Matinya
Penghargaan
Dedi Haryadi ; Ketua Beyond Anti-Corruption
|
KOMPAS,
13 Maret
2018
Bilang sama gubernur dan wali
kotamu itu: Mapugada!” Apa tuh Bang, Mapugada? ”Mau penghargaan apa saja gue
ada”. Itu sinisme tukang ojek pangkalan, langgananku. Pemerintah Provinsi
Jawa Barat di bawah pimpinan Ahmad Heryawan dan Pemerintah Kota Bandung di
bawah Ridwan Kamil memperlihatkan
anomali. Mereka mendapatkan ratusan penghargaan, tetapi banyaknya penghargaan
itu tidak ngefek pada kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan.
Padahal, mengatasi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja yang
banyak dan berkualitas, serta
mempersempit ketimpangan pendapatan berbagai golongan masyarakat merupakan
tiga kewajiban dan tugas utama pemerintah.
”Sindikat”
pemberi penghargaan
Mengapa seabrek penghargaan itu
tidak ngefek? Tulisan ini tidak akan membahas problem inefisiensi dan
inefektivitas belanja-belanja
pemerintah dalam program kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan. Yang jadi kepedulian dan keprihatinan
adalah praktik pemberian penghargaan yang sudah patologis. Memang tidak
semua. Masih ada beberapa praktik pemberian
penghargaan yang kredibel dan
bermarwah tinggi.
Wali Kota Kupang Jefri Riwu Kore
menolak penghargaan dari Program Studi Magister Akuntansi Universitas Gadjah
Mada dan Kemendagri yang menobatkannya
sebagai pemerintah daerah peraih
Indeks Kondisi Keuangan Terbaik. Ia menolak penobatan dan penghargaan itu
selain karena tidak sesuai dengan
kenyataan, juga harus membayar biaya yang cukup mahal untuk seremoni
penganugerahan penghargaan tersebut.
Gubernur Gorontalo Rusli Habibie,
Mei 2016, pernah menolak pemberian penghargaan sebagai pemimpin terbaik dari
sebuah yayasan. Ia menolak penghargaan itu karena menilai tujuan pemberian penghargaan untuk
kepentingan komersial/bisnis yayasan tersebut. Selain itu, metode penilaian
yang dikembangkan yayasan itu juga
tidak ajek.
Pada Juli 2016, Forum Orangtua
Siswa (Fortusis) melapor kepada Poltabes
Kota Bandung tentang praktik
jual-beli sertifikat penghargaan prestasi olahraga dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB)
jalur non-akademik. Mau jadi juara apa saja gampang: tinggal order. Praktik
ini sudah menahun. Mungkin terjadi juga di kota lain.
Kita harus membenahi praktik
pemberian penghargaan sehingga pemberi penghargaan dan penerimanya (individu atau lembaga) benar-benar tepercaya dan berintegritas. Demikian juga publik akan
apresiatif dan puas dengan lembaga pemberi penghargaan serta proses pemberian
penghargaan tersebut. Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mencapai
itu.
Langkah
pembenahan
Pertama, supaya ngefek,
pemberian penghargaan sebaiknya
dikaitkan dengan dampak yang
ditimbulkan dari suatu kegiatan, program,
atau inisiatif. Pemberian penghargaan
sebaiknya bukan pada hasil (out put) atau kegiatan itu sendiri, apalagi baru digelar atau dirilis lalu suatu
kegiatan sudah diganjar dengan penghargaan.
Kedua, pemberian penghargaan harus
terintegrasi, menjadi bagian dari agenda perubahan yang terencana, terkelola
dengan baik, dan berjangka panjang. Proses pemberian penghargaan harus visioner. Tata kelola
lembaga pemberi penghargaan harus ajek, transparan, akuntabel, dan
partisipatoris. Demikian juga proses penilaiannya harus transparan,
akuntabel, dan partisipatif. Jadi, memberikan penghargaan itu bukan karena
dorongan impulsif.
Ketiga, penguatan kontrol publik
dalam proses pemberian penghargaan. Publik perlu mengawasi lembaga pemberi
penghargaan, proses pemberian penghargaan, dan dampak dari penghargaan
terhadap kualitas subyek yang diberi
penghargaan.
Kontrol publik ini penting untuk
memperbaiki kelembagaan pemberi penghargaan dan proses pemberian penghargaan,
baik untuk lingkungan domestik maupun lintas negara. Pernah terjadi, ada
kepala daerah yang mendapatkan predikat sebagai wali kota terbaik sedunia,
padahal baru menjabat delapan bulan. Bagaimana mungkin? Bagaimana proses
penilaiannya? Fortusis di Kota Bandung sudah menjalankan peran kontrol ini dengan
baik. Pengalaman Fortusis melakukan ini bisa ditularkan kepada yang lain.
Keempat, mengajekkan penegakan
hukum. Kalau ada unsur tindak pidana/kejahatan dalam proses pemberian penghargaan
(pemalsuan, penipuan, atau mengelabui publik), maka aparat penegak hukum perlu mengungkap dan
mengadili ”sindikat” pemberi penghargaan. Selain untuk memulihkan
hak-hak korban, penegakan hukum juga
penting untuk mencegah jangan sampai
korban lain berjatuhan. Apakah Sri Mulyani, yang beberapa waktu lalu
dinobatkan sebagai menteri keuangan terbaik sedunia, juga korban sindikat
pemberian penghargaan? Entahlah! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar