Senin, 19 Maret 2018

Sang Penantang Teknologi Kecerdasan Buatan

Sang Penantang Teknologi Kecerdasan Buatan
Indar Sugiarto  ;   Dosen Teknik Elektro Universitas Kristen Petra; Peneliti Post-Doctoral di Advanced Processor Technology, The University of Manchester, Inggris
                                                      JAWA POS, 16 Maret 2018



                                                           
DUNIA berkabung karena berpulangnya Stephen Hawking. Hal itu tidak hanya dirasakan mayoritas kalangan di dunia sains fisika, tempat Hawking dikenal kepakarannya, tetapi juga merambah ke dunia teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Semua tak terlepas dari isu kontroversial yang pernah disinggung Hawking bahwa teknologi AI bisa mengancam eksistensi umat manusia. Menurut dia, kepunahan manusia bisa jadi bukan disebabkan perang nuklir atau tumbukan meteor/komet, tetapi oleh teknologi AI yang dikembangkan tanpa kendali.

Hawking menyebutnya evolusi AI, yaitu ketika AI dikembangkan dengan skala penuh sehingga menghasilkan kecerdasan yang setingkat atau bahkan melebihi manusia. Ketika teknologi AI diberi kemampuan untuk mengembangkan dirinya sendiri, akan terjadi reaksi berantai di mana AI mereproduksi dan memperbaiki dirinya sendiri dengan tingkat akselerasi tinggi berkat dukungan perangkat komputer berkecepatan tinggi.

Karena itu, bersama dengan Elon Musk (pendiri Tesla dan maskapai SpaceX), Hawking menulis surat terbuka tentang AI. Dalam suratnya, dia menegaskan betapa pentingnya pengembangan AI yang terkendali. Dia mengutip pendapat dari direktur riset Microsoft yang menyatakan bahwa teknologi superhuman AI sangat memungkinkan untuk dikembangkan, tetapi jika tidak dikendalikan akan memicu terjadinya intelligence explosion.

Kekhawatiran Hawking, tampaknya, terbukti ketika tahun lalu Facebook mengembangkan robot chatting pintar dengan kemampuan negosiasi. Dalam percobaannya, awalnya dua robot saling berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Namun, dalam perkembangannya, proses negosiasi dilakukan dengan menggunakan kalimat-kalimat yang sulit dipahami manusia. Melihat perilaku itu, yakni robot menjalin komunikasi di antara mereka sendiri tanpa dimengerti manusia, Facebook sementara menghentikan riset mereka tentang komunikasi berbasis AI.

Memang, tidak semua pengembang teknologi AI sepakat dengan Hawking. Apalagi melihat kondisi nyata teknologi AI saat ini. Tidak bisa dimungkiri, teknologi AI yang ada sekarang masih terbatas untuk tugas-tugas yang spesifik. Misalnya, program AI yang mengalahkan pemain catur terbaik di dunia tidak bisa dipakai untuk navigasi pada mobil otomatis. Namun, pesan Hawking tetap perlu diingat dan diperhatikan dalam setiap usaha pengembangan teknologi AI.

Karena itu, salah satu proyek raksasa Uni Eropa yang dikenal dengan nama Human Brain Project (HBP) juga menjadikan fenomena superioritas AI sebagai salah satu fokus kajian mereka. Saat ini HBP juga sedang menyiapkan proposal ke komisi Uni-Eropa tentang aspek-aspek teknis yang harus diperhatikan sebagai dasar pembuatan hukum/peraturan universal pada masa depan tentang etika robot ber-AI.

Sebenarnya ada hal lain yang menarik untuk dicermati, yaitu di sisi Hawking sebagai individu. Kepakaran Hawking dikenal lewat teorinya tentang radiasi lubang hitam dan salah satu buku fenomenalnya yang berjudul A Brief History of Time. Yang menarik, Hawking menghasilkan karya yang luar biasa meski dalam kondisi menderita amyotrophic lateral sclerosis (ALS) yang mengakibatkan tubuhnya nyaris lumpuh total.

Dalam keadaan yang serba terbatas, Hawking berusaha bertahan hidup sambil terus aktif menghasilkan karya-karya ilmiah. Pada 1963, dia didiagnosis menderita ALS. Dokter memperkirakan sisa hidupnya tinggal dua tahun. Namun, ternyata Hawking tetap hidup hingga 55 tahun dan baru meninggal pada usia 79 tahun. Selain karena penyakitnya, kehidupan pribadi Hawking tidak menyenangkan karena pernikahannya yang tidak berjalan harmonis.

Secara manusia biasa, pergumulan hidup yang dialami Hawking sungguh luar biasa. Namun, semangatnya yang tidak mudah menyerah bisa menjadi teladan yang sangat baik. Hawking juga aktif menyuarakan perjuangan kepentingan para ilmuwan, terutama yang berhubungan dengan kebijakan pemerintah Inggris dalam mengatur sistem pendidikan serta penelitian di Inggris Raya. Karena itu, Hawking menolak gelar kebangsawanan (knighthood) yang ditawarkan Kerajaan Inggris sebagai bentuk protes atas kebijakan pemerintah Inggris yang membatasi anggaran penelitian.

Kehidupan Hawking sangat menginspirasi. Mungkin kita tidak dihadapkan pada keterbatasan fisik serta penyakit seperti yang diderita Hawking. Namun, atmosfer dunia pendidikan dan penelitian di tanah air telah memberikan tantangan yang tidak mudah bagi para akademisi. Berbagai keruwetan administrasi dalam dunia penelitian di tanah air merupakan salah satu bentuk tantangan yang akan berubah menjadi rintangan jika tidak dikelola secara profesional. Dari Hawking, penulis belajar bahwa kesempatan berkarya yang profesional itu akan tetap ada di tengah hambatan dan impitan birokrasi.

Akhir kata, si genius itu telah pergi. Namun, warisan isu kontroversial tentang human-level AI serta teladan semangat untuk tidak mudah menyerah akan tetap dikenang. Tidak hanya oleh para ilmuwan, tetapi juga oleh umat awam yang peduli akan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar