Senin, 19 Maret 2018

Cadar dalam Demokrasi Pancasila

Cadar dalam Demokrasi Pancasila
Nurainun Mangunsong  ;   Direktur Pusat Studi Syariah dan Konstitusi
UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
                                                      JAWA POS, 14 Maret 2018



                                                           
PADA 20 Februari 2018, Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Dr Yudian Wahyudi mengeluarkan Surat Edaran Nomor B-1301/Un.02/R/ AK.00.3/02/201 tentang Pembinaan Mahasiswa Bercadar, yang sontak menimbulkan kontroversi. Namun, pada 10 Maret 2018, rektor mencabut surat edaran tersebut.

Sebagian masyarakat menilai surat edaran yang sebenarnya perihal pembinaan (bukan larangan) itu diskriminatif dan melanggar HAM. Namun, bagi Rektor Yudian sendiri, kebijakan tersebut sangat prinsipiil karena terkait eksistensi sebuah keyakinan yang bertentangan dengan ideologi negara, yakni Pancasila dan UUD 1945. Benarkah pembatasan penggunaan cadar di kampus melanggar konstitusi dan HAM?

Demokrasi Pancasila

Tujuan bernegara Indonesia ialah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam rangka itu, pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional secara demokratis, desentralistis, berkeadilan, dan menjunjung tinggi HAM (UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional/SPN). Pendidikan demokratis berarti pendidikan yang memberikan penghormatan atas harkat dan martabat manusia.

Selama rezim Orde Baru, pendidikan telah menjadi instrumen pembangunan dan subordinasi kekuasaan. Alhasil, pendidikan sangat instrumentalis, birokratis, dan tidak independen. Reformasi mengubah paradigma itu menjadi pendidikan demokratis dan otonom.

Pertanyaannya, pendidikan demokratis konstitusional itu yang seperti apa? Jika menilik pasal 2 UU SPN bahwa dasar pendidikan nasional adalah Pancasila dan UUD 1945, pendidikan demokratis itu adalah penyelenggaraan pendidikan yang menempatkan harkat dan martabat manusia dalam bingkai Pancasila dan UUD 1945. Nilai pendidikan demokrasi Pancasila tersebut meliputi nilai keagamaan (keindonesiaan) yang toleran, damai, rukun, ramah, dan guyub; nilai kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban; nilai persatuan dalam keragaman budaya; nilai kebijaksanaan yang bersendi musyawarah; dan nilai persamaan serta pemerataan sebagai wujud keadilan sosial.

Pancasila merupakan grundnorm, sumber hukum tertinggi dalam pengambilan setiap kebijakan pendidikan. Institusi pendidikan negeri khususnya harus mengacu pada cita negara Pancasila sebagai cita bersama. Kesepakatan luhur itu harus dipupuk dan dipelihara demi keutuhan NKRI.

Berdasar cita dan nilai tersebut, surat edaran rektor UIN Sunan Kalijaga sesungguhnya dapat dibenarkan. Ada dua sasaran yang dituju surat edaran itu. Pertama, penggunaan cadar sebagai bagian dari atribut ideologis radikal. Kedua, terkait dengan selubung cadar yang menutupi dan membatasi pola interaksi serta keterbukaan dalam proses pembelajaran.

Selama ini tidak sedikit dosen dan karyawan yang merasa sulit mengenali dan memahami mahasiswi bercadar dalam interaksi dan komunikasi perkuliahan, ujian, serta pelayanan administrasi. Umumnya mereka sangat pasif dan tertutup. Sementara terkait paham radikal dan pengguna cadar yang terdampak, perlu ada kajian yang lebih komprehensif. Sebab, paham radikal tidak hanya bisa menyusup kepada mereka yang bercadar, tapi juga mahasiswa dan dosen laki-laki. Jika penyisiran tersebut hanya pada kelompok bercadar, kebijakan itu dipandang diskriminatif dan tidak akan menyelesaikan akar persoalan yang sesungguhnya.

Di beberapa perguruan tinggi Islam seperti Universitas Al Azhar Mesir, sejak 2009 penggunaan cadar juga dilarang. Larangan tersebut disebabkan cadar bukan tradisi Islam, melainkan tradisi sebelum Islam. Karena itu, Mesir tidak mensyariatkan cadar dalam institusi sekolah, rumah sakit, pengadilan, dan pemerintahan.

Konstitusionalitas HAM

Adapun relevansi substantif pembatasan kebebasan bercadar dalam kampus sejalan dengan visi HAM Indonesia yang partikularistis (cultural relativism). Pasal 28J UUD 1945 menegaskan pembatasan itu dengan alasan UU, moral, agama, ketertiban umum, serta keseimbangan hak dan kewajiban dalam konteks kenegaraan. Indikator lain terlihat pada Putusan MK No 065/PUU-II/2004 yang tidak memberlakukan secara mutlak asas nonretroaktif (pasal 28I) terhadap UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM dan Putusan MK No 140/PUU-VII/2009 yang juga tidak memutlakkan pasal 28D, 28E, 28I, dan 29 ayat (2) pada UU 1/ PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Dalam konsiderannya, MK memandang penegakan HAM harus berada dalam bingkai keadilan substantif dan keindonesiaan.

International Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi dalam UU 39/1999 tentang HAM pun memungkinkan pembatasan HAM berkeyakinan (nonderogable rights) itu dengan alasan darurat negara (misalnya ancaman terorisme), UU, ketertiban publik, keselamatan publik, moral publik, dan keamanan publik.

Jika merunut pada alasan dan tujuan penetapan surat edaran rektor itu, ada keselamatan utama yang diperjuangkan. Yakni keselamatan negara, mahasiswa, dan institusi UIN dari rongrongan ideologi radikal. Jika rektor ingin mengevaluasi, kiranya tidak perlu mencabut. Tapi melakukan pola pembinaan mahasiswi bercadar yang terus-menerus hingga muncul kesadaran Pancasila sebagai ideologi negara dan beragama. Pembinaan cadar demi menyelamatkan generasi bangsa bukanlah merupakan kebijakan yang diskriminatif dan melanggar HAM, melainkan keadilan bagi kemanusiaan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar