Cara
Beragama Kita
A Helmy Faishal Zaini ; Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
KOMPAS,
13 Maret
2018
Pada satu kesempatan, Kiai Said
Aqil Siroj menyampaikan bahwa tidak ada gunanya orang beragama jika tidak
melakukan tiga hal berikut ini.
Pertama, terus-menerus menyerukan
sedekah. Kedua, selalu berbuat baik. Ketiga, mengupayakan rekonsiliasi atau
perdamaian kemanusiaan.
Apa yang dikatakan Kiai Said
merupakan tafsirannya atas surat An-Nisa Ayat 114. Sebuah tafsir yang bukan
saja sangat kontekstual, lebih dari itu semakin menemukan titik relevansinya
jika kita kelindankan dengan pola keberagamaan kita hari ini.
Tiga
dimensi
Tiga dimensi ”kebaikan dalam
beragama” yang diungkapkan di atas jika kita cermati sesunguhnya lebih kental
nuansa ibadah sosialnya. Ritus yang memiliki dampak kepada apa-apa yang
berada di luar diri manusia, yakni lingkungan sosialnya. Itu berarti,
kesalehan sosial juga memiliki derajat yang tidak kalah penting daripada
kesalehan yang sifatnya ritus dan ubudiah semata.
Pada poin pertama, agama berguna
jika pribadi yang beragama terus-menerus menyerukan sedekah. Derma, itulah
sejatinya inti ajaran Islam. Semangat untuk selalu memberi dan berbagi adalah
salah satu pilar ajaran agama. Dalam kegiatan berbagi, berderma, atau
bersedekah, ada kasih sayang dan juga perhatian terhadap sesama.
Bahkan, di banyak kesempatan telah
diungkapkan cerita kedahsyatan berderma ini. Salah satunya, misalnya yang
paling fenomenal dan menyentuh hati, adalah kisah tentang derma seorang
pelacur yang memberi minum kepada seekor anjing yang sedang mengalami
kehausan. Dikisahkan, atas sebab amalnya itulah Tuhan memasukkan pelacur
tersebut ke dalam surga-Nya.
Poin kedua, terus-menerus
mengupayakan berbuat baik. Poin ini sangat menarik jika dicermati. Artinya,
dimensi perintah yang disampaikan Tuhan kepada hamba-Nya adalah agar mereka
selalu berusaha dan berupaya untuk berbuat baik secara kontinu. Yang dicatat
Tuhan bukanlah hasil perbuatan baik tersebut, melainkan justru upaya dan
usaha berbuat baik itu sendiri. Hal ini sangat penting dicatat sebab
orientasi rata-rata kita, yang selama ini kerap salah dalam memahami, adalah
pada hasil. Padahal jelas, agama menghendaki orientasi proses, di mana
proseslah yang diutamakan, bukan hasil atau dampak dan juga akibat dari
perjuangan dan berbuat baik tersebut.
Paradigma bersetia kepada proses
ini, meskipun mudah diucapkan dan dibayangkan, tetapi sangat sulit
diimplementasikan. Banyak dari kita, umat beragama, yang diam-diam
mengkhianati proses dengan dalih bahwa dalam beragama yang paling penting
adalah tujuan akhirnya. Tujuan yang baik tentu saja akan sempurna jika
dilakukan dengan cara yang baik pula. Amar makruf misalnya, atau perintah
untuk berbuat baik, ia akan jadi baik jika dilakukan dengan cara yang baik
pula. Amar makruf harus dilakukan dengan cara yang makruf, bukan cara yang
mungkar. Dalam konteks ini, pola dakwah atau dalam bahasa pesantren disebut
dengan fiqhu dakwah sangat penting dipahami.
Fiqhu dakwah adalah serangkaian
ilmu yang dijadikan peranti untuk mengambil keputusan dan langkah dalam
melakukan dakwah. Jika dipraktikkan dengan baik, buah dari penguasaan fiqhu
dakwah adalah produk dakwah yang menampakkan wajah Islam rahmatan lil alamin.
Islam yang menebarkan kasih sayang terhadap seru sekalian alam, bukan hanya
sesama manusia saja. Sayangnya tidak semua pendakwah hari ini memahami fiqhu
dakwah dengan baik.
Poin ketiga, terus-menerus
mengupayakan rekonsiliasi atau perdamaian kemanusiaan. Agama sangat
menjunjung tinggi rasa kemanusiaan. Islah atau perdamaian adalah cita-cita
yang mendasari setiap gerak agama. Agama tak menghendaki situasi kehidupan
yang koyak moyak. Agama adalah serangkaian nilai yang mendorong hamba-Nya
untuk jadi agen-agen perdamaian.
Patologi
agama
Yang menarik terutama kaitannya
langsung dengan poin ketiga, ada sebuah wabah beragama yang belakangan
gejalanya sangat mengkhawatirkan. Wabah tersebut jika dibiarkan akan menjadi
patologi. Apa wabah yang dimaksudkan? Meminjam istilah Jean Couteau (2017),
patologi tersebut diistilahkan dengan delirium religiosum yang memiliki ciri
antara lain yang paling menonjol: umat beragama sudah dihinggapi delusi
obsesif-kompulsif karena merasa dirinya jadi religius, terus ingin semakin
religius, sekaligus di saat bersamaan menegasikan apa dan siapa saja yang
berada di luar diri, pemahaman, cara pandang, dan keyakinan mereka.
Kasus pembakaran pencuri amplifier
di Bekasi beberapa bulan lalu merupakan bukti nyata dari mengkristalnya
patologi sosial ini. Agama dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi tindakan
persekusi: membakar hidup-hidup seorang anak manusia. Agama yang pada
dasarnya memiliki watak melindungi, akibat serangan penyakit sosial delirium
religiosum ini menjadi institusi yang mengerikan. Agama bukan dimaknai
sebagai medium untuk menebarkan perdamaian, justru sebaliknya digunakan
sebagai alat menaburkan kebencian. Pada konteks ini—yakni dari mana muasal
kebencian, saya ingin mengutip apa
yang dikatakan oleh Emmanuel Levinas (1986). Ia mengatakan bahwa benih
kebencian muncul ketika seseorang merasa terusik dengan kehadiran orang lain
juga ketika kenyamanan dan kebebasan seseorang dipertanyakan oleh orang lain.
Sepenarikan napas dengan hal itu,
patologi sosial dalam beragama juga bisa kita baca dari kasus Intan Olivia,
kanak yang menjadi korban bom molotov di Gereja Oikumene, Samarinda, setahun
yang lalu. Memandang orang lain yang di luar keyakinannya sebagai liyan
adalah pangkal patologi sosial jenis ini. Padahal, dalam pelbagai literatur
disebutkan, sebut saja misalnya yang dikatakan oleh Al-Masudi (1997) dalam
Murujud Dzahab, bangsa Nusantara adalah bangsa yang sangat kosmopolit yang
memiliki kerangka pemahaman bahwa yang asing adalah merupakan bagian yang bisa
menyempurnakan diri. Tidak ada istilah liyan. Unsur-unsur yang datang dari
asing dijadikan sebagai penyempurna diri, bukan malah dianggap musuh yang
halal diperangi. Oleh karena itu, bangsa Nusantara sangat menghargai
perbedaan.
Dalam pada itu, kerukunan
antar-keyakinan termaktub jelas dalam khazanah Nusantara. Misalnya dalam
Negarakertagama gubahan Mpu Prapanca atau dalam Kakawin Sutasoma anggitan Mpu
Tantular, yang salah satu baitnya sangat terkenal bhinneka tunggal ika, tan
hana dharma manruwa (berbeda tetapi tetap tunggal, sebab kebenaran tidak akan
pernah mendua).
Alakullihal, dalam konteks
menghadapi tantangan beragama kita, utamanya kaitannya dengan beragama di
negara yang bineka seperti Indonesia ini, ke depan yang paling penting untuk
dipahami adalah bahwa janganlah semangat beragama kita jauh melebihi semangat
untuk mempelajari, merenungi, dan menghayati agama itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar