Senin, 19 Maret 2018

Mimpi Buruk di Ghouta dan Afrin

Mimpi Buruk di Ghouta dan Afrin
Smith Alhadar  ;   Penasihat The Indonesian Society for Middle East Studies
                                                      JAWA POS, 15 Maret 2018



                                                           
SEJAK 18 Februari, Ghouta Timur di pinggiran Damaskus berubah menjadi neraka. Serangan tanpa belas kasihan pasukan rezim Presiden Bashar al-Assad –dibantu serangan udara Rusia– menghancurkan kota-kota di Ghouta Timur yang dikuasai pemberontak Jais al-Islam, Faylaq al-Rahman, dan Hay’at Tahrir al-Syam.

Saat tulisan ini ditulis, sudah hampir 1.000 warga tewas. Yang mengerikan, sebagian anak-anak tewas akibat serangan senjata kimia berupa gas klorin oleh pasukan rezim Assad. Pada saat yang sama, militer Turki –dibantu Tentara Pembebasan Syria (FSA)– mengintensifkan serangan terhadap kawasan Afrin di barat laut Syria untuk menghancurkan Unit Perlindungan Rakyat (YPG), milisi Kurdi. Tapi, yang lebih banyak jatuh korban adalah rakyat sipil.

Untuk melindungi rakyat sipil di Ghouta Timur dan Afrin, pada 24 Februari Kuwait dan Swedia mengajukan rancangan resolusi DK PBB yang menyerukan gencatan senjata di seluruh Syria selama 30 hari untuk memungkinkan evakuasi rakyat sipil yang terluka.

Namun, Rusia tak mendukung resolusi itu sampai DK PBB mengubah redaksinya. Awalnya, resolusi menyerukan pihak-pihak bertikai mulai melaksanakan gencatan senjata dalam waktu 72 jam. Atas tuntutan Rusia, kalimat ”dalam waktu 72 jam” diganti dengan ”tanpa penundaan” dan kata ”segera” dihapus dalam rekomendasi penyaluran bantuan dan evakuasi. Juga, resolusi mengecualikan kelompok Al Qaeda, negara Islam di Iraq dan Syria (ISIS), dan individu serta organisasi yang berkaitan dengan mereka. Tapi, dengan perubahan redaksi ini, Resolusi DK PBB 2401 itu justru menjadi multitafsir yang menjustifikasi rezim Syria dan Rusia terus membombardir Ghouta Timur. Memang Jais al-Islam dan Faylaq al-Rahman yang didukung Arab Saudi dipandang sebagai kelompok moderat. Namun, Hay’at Tahrir al-Sham, yang merupakan kumpulan faksi-faksi radikal dengan tulang punggung Jabhat Fath alSham (dulu bernama Front al-Nusra), berafiliasi dengan Al Qaeda. 

Yang membuat Syria dan Rusia mengeneralisasi semua faksi di Ghouta Timur sebagai kelompok teroris adalah karena Jais al-Islam dan Faylaq alRahman sering bekerja sama dengan Hay’at Tahrir al-Syam dalam menghadapi musuh bersama: rezim Assad.

Resolusi DK PBB 2401 juga tak diindahkan Turki. Ankara berpendapat YPG, yang merupakan kepanjangan tangan Partai Pekerja Kurdistan (PKK), merupakan kelompok teroris. Memang Uni Eropa dan AS juga menetapkan PKK yang beraliran Marxis itu sebagai kelompok teroris. 

Tapi terkait YPG, AS berpendapat lain. Kelompok yang dilatih dan dipersenjatai AS itu –yang selama ini dipakai AS untuk memerangi ISIS di Syria– tidak dianggap sebagai kelompok teroris. Apa pun, Turki khawatir Partai Demokrasi Kurdistan (PYD), yang merupakan sayap politik PYG, akan mendirikan negara federal di perbatasan Turki yang membentang dari Syria utara hingga timur laut. Hal ini akan mendorong lebih kuat gerakan separatis PKK yang sejak 1984 mengangkat senjata melawan Ankara.

Serangan gencar pasukan Syria dan Rusia atas Ghouta Timur tanpa kesanggupan DK PBB untuk menghentikannya dengan sendirinya memuluskan serangan Turki atas Afrin. AS tidak dapat berbuat banyak terhadap Turki karena negara ini anggota NATO. Turki juga sangat strategis dalam perang AS melawan kelompok teroris maupun negara musuh AS di Timur Tengah. Pangkalan udara Incirlik, Turki, sangat berjasa dalam dua kali perang AS melawan rezim Iraq di bawah Presiden Saddam Hussein.

Kini Incirlik berfungsi sebagai pangkalan angkatan udara AS dalam perang melawan ISIS. Di masa yang akan datang, Incirlik akan berperan besar dalam upaya AS mengusir milisi-milisi Syiah dukungan Iran di Lebanon, Syria, dan Iraq. Bahkan, ada kemungkinan AS bentrok senjata dengan Iran pas ca Washington membatalkan kesepakatan nuklir dengan Iran pada Mei mendatang.

Rezim Syria dan Rusia ngotot menundukkan kelompok pemberontak di Ghouta Timur karena wilayah ini sangat dekat dengan ibu kota, Damaskus. Jais al-Islam, Faylaq al-Rahman, dan Hay’at Tahrir alSyam memanfaatkan kedekatan jarak untuk meluncurkan rudal ke Damaskus. Hal itu berdampak psikologis kepada warga ibu kota. Alasan lain, Damaskus ingin memperkuat daya tawar nya visa vis pem- berontak dalam perundingan perdamaian di Jenewa, Astana (Kazakhstan ), atau Sochi (Rusia) kelak.

Sejak Rusia ikut intervensi dalam perang proksi di Syria pada 2015, banyak kota Syria yang berhasil diambil alih pasukan Assad. Bila Ghouta Timur jatuh, diharapkan rezim Assad dapat memaksakan perdamaian pada sisa pemberontak di Idlib (barat laut), Deraa (selatan), dan Rajova (utara sampai timur laut) sesuai keinginan Damaskus. Turki menghancurkan YPG di Afrin, yang akan diikuti serangan terhadap kota lain yang dikuasai YPG, guna membuyarkan mimpi PYD/YPG mendirikan negara federal Kurdi.

Perang di Ghouta Timur dan Afrin akan berlangsung relatif lama. Di Ghouta Timur, pemberontak bertekad menghadapi musuh hingga tetes darah penghabisan karena tidak ada pilihan lain. Evakuasi ke Idlib terlalu jauh dan di sana mereka tak memiliki pangkalan militer. Derraa memang dekat dengan Ghouta, tapi wilayah yang diduduki pemberontak dukungan Jordania, AS, dan Israel tidak menghendaki masuknya pemberontak lain yang akan mengganggu stabilitas wilayah itu.

Pemberontak juga tidak dapat boyong ke Syria Utara yang dikuasai militer Turki yang membatasi pergerakan pemberontak lain, selain FSA. Di Afrin, warga sipil juga akan menghadapi mimpi buruk yang panjang mengingat tidak mudah bagi Turki menghadapi YPG. Jumlah mereka cukup besar. Untuk menghadapi musuh, anggota YPG dari berbagai tempat terus mengalir ke Afrin.

Sangat mungkin rezim Syria dan Turki memenangi perang. Namun, kemenangan mereka harus dibayar dengan kehancuran kota dan masifnya kematian warga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar