Keindonesiaan
Tionghoa
Yonky Karman ; Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi
Jakarta
|
KOMPAS,
15 Februari
2018
Integrasi
Indonesia sebagai bangsa sesungguhnya mengalami kemajuan konstitusional.
Keberanian
untuk menghilangkan frasa ”Indonesia asli” di dalam amendemen UUD 1945
sebagai syarat presiden Indonesia bukan keputusan politik biasa. Itu puncak
kesadaran evolusi berbangsa yang dibangun di atas fakta bahwa tak ada seorang
pun dari kita sekarang berhak mendaku diri Indonesia asli. Keputusan politik
itu tepat waktu, menjelang fajar globalisasi populisme politik merekah.
Hanya
saja, implementasi kemajuan konstitusional itu tak sederhana dalam praktik
kehidupan berbangsa. Perjalanan membangsa kita masih terseok-seok karena
dijegal oleh kepentingan politik kekuasaan. Ketionghoaan dipolitisasi dan
diposisikan diametral berhadapan dengan keindonesiaan. Ternyata, pada suatu
titik sejarah Indonesia prakemerdekaan, perasaan kuat sebagai bagian dari
Indonesia sudah dimiliki orang Tionghoa.
Tionghoa di Indonesia
Berawal
ketika media massa di Hindia Belanda masih dikuasai orang Barat, pada paruh
kedua abad ke-19 orang Tionghoa mulai masuk ke dalam bisnis koran. Bahkan,
pada Mei 1926, dua tahun sebelum Sumpah Pemuda, koran Sin Po adalah media
massa pertama yang memuat kata ”Indonesia” sebagai ganti istilah ”Hindia
Belanda” buatan penguasa kolonial.
Koran
itu juga dengan tiras ribuan eksemplar yang pertama kali memuat teks lagu ”Indonesia
Raya” ciptaan WR Supratman lengkap bersama partiturnya. Dengan begitu, rakyat
Indonesia di seluruh Nusantara pada zaman sebelum ada televisi dan internet
bisa dengan cepat mengenal yang kelak menjadi lagu kebangsaan Republik
Indonesia.
Selanjutnya,
sesudah kekalahan besar Jepang dari pasukan Sekutu pada 1944 saat Perang
Dunia II, Kekaisaran Jepang mengharapkan dukungan rakyat Indonesia untuk
memerangi pasukan Sekutu jika mereka menyerbu Indonesia untuk menaklukkan
Jepang. Sebagai kompensasi dukungan itu, perdana menteri Jepang menjanjikan
kemerdekaan Indonesia jika negeri itu memenangi perang Asia Timur Raya.
Pada
1 Maret 1945, bertepatan hari ulang tahun Kaisar Hirohito, Jepang membentuk
Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Tugas badan itu
adalah mempelajari dan mempersiapkan hal-hal penting untuk mendirikan
negara Indonesia merdeka.
Badan
bentukan penguasa kolonial itu beranggotakan 62 tokoh dan empat di antaranya
Tionghoa. Pertama, Liem Koen Hian, wartawan, pendiri Partai Tionghoa
Indonesia di Surabaya. Kedua, Oey Tiang Tjoei, juga wartawan. Ketiga, Tan Eng
Hoa, sarjana hukum. Keempat, Oey Tjong Hauw, ketua partai kaum peranakan
Tionghoa, putra konglomerat gula Oei Tiong Ham.
Salah
satu dari keempat Tionghoa itu, Liem Koen Hian, dalam pidato politiknya
(1929) antara lain mengkritik superioritas darah Tionghoa yang menjadi bagian
alam bawah sadar kaumnya. Berikut adalah cuplikan pidatonya, ”Boleh dibilang
sekarang ampir tida ada lagi bangsa jang mempoenjai darah toelen. Kaloe ada
bangsa jang darahnja toelen, belon terjampoer sama darah laen bangsa,
barangkali jalah bangsa jang sekarang dinamaken biadab”.
Yang
amat penting adalah pandangannya tentang apa itu menjadi Indonesia dari
perspektif Tionghoa. Dalam salah satu pidatonya beberapa tahun kemudian
(1932), Liem berbicara tentang konsep Indonesier (kata Belanda untuk ”orang
Indonesia”) asli. ”Seorang peranakan, tidak peduli turunan dari bangsa apa
saja, tetapi jika ia berasa dan berpikir seperti seorang Indonesier asli dan
bersedia untuk menjalankan kewajibannya terhadap negeri yang ia cintai ini
sebagai tumpah darahnya, maka boleh sekali mengaku sebagai Indonesier.”
Pribumi, menurut Liem, orang yang ”berasa dan berpikir” sebagai orang
Indonesia.
Setelah
menyelesaikan tugasnya, BPUPK dibubarkan dan Jepang membentuk badan baru
bernama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 1945.
Tugas badan baru itu menyusun undang-undang dasar jika Indonesia merdeka.
Salah seorang anggota badan itu adalah Yap Tjwan Bing, apoteker dan dosen
ITB.
Tionghoa,
seperti minoritas lain di republik ini, punya andil dalam pendirian Indonesia
merdeka. Dalam buku teks Sejarah Nasional Indonesia (enam jilid) yang disusun
Nugroho Notosusanto dkk, Kepala Pusat Sejarah ABRI, awalnya (1975) masih
disebut di antara anggota BPUPK terdapat ”4 orang golongan Cina dan Arab”
(VI.17), tanpa nama dan sebenarnya kurang tepat karena keterlibatan Tionghoa
saja sudah empat orang.
Pada
edisi keempat buku itu (1984), saat itu Notosusanto sebagai menteri
pendidikan, frasa ”orang golongan Cina” sama sekali hilang. Sebagai gantinya,
frasa ”empat orang golongan Arab serta golongan peranakan Belanda”. Teks itu
masih demikian sampai sekarang tanpa koreksi meski sudah direvisi. Entah
sampai kapan kecelakaan dokumentasi sejarah itu dibiarkan pemerintah,
sementara sumber kepustakaan itu menjadi rujukan pengajaran sejarah nasional.
Menjadi Indonesia
Namun,
Tionghoa di Indonesia lebih penting dan menyibukkan diri dengan proses
menjadi Indonesia. Bukan hanya soal kewarganegaraan, tempat lahir, tempat
mencari nafkah, atau tempat berlindung di hari tua, melainkan juga bagaimana
memberikan kontribusi nyata sebagai bagian dari bangsa.
Menjadi
Indonesia adalah mencintai Tanah Air. Untuk segala sesuatu yang dicintai,
mustahil kita merusak atau menjelek-jelekkannya kendati segala kekurangannya.
Sebaliknya, kita akan mengusahakan sesuatu yang baik untuknya. Mungkin kita
merasa kecewa dengan perilaku bangsa sendiri atau cara kerja pemerintah.
Perasaan itu wajar. Itu pertanda kita bukan orang asing, melainkan bagian
dari bangsa dan negeri ini.
Ada
orang kita yang suka menjelek-jelekkan negeri sendiri dan memuji-muji negeri
orang. Percakapan dengan orang di luar negeri dan orang kita yang sudah lama
bermukim di luar negeri membuka mata saya bahwa sesungguhnya di mana saja ada
enak dan tidak enaknya, tergantung pada pilihan kita hendak hidup di mana.
Tak
bisa disangkal, identitas primordial mendahului keindonesiaan. Di dalam
negeri, bisa saja kita lebih menghayati keprimordialan kita. Namun, di luar
negeri, hanya identitas keindonesiaan kita yang diperhitungkan untuk
dibedakan dari orang Thailand, Filipina, atau Malaysia. Orang luar tak peduli
apa etnis atau agama kita.
Yang
mempersatukan rakyat Indonesia adalah keindonesiaan. Tugas kita semua dan
bersama adalah memperkuat proses menjadi Indonesia apa pun etnis dan agama
kita. Tak cukup hanya menjadi warga yang baik dan taat hukum. Sebagai bangsa
dan negara yang masih banyak tertinggal, kita semua tanpa kecuali harus juga
mengupayakan kesejahteraan kota dan negeri kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar