afrin.
AS tidak dapat berbuat banyak terhadap Turki karena negara ini anggota NATO.
Turki juga sangat strategis dalam perang AS melawan kelompok teroris maupun
negara musuh AS di Timur Tengah. Pangkalan udara Incirlik, Turki, sangat
berjasa dalam dua kali perang AS melawan rezim Iraq di bawah Presiden Saddam
Hussein.
Kini
Incirlik berfungsi sebagai pangkalan angkatan udara AS dalam perang melawan
ISIS. Di masa yang akan datang, Incirlik akan berperan besar dalam upaya AS
mengusir milisi-milisi Syiah dukungan Iran di Lebanon, Syria, dan Iraq.
Bahkan, ada kemungkinan AS bentrok senjata dengan Iran pas ca Washington
membatalkan kesepakatan nuklir dengan Iran pada Mei mendatang.
Rezim
Syria dan Rusia ngotot menundukkan kelompok pemberontak di Ghouta Timur
karena wilayah ini sangat dekat dengan ibu kota, Damaskus. Jais al-Islam,
Faylaq al-Rahman, dan Hay’at Tahrir alSyam memanfaatkan kedekatan jarak untuk
meluncurkan rudal ke Damaskus. Hal itu berdampak psikologis kepada warga ibu
kota. Alasan lain, Damaskus ingin memperkuat daya tawar nya visa vis pem- berontak
dalam perundingan perdamaian di Jenewa, Astana (Kazakhstan ), atau Sochi
(Rusia) kelak.
Sejak
Rusia ikut intervensi dalam perang proksi di Syria pada 2015, banyak kota
Syria yang berhasil diambil alih pasukan Assad. Bila Ghouta Timur jatuh,
diharapkan rezim Assad dapat memaksakan perdamaian pada sisa pemberontak di
Idlib (barat laut), Deraa (selatan), dan Rajova (utara sampai timur laut)
sesuai keinginan Damaskus. Turki menghancurkan YPG di Afrin, yang akan
diikuti serangan terhadap kota lain yang dikuasai YPG, guna membuyarkan mimpi
PYD/YPG mendirikan negara federal Kurdi.
Perang
di Ghouta Timur dan Afrin akan berlangsung relatif lama. Di Ghouta Timur,
pemberontak bertekad menghadapi musuh hingga tetes darah penghabisan karena
tidak ada pilihan lain. Evakuasi ke Idlib terlalu jauh dan di sana mereka tak
memiliki pangkalan militer. Derraa memang dekat dengan Ghouta, tapi wilayah
yang diduduki pemberontak dukungan Jordania, AS, dan Israel tidak menghendaki
masuknya pemberontak lain yang akan mengganggu stabilitas wilayah itu.
Pemberontak
juga tidak dapat boyong ke Syria Utara yang dikuasai militer Turki yang
membatasi pergerakan pemberontak lain, selain FSA. Di Afrin, warga sipil juga
akan menghadapi mimpi buruk yang panjang mengingat tidak mudah bagi Turki menghadapi
YPG. Jumlah mereka cukup besar. Untuk menghadapi musuh, anggota YPG dari
berbagai tempat terus mengalir ke Afrin.
Sangat
mungkin rezim Syria dan Turki memenangi perang. Namun, kemenangan mereka
harus dibayar dengan kehancuran kota dan masifnya kematian warga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar