Pembaca
Koran…
Bandung Mawardi ; Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah
|
KOMPAS,
10 Maret
2018
… begitu koran dijual di kios-kios,
berita di dalam koran sudah basi dan mati pada saat dibaca.
(John
Connolly, The
Book of Lost Things, 2008)
Bre Redana di Kompas, 15 Oktober 2017,
bercerita tentang masa lalu kenikmatan membeli dan membaca koran. Dulu, orang
masih gampang untuk mencari koran di kios-kios pinggir jalan. Para pembaca
koran bergirang tiap pagi. Kini, orang-orang sulit mendapatkan koran. Para
penjual koran sudah berganti pekerjaan. Di pinggir jalan, koran-koran jarang
terlihat mata. Bre Redana mulai merasakan kelangkaan koran di Ciawi. Situasi
mutakhir memang agak bercerita sedih mengenai koran dan nasib pembaca. Bre
Redana sempat meragu nasib penggandrung koran saat berlangsung empasan berita
dan pertarungan kecepatan berita menghampiri publik.
Kita boleh membandingkan cerita pembaca
koran masa sekarang dengan masa lalu. Pada 1976, terbit buku pelajaran
berjudul Bahasa
Indonesia: Belajar Membaca dan Menulis 1 a susunan tim
beranggotakan 12 orang, antara lain AS Broto, Anwar Jasin, E Karwapi, S
Effendi, Harimurti Kridalaksana. Buku terbitan Depdikbud untuk murid sekolah
dasar kelas 1. Di halaman 1, murid melihat gambar keluarga Budi. Bapak sedang
membaca koran. Budi dan Wati membaca buku. Ibu membacakan buku buat si
bungsu. Keluarga itu representasi kecerdasan atau keluarga literasi pada masa
Orde Baru. Buku pelajaran tak mengajarkan pada murid mengimajinasikan
keluarga menonton televisi. Keluarga membaca koran dan buku turut menentukan
kesuksesan pembangunan nasional.
Buku mengalami perbaikan isi dan gambar.
Pada cetak ulang tahun 1981, gambar berubah, tetapi tetap menampilkan
keluarga Budi. Bapak membaca koran. Budi dan Wati membaca buku bersama. Si
bungsu sedang disuapi ibu. Gambar keluarga Budi di buku bacaan murid SD dalam
dua edisi berbeda tetap menampilkan bapak adalah pembaca koran. Mengapa
koran? Barangkali tokoh bapak dianggap tokoh penting dalam bekerja, interaksi
sosial, dan penanggung jawab keluarga. Bapak diceritakan memiliki minat
mengetahui perkembangan politik, ekonomi, sosial, pendidikan, olahraga, dan
kultural. Koran jadi sumber bacaan-informatif agar selalu mengerti
perubahan-perubahan di Indonesia. Bapak itu pembaca koran dan pemberi
penjelasan pada keluarga. Pada masa Orde Baru, koran dianggap perlu bagi
penciptaan keluarga Pancasila. Koran memiliki peran menginformasikan
keberhasilan pelbagai program pemerintah, mengajak publik selalu mendukung
pemerintah demi pembangunan nasional.
Puisi
Sejarah koran dan keluarga di Indonesia itu
memiliki persamaan imajinasi dengan puisi berjudul ”Ada Berita Apa Hari Ini,
Den Sastro” gubahan Sapardi Djoko Damono. Si pembaca koran adalah bapak,
sosok di kelas sosial terhormat: priayi. Sapardi Djoko Damono menulis: Ada berita apa hari ini, Den Sastro?
Siapa bertanya? Ada kursi/goyang dan koran pagi, di samping kopi. Huruf,
seperti biasa-/nya, bertebaran di halaman-halaman di bawah matamu,
kau-/kumpulkan dengan sabar, kausulap menjadi berita. Dingin pagi/memungut
berita demi berita, menyebarkannya di ruang duduk rumahmu dan meluap sampai
ke jalan raya.
Adegan membaca koran di pagi hari jadi
pengesahan alur hidup keseharian si priayi. Koran menghubungkan pembaca ke
pelbagai peristiwa penting atau iseng. Pembaca mendapat berita-berita untuk
cuma mengetahui atau merasa ”terlibat” dengan peristiwa. Di Jawa, priayi
”wajib” membaca koran. Orang-orang diharapkan memberi pujian dan pengakuan
bahwa priayi itu melek aksara, pengumpul informasi, dan pengedar opini. Koran
jadi unsur penguat identitas dan kelas sosial.
Puisi itu terasa memiliki kaitan dengan
gambar di buku bacaan SD. Bapak memiliki kebiasaan membaca koran. Profesi sebagai
orang kantoran atau julukan sebagai priayi semakin menjelaskan konsekuensi
bapak membaca koran. Duduk di kursi, tangan memegang koran, dan segelas
minuman di meja jadi adegan khas bagi pembaca koran. Kita memiliki gambar
atau imajinasi pembaca koran selama puluhan tahun. Pembaca koran mesti
berduit, terhormat di mata warga. Istri dan anak mendefinisikan bapak adalah
pencinta koran setiap hari. Bapak tanpa koran terkesan aneh, tak sempurna.
Tahun demi tahun berlalu. Cerita tentang
koran perlahan berubah. Joko Pinurbo dalam puisi berjudul ”Membaca Koran
Pagi” berbagi sindiran dan ironi. Adegan membaca koran tak selalu
menghasilkan kebaikan, ketenangan, atau kebahagiaan. Joko Pinurbo
menulis: Dengan
perasaan hambar kami gerayangi/ halaman-halaman koran./ Huruf-huruf membawa
kami ke pasar./ Kami tersesat di tengah hingar-bingar. Berita-berita
di koran kadang memicu kecemasan mengenai konflik politik, kenaikan harga
kebutuhan pokok, krisis ekonomi, kriminalitas, dan perselingkuhan artis. Pagi
gampang rusak jika pembaca melulu mendapat berita-berita buruk. Bermula
membaca koran, pembaca bisa bersedih, tetapi sulit mengelak dari kebutuhan
mendapat berita-berita mutakhir. Ironi si pembaca koran disampaikan Joko
Pinurbo: Koran telah
menjadi kakek dan nenek kami/ yang baru, yang suka menceritakan/kisah-kisah
panjang dan ngelantur/ sebelum kami tidur dan mendengkur. Koran
terlalu menguasai hidup keseharian si pembaca. Koran mirip bukti peresmian
hari.
Pada saat teknologi komunikasi dan
informasi belum terlalu canggih melanda Indonesia, membaca lembaran-lembaran
koran adalah kelaziman. Koran itu kertas. Orang bisa berlangganan koran. Di
rumah, koran diantar oleh loper. Pembaca pun gampang membeli koran di kios.
Di kertas, berita-berita disajikan ke pembaca dilengkapi foto dan gambar.
Kertas dan berita sudah mengandung pesan gamblang: tak wajib awet atau
mengabadi. Koran bisa berganti peran sebagai pembungkus makanan, alas duduk,
bahan kerajinan, atau mainan. Berita-berita cepat kedaluwarsa. Pembaca tak
wajib mengingat semua isi berita. Hari terus berganti, berita-berita pasti
berganti. Berita pun tak selalu benar.
Puisi berjudul ”Loper Koran” gubahan Joko
Pinurbo menguak dilema pembaca koran. Si loper koran ”mengganggu” pembaca
agar tak terlalu menggandrungi berita-berita di koran. Joko Pinurbo
bercerita: Pagi-pagi
sekali loper koran itu sudah nongol di depan/ pintu, menaruh koran di
pangkuanku seraya berpesan:/ ”Jangan percaya koran. Koran cuma
bohong-bohongan.”
Peringatan dari loper mengguncang pembaca.
Mengapa ada kebohongan di koran? Barangkali si loper berlagak jadi pemberi
nasihat bahwa realitas tak bisa utuh diberitakan di halaman-halaman koran.
Berita tak mungkin tuntas mengungkap atau memberi tahu kebenaran. Pembaca
diingatkan jangan terlalu berharap. Pembaca juga mesti waspada agar tak
kecanduan kebohongan. Puisi itu mengingatkan kita pada misi penerbitan
koran-koran di Indonesia sering dipengaruhi pemilik modal dan kekuasaan.
Koran itu persaingan bisnis dan pertarungan misi beraroma politik.
Kini, orang-orang tak selalu membaca koran
bekertas. Pembaca mulai beralih ke perangkat teknologi canggih untuk mencari
dan mendapatkan berita-berita terbaru atau teraktual. Berita semakin cepat
muncul dan berlalu. Adegan membaca koran pun berganti, tak seperti gambar di
buku bacaan SD atau puisi-puisi gubahan Sapardi Djoko Damono dan Joko
Pinurbo. Pembaca koran edisi cetak tentu orang memiliki kesabaran dan
ketabahan meski ”terlambat” mengetahui berita ketimbang ”pemburu” berita di
situs-situs berita di internet, tetapi sulit merenung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar