Merana
Jadi Pohon
Muhammad Husein Heikal ; Analis Economic Action (EconAct) Indonesia
|
KOMPAS,
10 Maret
2018
Harian The Washington Post
(sebagaimana dilansir Kompas, 5/2018) memberitakan di Basking Ridge, New
Jersey, AS, sebatang pohon ek putih sakit. Kondisi pohon ini membuat seluruh
warga kota itu prihatin. Dokter pohon telah memeriksa tanah di sekitar pohon
itu, dan melakukan berbagai upaya agar pohon yang telah berusia 277 tahun itu
pulih kembali.
Membaca berita ini, setidaknya
tiga perasaan yang meliputi saya. Pertama, cukup mengejutkan. Bagaimana
sebatang pohon berhasil menimbulkan kegemparan bagi seluruh warga kota.
Kedua, sangat terharu, bahkan
sampai saat menulis artikel ini rasa haru itu masih berlangsung. Ini
menandakan betapa mereka, warga Basking Ridge, sangat menyayangi alam
lingkungannya.
Ketiga, saya merasa sulit
menggambarkan perasaan saya ini: antara malu, kesal dan geram bercampur-aduk.
Rasa malu ini berorientasi pada individu saya sendiri. Sebagai salah seorang
warga bumi, saya belum dapat dikatakan mencintai alam. Rasa kesal tertuju
pada para masyarakat di sekitar saya dan yang saya perhatikan juga masih
belum mencintai alam. Sementara rasa geram berkorelasi dengan pemerintah
selaku pemegang kebijakan yang juga belum mencintai alam dan lingkungannya.
Awal artikel ini jadi semacam
curahan bagi perasaan saya terhadap alam. Akan tetapi memang demikianlah yang
saya rasakan. Tersebab di kota yang saya hidup sekarang ini, kota Medan,
pohon-pohon tak bernasib sebaik pohon-pohon di Basking Ridge. Pohon-pohon di
kota Medan terlihat merana. Tumbuh satu-satu, berjauhan dengan temannya,
sesama jenis pohon. Seolah setiap pohon diisyaratkan untuk hidup dengan usaha
dan kemampuan sendiri. Sesama pohon tak boleh saling berdekatan, seolah
mereka dilarang berteman.
Atas nama praksis pembangunan,
tanpa ragu dan tak sungkan pohon-pohon ditebang. Sebatang pohon dianggap tak
berarti dibanding proyek-proyek yang bakal dibangun di area pohon itu
sebelumnya. Padahal bila dihitung, kehilangan satu pohon dewasa setara
kehilangan nilai uang Rp 17 juta. Jumlah ini dihitung dari nilai ekonomi dan
ekologis-nya.
Berbagai penelitian telah
membuktikan bahwa satu hektar ruang terbuka hijau yang dipenuhi pohon besar
mampu mencukupi banyak kehidupan (warga) kota. Ruang sebesar ini dapat
menghasilkan 0,6 ton oksigen untuk kebutuhan bernapas 1.500 orang per hari,
menyerap 2,5 ton karbondioksida (CO2) per tahun, menyimpan 900 meter kubik
air tanah per tahun dan mentransfer air 4.000 liter per hari. Selain itu,
pepohonan juga menurunkan suhu 5-8 derajat Celcius, meredam kebisingan 25-80
persen, serta mengurangi kekuatan angin 75-80 persen.
Sebagai refleksi, mari kita lihat
sungai yang senantiasa mengalirkan air, meski kini air yang dialirkannya
semakin lama kian mengeruh. Selain itu, pohon yang memberi kita udara segar
untuk bernapas, dan sayangnya kini pohon-pohon menjadi cukup langka kita
temukan di kota Medan.
Bila Anda berkunjung ke kota Medan,
di pusat kota terus berlangsung pembangunan demi pembangunan yang
menyeruakkan debu. Tentu saja ini berdampak bagi kesehatan warga kota.
Debu-debu ini tak tersaring, dan masuk dengan bebas ke rongga pernapasan
kita. Toh, pohon-pohon yang berfungsi menyaring sudah berhilangan digantikan
oleh tonggak-tonggak beton penyangga bangunan.
Apalagi bila suhu mencapai 37
derajat Celcius. Wih! Kepala serasa terbakar di tengah kemacetan kota yang
terus melanda. Inilah Medan! Inilah sebuah kota metropolitan yang tengah
gencar membangun peradaban, tapi tanpa mengindahkan kodrat lingkungan dan
alam.
Kini, apakah warga kota Medan—dan
kota-kota lain—sudah memerhatikan alam dan lingkungan kita di tengah praktik
pembangunan yang gencar? Saya kira belum. Kian waktu kita tak lagi merasakan
keteduhan kota yang berulang kali meraih Adipura ini. Inilah Medan, Bung!
Kota Medan kini kian kerontang
dalam slogan metropolitannya. Go green sekadar bunyi tanpa arti. Alam dan
lingkungan tersingkirkan, apalagi hanya sebatang pohon yang dianggap tak
berarti. Kapan kita jadi seperti warga Basking Ridge, yang ketika melihat
sebatang pohon sakit kita ikut prihatin dan khawatir? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar