Pengumuman
Calon Koruptor dan Pilkada
Hifdzil Alim ; Ketua LPBH PWNU DIY; Peneliti di Pukat FH UGM
|
KOMPAS,
15 Maret
2018
Ketua KPK Agus Rahardjo
baru-baru ini menyatakan pihaknya akan mengumumkan beberapa calon kepala
daerah yang ikut dalam Pilkada 2018 sebagai tersangka kasus korupsi. Seminggu
sebelumnya, pernyataan serupa ia sampaikan dalam Rapat Kerja Teknis Polri di
Jakarta.
Pemerintah, melalui Menko
Polhukam, kemudian menanggapi pernyataan Ketua KPK itu setelah rakorsus
penyelenggaraan Pilkada 2018. Pemerintah meminta KPK untuk menunda rencana
pengumuman tersangka, dengan alasan pengumuman tersebut akan mengganggu
pilkada. Selain itu, rencana KPK tersebut dipandang masuk ranah politik.
Penegakan hukum, termasuk
dalam melawan korupsi, membutuhkan prinsip yang melindunginya dari
kemungkinan buruk penyelewengan kewenangan dan tindakan-tindakan tak etis.
Tiga
larangan
Dalam Undang-Undang Nomor
30/2002 tentang KPK, memang tidak ditemukan pasal yang jelas mengatur
pernyataan pimpinan KPK itu sebagai larangan atau tidak. Hanya ada tiga
bentuk larangan yang tak boleh dilanggar oleh pimpinan.
Pasal 36 tegas melarang
tiga hal. Pertama, pimpinan dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak
langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan kasus
yang sedang ditangani KPK.
Kedua, pimpinan tidak
boleh menangani perkara yang pelakunya memiliki hubungan sedarah atau semenda
dengan para pemimpin.
Ketiga, pimpinan dilarang
menduduki jabatan tertentu, seperti komisaris dan direktur suatu perseroan,
organ yayasan, serta pengawas atau pengurus koperasi. Berdasarkan Pasal 36 UU
Nomor 30/2002, sekilas tampak tidak ada yang salah dengan pernyataan Ketua
KPK. Memberi bocoran kepada masyarakat soal penetapan calon koruptor tidak
ditentukan oleh undang-undang sebagai sebuah larangan. Akan tetapi, jika
pernyataan itu dipotret dari prinsip penegakan hukum, hasilnya akan lain.
Penegakan hukum, termasuk
dalam melawan korupsi, membutuhkan prinsip yang melindunginya dari
kemungkinan buruk penyelewengan kewenangan dan tindakan-tindakan tak etis.
Setiap institusi penegakan hukum memiliki prinsip masing-masing. Secara umum,
misalnya, di lingkup kepolisian dikenal The Peelian Principles.
Sir Robert Peel, Perdana
Menteri Kerajaan Inggris (1834-1835 dan 1841-1846), ketika menjabat sebagai
Home Secretary untuk kedua kali (1828-1830), memodernisasi Kepolisian Inggris
dan Wales. Salah satu kebijakan yang diambil pada 1829 adalah dengan
mencetuskan sembilan prinsip yang harus dipegang teguh oleh kepolisian. Peel
meyakini bahwa kepolisian mendapatkan kekuasaan dari masyarakat meski ia
berada di bawah negara.
Prinsip Peel menuntun bagaimana
seharusnya lembaga kepolisian menjalankan tugasnya. Sebagai contoh, penulis
mengambil prinsip pertama dan kelima dari ajaran Peel.
Prinsip pertama menekankan
tujuan dasar dari eksistensi kepolisian adalah untuk mencegah kejahatan.
Adapun prinsip kelima mengarahkan agar kepolisian konsisten melayani publik,
tetapi tidak untuk memuaskan nafsu publik. Pelayanan dilakukan dengan
batasan-batasan yang diatur oleh hukum.
Sikap
penegak hukum
Berdasarkan Prinsip Peel,
penegak hukum tidak bisa seenaknya mengeluarkan sikap, kata-kata, dan
keputusan yang berpotensi memicu kontroversi di masyarakat. Bahkan cenderung
dilarang.
Penegak hukum dicegah
terutama untuk memenuhi nafsu atau kepentingan kelompok tertentu. Kalaupun
terpaksa bertindak kontroversial, perlu pertimbangan matang dan cermat.
Walaupun diterapkan untuk
lembaga kepolisian, nilai-nilai Prinsip Peel tepat juga diterapkan ke lembaga
penegak hukum lain, seperti kejaksaan, komisi antikorupsi, dan
lembaga-lembaga audit negara. Setiap penegak hukum dibatasi oleh
prinsip-prinsip yang menjaga marwahnya. Jangan sampai pimpinan selip bicara,
lembaga yang tergelincir.
Dari sudut pemberantasan
korupsi, pernyataan Ketua KPK soal pengumuman calon koruptor secara tidak
langsung bisa membuat para koruptor yang merasa terancam akan ditangkap KPK
segera lari ke luar negeri sebelum statusnya diumumkan. Mudah-mudahan, ini
sudah menjadi bagian dalam pertimbangan.
Tak
tepat
Pernyataan KPK kepada
khalayak tentu tak bisa lagi dicabut. Walaupun begitu, sikap pemerintah melalui
Menko Polhukan dengan meminta penundaan pengumuman calon kepala daerah
sebagai tersangka kasus korupsi merupakan sikap yang tidak tepat.
Sekurang-kurangnya ada
tiga alasannya. Pertama, ukuran penegakan hukum dan pelaksanaan pilkada jelas
jauh berbeda. Penegakan hukum diukur dengan aturan-aturan yang telah baku di
ranah hukum. Begitu juga sebaliknya, pelaksanaan pilkada juga mempunyai
ukuran-ukurannya sendiri.
KUHAP mengatur penetapan
tersangka didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, baik secara
administratif-formil maupun substansial-materil.
Begitu telah lengkap bukti
permulaan, sejak itulah penegak hukum seharusnya mengumumkan penetapan
tersangkanya. Jadi, sama sekali tidak tergantung pada tata urut waktu
perhelatan pilkada.
Kedua, jika dilihat dari
sudut informasi yang perlu diterima oleh pemilih, pengumuman tersangka
sebelum pencoblosan suara di pilkada akan berdampak positif dalam hal mencari
pemimpin bersih. Masyarakat disuguhi keterangan yang valid dari sumber
tepercaya tentang kualitas calon kepala daerahnya.
Berdasarkan keterangan
tersebut, masyarakat akan membuat penilaian-penilaian yang rasional atas
calon kepala daerah sebelum melangkah ke bilik suara dan mencoblos
pilihannya.
Permintaan pemerintah
supaya KPK menunda pengumuman tersangka justru akan menghentikan kesempatan
publik untuk mendapatkan referensi yang presisi tentang bersih tidaknya calon
pemimpin di daerahnya.
Jika pengumuman calon
koruptor ditunda karena memenuhi kemauan pemerintah, hal itu sama saja
memadamkan api pengawasan di publik. Padahal, tak gampang menyulut kembali
keberanian warga.
Sisi
Positif
Selanjutnya, pengumuman
tersangka juga dipercaya mampu menghentikan praktik politik uang. Logikanya
demikian. Begitu calon kepala daerah lain—di luar yang ditetapkan sebagai
tersangka kasus korupsi—mendengar pengumuman itu, ia bakal berpikir seribu
kali untuk melakukan ”serangan fajar”. Alih-alih memperoleh suara, jika
kelakuan praktik politik uang itu tercium aparat penegak hukum, hasilnya
bukan eskalasi suara, melainkan jeruji besi.
Ketiga, pernyataan Ketua
KPK menguatkan semangat publik untuk turut serta melawan pemberantasan
korupsi dan praktik-praktik lancung, terlebih di pilkada.
Semua proses pilkada
dipantau oleh penyelenggara dan penegak hukum. Barisan rapi para pengawas
menjadi parade yang dapat meningkatkan semangat dan keberanian masyarakat
dalam memantau, mencatat, dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran pemilu. Api
pengawasan telah dinyalakan.
Jika pengumuman calon
koruptor ditunda karena memenuhi kemauan pemerintah, hal itu sama saja
memadamkan api pengawasan di publik. Padahal, tak gampang menyulut kembali
keberanian warga.
Pemilihan tidak boleh
diselenggarakan di ruang yang remang-remang. Cahaya harus tetap dinyalakan
untuk mengusir kegelapan informasi pemilihan calon kepala daerah.
Pernyataan Ketua KPK
menyimpan berkah yang tersembunyi berupa dorongan untuk bersama-sama
memberantas korupsi. Akan tetapi, dalam pemberantasan korupsi, blessing in
disguise tidak akan sering muncul dan tidak boleh dijadikan patokan.
KPK harus mengetatkan
kembali implementasi kode etiknya. Tidak lagi mengeluarkan
pernyataan-pernyataan kontroversial. Komisi ini adalah lembaga penegak hukum,
bukan perusahaan infotainment. Ia harus beroperasi dalam senyap. Karena
memang begitulah seharusnya penegak hukum bekerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar