Wacana Menghidupkan GBHN
Saldi Isra ;
Guru Besar Hukum Tata Negara dan
Direktur Pusat Studi Konstitusi
Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
12 Januari 2016
Rapat Kerja Nasional PDI-P 2016 memunculkan gagasan untuk
mendorong pemberlakuan kembali Garis Besar Haluan Negara atau program
Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Merujuk lintasan sejarah Indonesia,
pola pembangunan berjangka ini pernah dilaksanakan pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto dan Presiden Soekarno. Dalam perhelatan nasional Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri menilai buruk
sistem pembangunan negara yang semakin tak padu dan cenderung berjangka
pendek. Penyebabnya, begitu terjadi pergantian pemimpin, terjadi pula pergantian
visi-misi dan program pembangunan. Karena itu, ujar Ketua Umum PDI-P, di masa
depan, program pembangunan harus bersumber dari GBHN yang ditetapkan MPR.
Sejalan dengan pandangan tersebut, Presiden Joko Widodo juga
menghendaki haluan yang jelas tentang pembangunan Indonesia. Sebagaimana
ditulis harian ini, Presiden Jokowi mengatakan, Indonesia harus memiliki
haluan yang jelas tentang ke mana arah Indonesia. Pembangunan Nasional
Semesta Berencana menjadi pekerjaan rumah yang harus dirumuskan sejak sekarang
untuk memperjelas pembangunan ke depan (Kompas,
11/1).
Sebetulnya, jika diikuti dengan saksama perkembangan wacana
terkait dengan soal ini, pikiran menghidupkan kembali GBHN telah muncul jauh
sebelum perhelatan PDI-P. Misalnya, di banyak kesempatan MPR melakukan
sosialisasi hasil perubahan UUD 1945, muncul pertanyaan sekitar tak adanya
GBHN. Tidak hanya pertanyaan, muncul pula pandangan yang menghendaki GBHN
dihidupkan kembali.
Pertanyaan elementer yang mengikuti pandangan dan gagasan yang
diusung Rakernas PDI-P 2016: bagaimana menjelaskan wacana menghidupkan
kembali GBHN di tengah pilihan politik mempertahankan dan memurnikan sistem
pemerintahan presidensial? Pertanyaan ”sederhana” ini penting dikemukakan
karena pilihan politik ini telah mengubah posisi dan peran MPR dalam sistem
ketatanegaraan setelah perubahan UUD 1945.
GBHN dan MPR
Sekiranya diikuti dengan cermat kehadiran pola pembangunan
nasional, baik berupa Pembangunan Nasional Semesta Berencana maupun GBHN,
keduanya tidak mungkin dilepaskan dari peran sentral MPR dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Mengambil contoh Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960
tentang Manifesto Politik RI sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara
(Tap MPRS No I/MPRS/1966) dan serangkaian GBHN yang lahir semasa Orde Baru,
produk hukum ini tidak mungkin dilepaskan dari posisi MPR dalam UUD 1945.
Sebagaimana diketahui, sebelum perubahan UUD 1945, Pasal 1 Ayat
(2) UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan
rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Sebagaimana dikemukakan Penjelasan
UUD 1945, MPR merupakan penyelenggara negara yang tertinggi dan sekaligus
pemegang kuasa negara tertinggi (die
gezamte staatgewalt liegi allein bei der Majelis). Penegasan posisi ini
tak terlepas dari posisi MPR yang dianggap penjelmaan rakyat yang memegang
kedaulatan negara.
Melanjutkan posisi tersebut, Penjelasan UUD 1945 menyatakan:
kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama MPR, sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgan
des willens des staatsvolkes). Karena posisi sentral dalam desain
bernegara, Pasal 3 UUD 1945 menyatakan, MPR menetapkan UUD dan Garis-garis
Besar Haluan Negara. Dalam Penjelasan Pasal 3 UUD 1945 dinyatakan, karena MPR
memegang kedaulatan negara, kekuasaannya tidak terbatas.
Lebih lanjut, posisi sentral MPR dalam hubungan antarlembaga
negara bisa dilacak dari Penjelasan UUD 1945: MPR juga mengangkat kepala
negara (presiden) dan wakil kepala negara (wakil presiden). Karena itu, MPR
memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedangkan presiden harus
menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan
oleh MPR. Mengingat dinamika masyarakat, sekali dalam lima tahun MPR
menetapkan haluan negara yang dipakai di kemudian hari.
Membaca konstruksi yuridis Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 serta
penjelasannya yang dikaitkan dengan Pasal 3 UUD 1945 serta penjelasannya,
secara konstitusional pembentukan GBHN tak terlepas dari posisi MPR sebagai
pemegang kedaulatan rakyat dan lembaga tertinggi negara. Posisi sentral semakin
tak terhindarkan karena bertemu dengan peran MPR dalam pemilihan presiden dan
wakil presiden. Dalam hal ini, Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, presiden
dan wakil presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak.
Dengan konstruksi hukum dalam UUD 1945 tersebut, sangat kuat
alasan untuk membentuk GBHN sebagai pola pembangunan nasional dalam jangka
waktu tertentu. Dalam posisi sebagai pemegang daulat rakyat, lembaga negara
yang tertinggi, dan yang memilih presiden/wakil presiden, MPR memiliki wewenang
sangat kuat untuk mengatur penyelenggaraan negara oleh presiden. Bahkan, jika
presiden melanggar haluan negara, MPR melaksanakan sidang istimewa meminta
pertanggungjawaban presiden.
Kini, setelah perubahan, Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 tak lagi
meletakkan daulat rakyat di tangan MPR, tetapi dilaksanakan menurut UUD 1945.
Karena perubahan ini, UUD 1945 tak lagi menempatkan MPR dalam posisi sebagai
lembaga negara tertinggi. Begitu pula dalam hubungan dengan pengisian jabatan
eksekutif tertinggi dalam situasi normal, MPR tidak memiliki wewenang memilih
presiden dan wakil presiden. Dengan perubahan posisi MPR, bagaimana mungkin
menghadirkan GBHN atau pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana?
Sistem
presidensial
Ketika berlangsung tahap perubahan UUD 1945 (1999-2002), salah
satu kesepakatan yang diambil MPR adalah tetap mempertahankan sistem
pemerintahan presidensial. Tidak berhenti sampai di situ, pilihan politik
mempertahankan sistem tersebut diikuti upaya melakukan pemurnian
(purifikasi). Di antara bentuk purifikasi yang dilakukan adalah mengubah
model pemilihan presiden dan wakil presiden dari dipilih lembaga perwakilan
(MPR) menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.
Pertanyaan mendasar yang harus dijelaskan: bagaimana menempatkan
GBHN dalam proses pemilihan presiden secara langsung? Pertanyaan berupa
gugatan tentu saja, misalnya, kapan GBHN tersebut akan disusun? Apakah
disusun sebelum proses pemilihan atau setelah pemilihan presiden? Jika
disusun sebelum proses pelaksanaan pemilihan, hampir dapat dipastikan semua
calon hanya perlu menyampaikan dalam kampanye bahwa jika terpilih, mereka
akan melaksanakan yang telah digariskan dalam GBHN.
Sebaliknya, jikalau disusun setelah pemilihan, substansi GBHN
tentu lebih banyak mengakomodasi pohon janji yang disampaikan pasangan calon
terpilih dalam masa kampanye. Bagaimanapun, dalam batas penalaran yang wajar,
janji-janji selama kampanye pasti menjadi salah satu perimbangan penting
dalam menentukan pilihan. Jikalau presiden yang terpilih tidak menunaikan
janji karena tidak diakomodasi dalam GBHN, tentu saja hal itu menimbulkan
rasa kecewa bagi mereka yang telah memilih.
Persoalan lain yang tidak kalah serius, membayangkan GBHN dibuat
MPR tentu saja menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara.
Dalam posisi seperti ini, GBHN yang dibuat MPR tentu saja akan menghadirkan
pola sistem pertanggungjawaban presiden kepada MPR. Sekiranya ini,
sebagaimana pengalaman sebelumnya, tidak mungkin menghindarkan
pertanggungjawaban politik presiden kepada MPR. Melihat perilaku sebagian
kekuatan politik dan elite politik saat ini, bukan tidak mungkin konsekuensi
kehadiran GBHN akan sangat menyulitkan presiden. Pada saat ini, dengan
hilangnya bentuk pertanggungjawaban politik kepada MPR, presiden pun hampir
selalu berada dalam tekanan politik untuk dimakzulkan.
Begitu pula dengan keinginan membuat GBHN untuk mewadahi
pembangun jangka panjang, semisal 30-50 tahun ke depan. Hampir dapat
dipastikan gagasan ini lebih banyak hadir karena romantisisme pengalaman di
bawah pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto. Namun perlu
diingat, di era sebelumnya, terutama di era pemerintahan Presiden Soeharto,
GBHN sangat mungkin membuat jangka waktu yang begitu panjang karena kekuatan
politik mayoritas di MPR berada dalam kendali sepenuhnya Presiden Soeharto.
Melihat situasi politik saat ini, siapa pun yang terpilih
menjadi presiden hampir dapat dipastikan tidak akan memiliki kemampuan untuk
mengendalikan secara total kekuatan-kekuatan politik di MPR. Artinya, jika
terjadi pergeseran kekuatan politik di MPR karena perubahan dukungan suara
pemilih di pemilu legislatif, sangat mungkin kekuatan politik baru akan
mengubah GBHN yang telah ditetapkan MPR sebelumnya. Dengan demikian, gagasan
membuat GBHN untuk pola pembangunan jangka panjang pasti tidak akan semudah
era pemerintahan Presiden Soeharto.
Namun, di atas itu semua, meski dengan sesadar-sadarnya kita
memerlukan arah pembangunan nasional, membayangkan GBHN dengan pola MPR
sebelum perubahan UUD 1945 tentu tidak begitu tepat lagi. Yang perlu
dipertimbangkan, pola GBHN dengan meletakkan peran di MPR sangat mungkin
berbenturan dengan sistem presidensial yang disepakati dipertahankan saat
perubahan UUD 1945. Kalau hendak mengembalikan pola lama, jalan yang harus
ditempuh kembali secara utuh pada pola hubungan antarlembaga sebelum
perubahan UUD 1945 atau campakkan sistem presidensial.
Langkah awal
Terlepas dari catatan di atas, saya menyarankan, langkah awal
yang harus dilakukan adalah mencari sebab utama arah pembangunan yang semakin
tidak padu tersebut. Misalnya, kita harus dengan jujur melihat perencanaan
pembangunan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Misalnya, bagaimana
melihat ketersambungan antara rencana yang disusun Bappenas, penyusunan RAPBN
di Kementerian Keuangan, dan pembahasan RAPBN di DPR.
Dari beberapa diskusi yang pernah saya ikuti, rencana yang
disusun Bappenas akan mengalami pergeseran ketika disusun dalam bentuk RAPBN.
Lalu, proses politik di DPR ketika persetujuan RAPBN sangat mungkin membuat
pembelokan yang jauh lebih tajam. Artinya, jika dirunut antara materi yang
direncanakan Bappenas dengan yang diturunkan menjadi angka dalam anggaran dan
setelah persetujuan DPR, apakah itu masih sesuai dengan yang direncanakan?
Titik ini harus mendapat perhatian serius karena manuver
pembahasan di DPR bisa saja tidak lagi mengikuti perencanaan yang dibuat
sejak awal. Dalam logika UUD 1945, legislasi RAPBN diletakkan dalam Pasal 23
dan tidak disatukan dengan legislasi dalam Pasal 20 yang membatasi wewenang
DPR dalam pembahasan RAPBN. Logikanya sederhana, jika dibiarkan membahas
seperti membahas RUU biasa, proses di DPR sangat mungkin merusak perencanaan.
Selain soal itu, bagi pasangan calon presiden, seberapa jauh
mereka merujuk perumusan visi-misi sebagai calon pada tujuan bernegara
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks ini, seharusnya
calon presiden tidak perlu menyusun visi lagi dan cukup menjadikan tujuan
bernegara sebagai visi. Yang harus dilakukan, bagaimana menurunkan tujuan
bernegara (yang juga visi calon presiden) ke dalam misi atau agenda-agenda
sentral bilamana terpilih sebagai presiden. Jikalau semua calon meletakkan
tujuan bernegara menjadi visi, tidak perlu ada perdebatan dan kita tidak
perlu khawatir karena semuanya hendak mencapai tujuan bernegara.
Kini, sebelum melangkah lebih jauh, wacana menghidupkan lagi
GBHN harus dikunyah secara mendalam. Sebab, kita tidak ingin
perubahan-perubahan mendasar dilakukan dengan logika politik semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar