Menyorot
Polri Lawan Hoax
Moh Mahfud MD ; Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum
Administrasi Negara (APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN
SINDO, 10 Maret 2018
SAYA heran pada sementara
pihak yang menyalah-nyalahkan Polri ketika membongkar dan menangkap belasan
orang yang disangka mengorganisasikan akun hoax untuk menyebarkan berita
bohong ke tengah-tengah masyarakat. Mereka ini seakan tidak menyadari bahwa
berbagai kerusuhan yang mengerikan justru timbul karena pembuatan hoax yang
diorganisasikan secara sistematis.
Ketika Polri membongkar
dan menangkap jaringan akun Muslim Cyber Army (MCA) Family seharusnya kita
mengacungi jempol Polri karena sudah bisa melakukan itu dengan baik. Anehnya, ada yang berkata nyinyir, “Itu
rekayasa untuk mengalihkan perhatian,” dan ada yang mempersoalkan penyebutan
secara eksplisit nama MCA kepada publik yang, katanya, bisa memojokkan umat
Islam. Tetapi, alasan untuk mengatakan itu tidak masuk akal.
Polri tidaklah salah
ketika menyebut nama akun tersebut. Jika Polri melakukan penindakan kemudian
tidak menyebut nama kelompok (akun) yang digunakannya justru bisa lebih salah
lagi. Masa iya, menindak tanpa menyebutkan dengan jelas siapa yang ditindak
dan apa nama kelompoknya? Kalau bertindak seperti itu Polri bisa dianggap
membuat hoax sendiri karena menindak satu kelompok yang tak ada identitasnya.
Bisa juga dituding
melakukan operasi senyap yang merugikan kelompok tertentu atau berbagai
tudingan lainnya. Jadi, sudah benarlah Polri menyebut nama MCA Family dan
nama-nama mereka yang ditangkap.
MCA Family itu jelas
merupakan fakta sebagai akun produsen dan penyebar hoax jahat yang
dipergunakan oleh pelaku-pelaku yang jelas identitasnya. Masa harus didiamkan
atau disembunyikan identitasnya? Kelompok seperti itu memang harus
ditindak tegas. Apa lagi isu-isu yang
dilontarkannya selama ini memang “mengatasnamakan” pembela Islam untuk
membuat keresahan dan disintegrasi sosial.
Adalah benar pendapat
bahwa pembuat akun MCA Family dan pendukung-pendukungnya adalah perusak Islam
dan perusak citra umat Islam. Mereka yang merasa dirinya sebagai barisan
Muslim Cyber Army yang benar dan tidak menyebarkan hoax (melainkan hanya
berdakwah atau berjuang secara baik) seharusnya ikut membantu Polri bersama
masyarakat untuk membongkar dan menindak sindikat MCA Family.
Berita hoax yang
menyebarkan kebencian, fitnah, adu domba antargolongan merupakan tindakan
yang membahayakan kita sebagai bangsa yang bernegara. Baru dua hari lalu
(Kamis, 8 Maret 2018) kita dikejutkan oleh berita terjadinya bentrok antara
penganut Islam dan penganut Budha di Sri Lanka yang sampai menelan korban
jiwa karena diprovokasi oleh hoax.
Secara hukum di Indonesia
ini kita sudah mengantisipasinya melalui UU tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE), yakni UU Nomor 11/2008 yang kemudian direvisi dengan UU
Nomor 19/2016. Di dalam UU ITE tersebut diatur ancaman hukuman yang tegas
atas penyebar berita bohong yang disebarkan melalui media elektronik,
tepatnya transaksi elektronik.
Menurut Pasal 28 ayat (1)
dan ayat (2) juncto Pasal 45 (2) UU Nomor 11/2008 serta menurut Pasal 45 ayat
(10) UU Nomor 19/2016, siapa pun yang melakukan penyebaran berita bohong
dengan unsur tertentu bisa dijatuhi hukum pidana penjara selama enam tahun
dan atau denda Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Tepatnya, “Setiap orang
yang dengan sengaja dan/atau tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang menyebabkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”.
Dan, “Setiap orang yang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, antargolongan” diancam
dengan hukuman pidana 6 tahun dan/atau denda sebesar Rp1.000.000.000 (satu
miliar rupiah).
Jika menyangkut
fitnah, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan,
dan sebagainya terhadap orang perseorangan maka sesuai Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/ 2008 tanggal 5 Mei 2009, pelaku transaksi
elektronik yang seperti itu bisa dihukum dengan ketentuan-ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagaimana diatur di dalam Pasal 310
(menista), Pasal 311 (memfitnah), Pasal 315 (menghina, mencemarkan), dan
sebagainya dengan menggunakan Pasal 27 UU ITE.
Adapun yang dimaksud
dengan transaksi elektronik seperti yang diatur di dalam Pasal 1 butir 2 UU
Nomor 19/2016 adalah “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer,
jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. ”Polri tidak perlu
gamang dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum tersebut untuk menindak
secara tegas setiap pelaku transaksi elektronik yang menyebarkan hoax.
Meskipun begitu, kritik-kritik
terhadap Polri yang bermuatan kecurigaan tentang ketidaknetralan atau
tudingan tentang ketidakprofesionalan Polri tetaplah harus diperhatikan dan
dijawab dengan tindakan-tindakan profesional yang nyata oleh Polri. Di
tengah-tengah masyarakat memang berkembang
opini bahwa Polri kerap hanya menindak orang atau kelompok tertentu, tetapi
membiarkan orang atau kelompok tertentu lain ketika melakukan penistaan,
membuat hoax, atau tindak pidana lain.
Meskipun begitu,
masyarakat tidak harus meminta Polri mengklarifikasi lebih dulu tentang
berbagai kecurigaan dan protes itu untuk menindak kelompok MCA Family ini.
Kelompok MCA Family dan orang-orang yang terlibat di dalamnya harus segera
ditindak tegas tanpa harus disandera oleh mandeknya kasus-kasus lain yang masih
dipertanyakan. Biarlah itu berjalan simultan dan (bisa) melalui jalurnya sendiri-sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar