Perang
Suriah dan Media Kita
Abdillah Toha ; Pemerhati Politik
|
KOMPAS,
13 Maret
2018
Salah satu sisi dari perang di
Suriah yang telah berlangsung tujuh tahun ini adalah pemberitaan tentang
perang itu sendiri. Media cetak dan elektronik umumnya mengandalkan berita
perang Suriah dari media arus utama Barat
yang berat sebelah. Akibatnya, terjadi kekeliruan persepsi tragedi
ini.
Orang cenderung membebankan semua
kesalahan di tangan rezim Bashar al-Assad. Dampaknya demo oleh beberapa
kalangan di Jakarta, yang mengecam Assad dengan menyebutnya pembantai
rakyatnya sendiri.
Salah persepsi ini bersumber dari
pemberitaan media yang kurang berimbang. Selain tidak mengirim langsung
wartawan ke lapangan, media di Indonesia menerjemahkan berita-berita dari
media asing yang kebanyakan menyandarkan informasi pada lembaga bernama
Syrian Observatory for Human Rights (SOHR) berbasis di Inggris.
Anti-Assad
LSM ini dikelola oleh keturunan
Suriah yang jelas-jelas anti- Assad. Sumber
informasi dari lapangan didapatnya dari ”aktivis oposisi”. Sejumlah
video dan foto dari lapangan pun disediakan oleh LSM bentukan intelijen
Barat, White Helmets.
Tidak jarang kita jumpai video
dari zona perang lain atau video yang disutradarai disebarluaskan sebagai
berita. Jangankan melakukan asas jurnalisme terpenting, yaitu mengonfirmasi
berita dari pihak yang berseberangan, media Barat cenderung menganggap
pemberitaan perang Suriah sebagai tugas patriotik mendukung kebijakan
negerinya.
Akhir 2016, jurnalis perang
kawakan Inggris, Robert Fisk, menulis, ”Sangat banyak kerusakan yang
mencederai kredibilitas jurnalisme dan politisi dengan menerima hanya satu
sisi cerita, ketika tak ada satu pun reporter yang bisa mengonfirmasi apa
yang mereka beritakan. Kita memberikan jurnalisme kepada media dan
orang-orang bersenjata yang mengontrol area itu….”
Keprihatinan Fisk terkait dengan
menyesatkannya media Barat dalam pemberitaan konflik dan proses pembebasan
Aleppo dari tangan milisi oposisi.
Sama seperti pemberitaan yang
hari-hari ini kita baca tentang Ghouta. Waktu itu Aleppo dikabarkan sedang
menjadi korban genosida oleh tentara Suriah. Namun, berita itu akhirnya
terbantahkan ketika setelah dibebaskan, pada 25 Desember 2016 muncul berita
gegap gempitanya ribuan warga Aleppo merayakan Natal. Inilah Natal pertama
yang mereka rayakan setelah lima tahun tercekam kengerian atas kehadiran
kelompok-kelompok fanatik yang menghalalkan teror demi membentuk negara ”khilafah”.
Menurut The Washington Post, Rabu (28/2), butuh
waktu lama bagi pemerintahan Damaskus untuk merebut kembali Ghouta timur
karena puluhan ribu milisi yang bercokol di sana telah bersiap
bertahun-tahun. Selain sudah membangun terowongan bawah tanah untuk
perlindungan, mereka juga memiliki persenjataan sangat lengkap.
The Washington Post bercerita,
selain menghujani Damaskus dengan mortir, milisi ekstrem itu pernah mengurung
kelompok minoritas Alawi di kerangkeng dan ditaruh di pusat-pusat keramaian
sebagai tameng serangan bom dari Damaskus.
Pemberitaan tentang operasi
tentara Suriah di Ghouta timur sebenarnya adalah pengulangan dari cerita
pembebasan Aleppo. Melihat tentara milisi di Ghouta makin terdesak, pers dan
intelijen Barat menyebarkan berita genosida di Ghouta dan meminta perhatian
dunia.
Setiap kali milisi anti-pemerintah
yang merupakan proksi Barat untuk menjatuhkan Assad terdesak, sidang-sidang
darurat Dewan Keamanan PBB diadakan untuk memaksakan gencatan senjata. Tidak
lupa pemberitaan tentang penggunaan senjata kimia oleh tentara Assad yang
tidak pernah terbukti.
Pemberitaan yang masif sebenarnya
hanya mengindikasikan bahwa milisi jihadis yang terdiri dari sejumlah tentara
asing bentukan Barat sedang mengalami kekalahan. Berita terbaru membenarkan
hal ini ketika penduduk Ghouta mulai berani berkelompok melawan milisi
bersenjata yang selama ini menyandera mereka sebagai respons kedatangan tentara Suriah.
Sangatlah mengherankan apabila
kita gagal membaca motivasi Barat dalam perang Suriah setelah menyaksikan
jatuh dan hancurnya Libya serta tragedi agresi Arab Saudi dengan sokongan
Amerika Serikat di Yaman yang masih berlangsung sampai kini.
Bagi AS dan kawan-kawan,
Assad—yang membangkang terhadap kemauan Barat, membahayakan eksistensi Israel,
sekutu Iran dan Hezbollah di Lebanon, serta kawan dekat Rusia—harus distop
dan disingkirkan. Tak ada niat mereka mendirikan demokrasi di sana karena AS
melindungi rezim-rezim otoriter di Timur Tengah.
Namun, tidak semudah menjatuhkan
Moammar Khadafy, Barat terus terkejut berhadapan dengan Assad. Ternyata
Suriah tak semudah Libya untuk ditaklukkan. Kegagalan demi kegagalan dihadapi
Barat meski dengan menciptakan tragedi kemanusiaan terbesar abad ini.
Mengapa? Pertama, Assad bukan Khadafy dan Suriah bukan Libya yang tak siap
hadapi manuver Barat.
Tidak seperti Saddam Hussein yang
dibenci rakyatnya, Assad didukung oleh mayoritas warga Suriah yang bersedia
berkorban untuk mempertahankan kedaulatan negerinya. Assad juga punya teman
setia di Iran dan Lebanon yang siap membantu. Akhirnya, Rusia memutuskan
tidak membiarkan Barat sesukanya menguasai Timteng.
Melawan
teroris
Seperti banyak diberitakan, sejak
18 Februari Pemerintah Suriah melakukan operasi pembebasan di Ghouta, di
pinggiran Damaskus, dari tangan milisi bersenjata yang terafiliasi Al Qaeda
dan ideologi ekstrem lain. Mereka adalah Jayish al-Islam, Jabhat an-Nusra,
Levant Liberation Commitee (Haiat Tahrir al- Sham), dan Faylaq ar-Rahman.
Semua kelompok berambisi membentuk khilafah di Suriah.
Wawancara Sky News Australia
beberapa hari lalu dengan Dr Marcus Papadopoulos, seorang pengamat politik
asal Inggris, seharusnya membuat kita terenyak. Dia mengingatkan kepada
publik Australia bahwa yang dilawan tentara Suriah di Ghouta timur adalah
kelompok dengan ideologi sama dengan mereka pelaku Bom Bali.
Bom Bali I merupakan aksi teroris
terbesar di Indonesia yang menewaskan dan melukai ratusan orang, kebanyakan
asal Australia dan sebagian orang Indonesia. Setelah Bom Bali I, berbagai
aksi bom bermunculan di Indonesia, dari bom JW Marriott, bom Kedubes
Australia, bom Gereja Immanuel Palu, bom Bali II, bom Solo, bom Sarinah,
hingga bom Kampung Melayu.
Anehnya, sebagai bangsa yang
pernah secara langsung mengalami aksi brutal kelompok ekstrem atas nama
agama, simpati dan empati kita terhadap Pemerintah Suriah terasa minim.
Padahal, bangsa Suriah sedang menghadapi kelompok ekstremis dengan ideologi
yang sama dengan pelaku pengeboman di Indonesia. Salah satu indikator
lawan-lawan pemerintahan Assad adalah kelompok ekstremis, adalah dukungan
suara-suara kelompok garis keras di negeri kita lewat media sosial dan media
lain kepada kelompok oposisi.
Dapatkah kita membayangkan betapa porak
porandanya negeri kita andai tahun 1998 Soeharto menolak mundur dan kemudian kelompok
reformis mendatangkan milisi asing untuk bertempur melawan Soeharto? Atau,
andai ribut-ribut jelang Pilkada DKI tahun lalu dicampuri oleh kekuatan
jihadis asing?
Untunglah bangsa Indonesia tinggi
rasa nasionalismenya dan Tuhan masih melindungi.
Indonesia adalah negara yang
plural dengan dasar negara Pancasila. Konflik Suriah seharusnya menjadi
pelajaran penting bagi kita bahwa tidak ada tempat di Nusantara bagi kelompok
ekstremis yang ingin mengobarkan konflik dan peperangan.
Tantangan bagi media kita adalah
menjadi media yang bertanggung jawab dalam menjabarkan bahaya ekstremisme
dengan menyampaikan pemberitaan faktual mengenai konflik Suriah dari sumber
bonafide.
Posisi pemerintah kita sudah benar
dan tidak terpengaruh oleh pemberitaan media yang berat sebelah. Pemerintah
telah terus- menerus mengawasi warga negara Indonesia apabila kepergiannya ke
luar negeri dicurigai dalam rangka bergabung dengan milisi di Suriah atau
Irak. Beberapa bahkan sudah diamankan.
Upaya dan kewaspadaan ini harus terus
dipelihara. Langkah yang lebih maju tentunya apabila ada peluang bagi
pemerintah kita untuk berperan sebagai juru damai di antara faksi yang
bertikai di sana seperti yang sudah diusahakan di Afghanistan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar