KPK,
Pilkada, dan Misi Bersih Jokowi
Laode Ida ; Komisioner Ombudsman RI; Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
|
KOMPAS,
15 Maret
2018
Rencana Komisi
Pemberantasan Korupsi mengumumkan sejumlah calon kepala daerah yang sudah
masuk dalam daftar tersangka korupsi tampaknya dianggap mengganggu stabilitas
politik dalam pilkada serentak yang berlangsung pada 2018 ini.
Pemerintah, melalui Menko
Polhukam Wiranto, langsung memberi reaksi cepat atas rencana itu dengan
melakukan rapat koordinasi khusus. Hasilnya, meminta lembaga antikorupsi
menunda rencananya itu. Alasannya, para figur peserta pilkada itu sudah bukan
lagi pribadi, melainkan sudah menjadi milik partai politik dan juga
masyarakat pendukung (Kompas, 14/3).
Langkah politik di pihak
pemerintah itu tentu dengan mudah bisa dipahami karena terjadi semacam
”keguncangan jiwa pihak parpol” saat KPK belakangan ini mentersangkakan
termasuk menangkap tangan (OTT) beberapa kepala daerah dan calon kepala
daerah.
Maklum, sebagian besar
figur di barisan pemerintahan sekarang merupakan anasir-anasir parpol, yang
niscaya merasa wajah mereka seperti ”tersiram kotoran berbau busuk” lantaran
kader-kader yang sedang bertarung merebut kekuasaan di daerah ditersangkakan
oleh KPK.
Tak heran jika
memanfaatkan posisi di pemerintahan untuk berupaya ”menghalangi” atau
membujuk agar pemimpin lembaga antikorupsi menunda rencana itu. Apalagi
jika dalam daftar yang diumumkan itu ternyata akan ada sejumlah figur dari parpol
penguasa yang selama ini sudah disebut-sebut terkait atau bahkan sudah pernah
dimintai keterangannya oleh KPK terkait dengan sejumlah kasus korupsi.
Hidup-mati
Upaya mencegah pentersangkaan para calon kepala daerah boleh jadi merupakan
pertarungan hidup dan mati bagi parpol. Soalnya, jika itu dilakukan, sebagian
besar parpol akan kembali menelan dua pil pahit sekaligus.
Pertama, parpol akan
kembali merasa dipermalukan yang sekaligus tercitrakan negatif dalam
menghadapi pemilu serentak (presiden/wakil presiden dan legislatif) pada
2019. Apalagi jika para calon kepala daerah yang sekarang sudah berstatus
tersangka (atau nanti akan ditersangkakan) belum tentu tidak buka-bukaan,
antara lain, boleh jadi akan mengungkap aliran uang sebagai ”harga kendaraan”
parpol yang ditumpangi.
Kedua, niscaya figur dari
parpol yang akan ditersangkakan itu sudah akan pupus harapan untuk jadi
pemenang dan atau memimpin di daerah otonom. Padahal, bagi parpol yang
kadernya jadi kepala daerah menjadi bagian dari modal utama baik untuk meraih
suara dalam pileg (dan juga pilpres), dan juga langsung atau tak langsung
menjadi ”sumber dana” untuk aktivitas parpol asal kepala daerah itu.
Namun, apakah KPK salah
jika nanti akan mengumumkan para calon kepala daerah yang masuk dalam daftar
tersangka korupsi? Tentu tidak.
Jika pun dianggap keliru, itu hanya terkait etika profesi penegak hukum karena Agus Raharjo telah ”lancang” mengumbar atau membocorkan informasi internal KPK yang berdampak pada timbulnya kegelisahan sebagian pihak luar (dalam hal ini politisi parpol).
KPK harusnya langsung saja
bertindak, tersangkakan, dan atau tangkap saja oknum yang terindikasi kuat
pelaku korupsi; tak perlu gertak (bluffing) layaknya politisi atau aktivis.
Tak
ada larangan
Pilkada serentak sebagai
bagian dari pesta demokrasi lokal seharusnya dijadikan ajang pertarungan
tampilnya figur bersih untuk memastikan pemerintahan daerah efektif sebagai
ujung tombak kesejahteraan rakyat.
Dalam aturan yang berlaku,
tak ada larangan KPK untuk mentersangkakan seseorang yang sedang bertarung
baik sebagai calon kepala daerah maupun untuk posisi apa pun. Yang terpenting
ada (alat) bukti permulaan yang kuat dan diyakini sebagai dasar melakukannya.
KPK harus tegas jalankan mandat. Tak boleh pilih kasih hanya karena pertimbangan
momentum pilkada atau kepentingan parpol tertentu.
Kecuali itu, KPK telah
(dan akan) melakukan langkah strategis mencegah tampilnya figur korup yang
akan memimpin daerah. Itu tentu sejalan dengan salah satu misi pemerintahan
Presiden Joko Widodo seperti yang tercantum dalam Nawacita (nomor 3), yakni
”membangun tata kelola pemerintahan bersih, efektif, demokratis, dan
terpercaya”.
Pilkada serentak sebagai
bagian dari pesta demokrasi lokal seharusnya dijadikan ajang pertarungan
tampilnya figur bersih untuk memastikan pemerintahan daerah efektif sebagai
ujung tombak kesejahteraan rakyat.
Dalam konteks ini, ketika
Menko Polhukam meminta KPK menunda pentersangkaan (termasuk penyelidikan dan
penyidikan) terhadap sejumlah calon kepala daerah yang sudah terindikasi
pelaku korupsi, maka secara terang benderang kontradiksi dengan agenda
Jokowi-Kalla yang secara tegas tercantum dalam Nawacita. Bahkan, pada tingkat
tertentu, political will politisi Partai Hanura itu telah mengindikasikan dua
fenomena kritis. Pertama, ”upaya menghalang-halangi penegakan hukum”,
khususnya dalam pemberantasan korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa
(extraordinary crime).
Kedua, sebagai bagian dari
intervensi pemerintah terhadap penegak hukum yang sedang bersemangat untuk
terus menjalankan tugas mulianya.
Harus
dimanfaatkan
Gerakan KPK dalam
memberantas korupsi sebenarnya harus dimanfaatkan pemerintah. Ini sudah
pernah ditunjukkan Presiden saat pertama kali menyeleksi sejumlah figur yang
masuk daftar calon kabinetnya. Mantan Wali Kota Solo itu meminta KPK dan
PPATK mendeteksi apakah nama-nama yang berpotensi jadi pembantunya itu
terindikasi korup atau tidak.
Hasilnya, KPK memberi
isyarat adanya beberapa figur yang masuk dalam kategori stabilo merah dan
atau kuning. Presiden akhirnya tak memanggil orang- orang yang sudah
terindikasikan ”berperilaku kotor” oleh KPK itu.
Jika saja yang dilakukan
Presiden pada awal masa pengabdiannya itu dijadikan contoh oleh pemimpin atau
penguasa parpol, sebenarnya akan sangat konstruktif dalam menyelenggarakan
pilkada yang bersih dari calon-calon korup. Soalnya, calon-calon kotor sudah
terdeteksi sejak dini dan KPK bisa mengisyaratkan agar parpol tidak
mengajukannya.
Namun, sangat disadari,
jika itu dipraktikkan, KPK akan dituduh sebagai terlalu jauh mengintervensi
parpol. Sementara, dalam tradisi parpol kita selama ini, tahapan dan proses
perekrutan calon kepala daerah adalah momentum ”paling ditunggu-tunggu”,
apalagi para figur ”berkantong tebal”.
Tak heran jika ada yang
mengatakan, faktor kompetensi, moralitas, dan kapasitas figur bakal calon
kepala daerah jadi ”sangat tak penting” karena yang utama adalah ”isi tas”
atau ”kadar gizi” yang tersedia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar