Beragama
Minus Rohani
Ida Rsi Waskita Sari ; Pandita Hindu
|
KOMPAS,
16 Maret
2018
Peringatan Nyepi tahun
2018 kali ini menjadi sangat istimewa. Pertama, karena pergantian tahun Saka
1939 ke Saka 1940 bertepatan dengan perayaan hari Saraswati. Kedua,
pelaksanaan brata (pantangan) penyepian dilakukan di tengah-tengah pilkada
serentak menuju puncaknya 27 Juni 2018.
Di Bali sendiri akan
berlangsung pemilihan gubernur, pemilihan bupati Gianyar, dan pemilihan
bupati Klungkung. Mampukah masyarakat Hindu di ”Pulau Dewata” ini
melaksanakan brata penyepian, mengekang indria, serta bermeditasi dalam
gejolak nafsu kekuasaan dan riuhnya persaingan antarpasangan calon beserta
pendukung mereka?
Perayaan Nyepi bersamaan
dengan hari raya Saraswati memberikan makna khusus. Dalam mitologi Hindu,
Dewi Saraswati dijadikan lambang ”dewi ilmu pengetahuan”.
Disandingkan dengan Brahma
(Tuhan sebagai pencipta), menimbulkan segala ciptaan lahir dari rahim ilmu
pengetahuan. Ada dua jenis ilmu pengetahuan: para widya (pengetahuan rohani)
dan apara widya (pengetahuan duniawi). Para widya melahirkan kedamaian dan
kebahagiaan, sedangkan apara widya melahirkan persaingan dan keriuhan.
Manusia memerlukan kedua pengetahuan
itu dalam kesadaran mereka ketika melaksanakan tugas masing-masing. Itu pula
yang ikut membentuk karma seseorang. Buah dari karma (karma-pala) akan
terlihat kemudian. Banyak di antara mereka yang mabuk dan terjebak dalam
kemilau harta-benda serta kekuasaan, tetapi tidak pernah mendapatkan
ketenangan.
Mereka yang sadar kemudian
melangkah ke jalan para widya. Yang tekun di jalan ini, mulai menuju suwung
(kosong penuh makna) di dalam diri, mengarungi wilayah batin tanpa tepi.
Sampai akhirnya mensyukuri
nikmat rasa bahagia dalam tuntunan cahaya Ilahi. Melayani kemanusiaan tanpa
mengharapkan imbalan dari pelayanan itu menjadi tugas utama mereka yang
menapaki jalan kerohanian. Karena melayani kemanusiaan bagi pelintas jalan
rohani, sama artinya dengan berbakti kepada Tuhan.
Sebaliknya, jalan apara
widya memacu manusia untuk terus berlomba menguasai Planet Bumi ini. Mereka
belum puas kalau hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan. Hidup harus pula dapat
memenuhi keinginan, bahkan keserakahan.
Akhirnya keinginan dan
keserakahan itu pula yang mempermainkan jalan hidup mereka. Menghelanya untuk
terus mengejar bayangan di luar diri, timbul-tenggelam dalam ilusi
keberhasilan dan kegagalan, kesenangan dan kesedihan. Sampai akhirnya
sebagian tersandung dan terhempas di penjara.
Agama, kerohanian, dan
penguasaan ilmu pengetahuan harus menjadi tongkat penuntun manusia dalam
mencapai tujuan hidupnya. Terlebih bagi seorang (calon) pemimpin.
Kalau kita perhatikan
kenapa seorang pemimpin disanjung, sedangkan yang lainnya dicela, alasannya
sangat sederhana. Yang satu dinilai memiliki tanggung jawab dan bekerja keras
secara jujur, sedangkan yang lainnya tidak. Kejujuran adalah masalah rohani
yang diajarkan dalam setiap agama dan kepercayaan.
Minus
rohani
Kini, ada kecenderungan
untuk memisahkan kerohanian dari agama. Tanpa rohani, agama dengan mudah akan
menjadi kendaraan nafsu, kekuasaan, dan politik praktis. Bahkan, menjadi alat
untuk mengumbar kebencian dan kekerasan, sampai menyulut peperangan.
Indonesia tentu tidak mau dijadikan ”neraka” seperti yang kita saksikan di
Afghanistan, Suriah, Irak, dan sebagian Afrika.
Agama tanpa rohani juga
akan terlepas dari kemuliaan wahyu yang menurunkannya. Dengan demikian, agama
tidak lagi menjadi rahmat bagi alam semesta, tidak lagi menjadi sumber ajaran
untuk memupuk watak-watak kedewataan. Sebaliknya, agama menjadi alat untuk
membenci dan memusuhi setiap yang berbeda.
Kebencian pada agama dan
kepercayaan lain akan meluas menjadi kebencian kepada budaya yang berbeda
dari budaya asal agama itu.
Tanpa mengasah rohani,
logika manusia juga bisa menjadi tumpul sehingga percaya bahwa menganut agama
tertentu sudah menjadi jaminan masuk surga. Sementara menganut agama atau
kepercayaan lainnya menjadi kepastian mendapatkan neraka. Kebajikan,
ketulusan, dan kemuliaan hati manusia dicampakkan begitu saja.
Tuhan seolah-olah hanya
menjadi milik agama tertentu, padahal Tuhan disebut Maha Adil, Maha Pengasih,
serta Maha Ada karena Dia berada di mana-mana. Bisakah ini disebut sebagai
gejala ”manusia telah membaptis diri mereka menjadi Tuhan”, seperti dikatakan
tokoh psikoanalisis Jerman, Erich Fromm?
Kini, sudah saatnya
pemerintah bertindak lebih tegas dan cepat menata kembali kesadaran dan
persatuan kebangsaan kita. Sebab, di samping kekerasan yang mengatasnamakan
agama semakin meningkat, Indonesia juga sudah dinilai berada dalam kondisi
darurat korupsi.
Koruptor muncul seperti
tidak ada habisnya dari belitan panjang rantai birokrasi, yang selalu bisa
memberikan celah dan peluang berbuat curang. Kebijakan dan teknologi
seharusnya mampu memotong mata rantai itu sehingga tidak ada lagi kesempatan
bagi seseorang merekayasa aturan dengan tujuan menguntungkan diri atau pihak
tertentu.
Sementara dalam pendidikan
dan penyampaian ceramah-ceramah agama, bisakah kita tidak menyimpang dari
tujuan utama agama itu sendiri: memuliakan kehidupan? Karena hidup (urip)
adalah wujud kasih Tuhan untuk mengantar manusia mencapai cita-citanya.
Mengutip bapak psikologi William James, perhatian utama manusia adalah
kebahagiaan. Dan kebahagiaan yang diberikan agama merupakan bukti kebenaran
agama itu sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar