Senin, 19 Maret 2018

Beragama Minus Rohani

Beragama Minus Rohani
Ida Rsi Waskita Sari  ;   Pandita Hindu
                                                        KOMPAS, 16 Maret 2018



                                                           
Peringatan Nyepi tahun 2018 kali ini menjadi sangat istimewa. Pertama, karena pergantian tahun Saka 1939 ke Saka 1940 bertepatan dengan perayaan hari Saraswati. Kedua, pelaksanaan brata (pantangan) penyepian dilakukan di tengah-tengah pilkada serentak menuju puncaknya 27 Juni 2018.

Di Bali sendiri akan berlangsung pemilihan gubernur, pemilihan bupati Gianyar, dan pemilihan bupati Klungkung. Mampukah masyarakat Hindu di ”Pulau Dewata” ini melaksanakan brata penyepian, mengekang indria, serta bermeditasi dalam gejolak nafsu kekuasaan dan riuhnya persaingan antarpasangan calon beserta pendukung mereka?

Perayaan Nyepi bersamaan dengan hari raya Saraswati memberikan makna khusus. Dalam mitologi Hindu, Dewi Saraswati dijadikan lambang ”dewi ilmu pengetahuan”.

Disandingkan dengan Brahma (Tuhan sebagai pencipta), menimbulkan segala ciptaan lahir dari rahim ilmu pengetahuan. Ada dua jenis ilmu pengetahuan: para widya (pengetahuan rohani) dan apara widya (pengetahuan duniawi). Para widya melahirkan kedamaian dan kebahagiaan, sedangkan apara widya melahirkan persaingan dan keriuhan.

Manusia memerlukan kedua pengetahuan itu dalam kesadaran mereka ketika melaksanakan tugas masing-masing. Itu pula yang ikut membentuk karma seseorang. Buah dari karma (karma-pala) akan terlihat kemudian. Banyak di antara mereka yang mabuk dan terjebak dalam kemilau harta-benda serta kekuasaan, tetapi tidak pernah mendapatkan ketenangan.

Mereka yang sadar kemudian melangkah ke jalan para widya. Yang tekun di jalan ini, mulai menuju suwung (kosong penuh makna) di dalam diri, mengarungi wilayah batin tanpa tepi.

Sampai akhirnya mensyukuri nikmat rasa bahagia dalam tuntunan cahaya Ilahi. Melayani kemanusiaan tanpa mengharapkan imbalan dari pelayanan itu menjadi tugas utama mereka yang menapaki jalan kerohanian. Karena melayani kemanusiaan bagi pelintas jalan rohani, sama artinya dengan berbakti kepada Tuhan.

Sebaliknya, jalan apara widya memacu manusia untuk terus berlomba menguasai Planet Bumi ini. Mereka belum puas kalau hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan. Hidup harus pula dapat memenuhi keinginan, bahkan keserakahan.

Akhirnya keinginan dan keserakahan itu pula yang mempermainkan jalan hidup mereka. Menghelanya untuk terus mengejar bayangan di luar diri, timbul-tenggelam dalam ilusi keberhasilan dan kegagalan, kesenangan dan kesedihan. Sampai akhirnya sebagian tersandung dan terhempas di penjara.

Agama, kerohanian, dan penguasaan ilmu pengetahuan harus menjadi tongkat penuntun manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Terlebih bagi seorang (calon) pemimpin.

Kalau kita perhatikan kenapa seorang pemimpin disanjung, sedangkan yang lainnya dicela, alasannya sangat sederhana. Yang satu dinilai memiliki tanggung jawab dan bekerja keras secara jujur, sedangkan yang lainnya tidak. Kejujuran adalah masalah rohani yang diajarkan dalam setiap agama dan kepercayaan.

Minus rohani

Kini, ada kecenderungan untuk memisahkan kerohanian dari agama. Tanpa rohani, agama dengan mudah akan menjadi kendaraan nafsu, kekuasaan, dan politik praktis. Bahkan, menjadi alat untuk mengumbar kebencian dan kekerasan, sampai menyulut peperangan. Indonesia tentu tidak mau dijadikan ”neraka” seperti yang kita saksikan di Afghanistan, Suriah, Irak, dan sebagian Afrika.

Agama tanpa rohani juga akan terlepas dari kemuliaan wahyu yang menurunkannya. Dengan demikian, agama tidak lagi menjadi rahmat bagi alam semesta, tidak lagi menjadi sumber ajaran untuk memupuk watak-watak kedewataan. Sebaliknya, agama menjadi alat untuk membenci dan memusuhi setiap yang berbeda.

Kebencian pada agama dan kepercayaan lain akan meluas menjadi kebencian kepada budaya yang berbeda dari budaya asal agama itu.

Tanpa mengasah rohani, logika manusia juga bisa menjadi tumpul sehingga percaya bahwa menganut agama tertentu sudah menjadi jaminan masuk surga. Sementara menganut agama atau kepercayaan lainnya menjadi kepastian mendapatkan neraka. Kebajikan, ketulusan, dan kemuliaan hati manusia dicampakkan begitu saja.

Tuhan seolah-olah hanya menjadi milik agama tertentu, padahal Tuhan disebut Maha Adil, Maha Pengasih, serta Maha Ada karena Dia berada di mana-mana. Bisakah ini disebut sebagai gejala ”manusia telah membaptis diri mereka menjadi Tuhan”, seperti dikatakan tokoh psikoanalisis Jerman, Erich Fromm?

Kini, sudah saatnya pemerintah bertindak lebih tegas dan cepat menata kembali kesadaran dan persatuan kebangsaan kita. Sebab, di samping kekerasan yang mengatasnamakan agama semakin meningkat, Indonesia juga sudah dinilai berada dalam kondisi darurat korupsi.

Koruptor muncul seperti tidak ada habisnya dari belitan panjang rantai birokrasi, yang selalu bisa memberikan celah dan peluang berbuat curang. Kebijakan dan teknologi seharusnya mampu memotong mata rantai itu sehingga tidak ada lagi kesempatan bagi seseorang merekayasa aturan dengan tujuan menguntungkan diri atau pihak tertentu.

Sementara dalam pendidikan dan penyampaian ceramah-ceramah agama, bisakah kita tidak menyimpang dari tujuan utama agama itu sendiri: memuliakan kehidupan? Karena hidup (urip) adalah wujud kasih Tuhan untuk mengantar manusia mencapai cita-citanya. Mengutip bapak psikologi William James, perhatian utama manusia adalah kebahagiaan. Dan kebahagiaan yang diberikan agama merupakan bukti kebenaran agama itu sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar