Toleransi
yang Otentik
Abdul Mu’ti ; Sekretaris Umum PP. Muhammadiyah;
Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
|
KORAN
SINDO, 05 Januari 2016
Dalam berbagai forum dunia, Indonesia dipuji sebagai negara
dengan toleransi beragama yang tinggi. Pemeluk agama yang berbeda-beda hidup
damai dan harmonis.
Indonesia bahkan sering dijadikan model di mana negara yang
mayoritas penduduknya muslim tidak mendirikan negara Islam, melainkan
Pancasila. Bahwa secara umum kehidupan keagamaan di Indonesia aman dan damai
tidak dapat dipungkiri. Tetapi, realitas keagamaan masih jauh dari cita
ideal. Kerusuhan bernuansa agama di Tolikara, Manokwari, Singkil, dan tempat
lainnya menunjukkan bagaimana kerukunan dan toleransi yang sejati belum
terwujud.
Dalam tubuh umat Islam masih terdapat kelompok yang menolak
eksistensi Syiah, Ahmadiyah, dan kelompok minoritas lainnya. Pendirian tempat
ibadah semakin sulit dan berbelit.
Toleransi yang
Otentik
Terlepas dari pengaruh faktor-faktor non-teologis, intoleransi
terjadi karena toleransi yang otentik belum tertanam dalam budaya bangsa.
Yang terjadi adalah toleransi formal-transaksional. Seseorang bersikap
toleran lebih karena koeksistensi sosiologis, ekonomi, atau politik.
Misalnya, seseorang yang tinggal di perumahan atau perkampungan yang plural
cenderung bersikap toleran semata- mata demi menjaga ketenteraman warga,
ewuhpakewuh, atau basa-basi.
Toleransi formal-transaksional bersifat seremonial, superfisial
dan periferal. Ucapan selamat Idul Fitri, Natal, Nyepi, Waisak, atau Imlek
hanyalah untuk memenuhi tata krama sosial, bukan dari ketulusan iman. Selain
itu terdapat pula toleransi instrumental. Sikap toleransi dimaksudkan untuk
pencitraan diri. Seorang penjabat mengucapkan dan mengikuti perayaan agama tertentu
lebih karena tugas formal organisasi atau birokrasi, yang terkadang
bertentangan dengan nurani.
Sikap toleran hanyalah alat memperoleh atau mempertahankan
jabatan dan kekuasaan politik. Toleransi tersebut ibarat bara dalam sekam.
Karena itu diperlukan toleransi yang otentik. Toleransi ini terdiri atas lima
sikap. Pertama, menyadari adanya perbedaan agama dan keyakinan. Kesadaran ini
ditunjukkan oleh sikap terbuka terhadap identitas diri dan keyakinan. Tidak
ada usaha menutupi. Kedua , memahami perbedaan yang ditunjukkan oleh sikap
dan minat belajar agama lain, baik persamaan maupun perbedaan.
Tanpa harus menjadi agamawan, sikap ini ditandai oleh keberanian
memahami agama dari sumber utama, bukan interpretasi lahiriah pengamalan
agama. Ketiga, menerima orang lain yang berbeda agama. Sikap ini ditunjukkan
dengan penghormatan atas keyakinan dengan tetap menjaga kemurnian akidah,
menghindari sinkretisme atau pluralisme yang menyamakan semua agama.
Keempat, memberikan kesempatan dan memfasilitasi pemeluk agama
lain untuk dapat melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinannya. Termasuk
dalam sikap ini adalah mempermudah pendirian tempat ibadah, bukan mempersulit
dengan alasan birokratis-politis. Kelima, membangun kerja sama dalam hal-hal
yang merupakan titik temu ajaran dan nilainilai agama yang bermanfaat untuk
masyarakat dan bangsa. Misalnya kerja sama dalam bidang antikorupsi,
penyalahgunaan narkoba, perdagangan manusia, perusakan lingkungan hidup dan
sebagainya.
Peran
Kementerian Agama
Membangun toleransi yang otentik bukan hanya menjadi tanggung
jawab Kementerian Agama (Kemenag), tetapi seluruh komponen bangsa. Walau
demikian, secara kelembagaan Kemenag memiliki peran dan fungsi strategis
dalam mewujudkan kehidupan beragama yang rukun dan harmonis. Sesuai
Undang-Undang Dasar 1945, negara berkewajiban menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk suatu agama dan beribadah sesuai agama dan
kepercayaannya. Kebebasan beragama adalah hak konstitusional warga negara.
Karena itu, untuk membangun toleransi yang otentik Kemenag dapat
melaksanakan tiga peran. Pertama, peran politis; menjadikan institusi Kemenag
dari tingkat pusat sampai daerah sebagai rumah bagi semua umat beragama.
Secara kelembagaan, Kemenag perlu mengembangkan sistem dan budaya meritokrasi
di mana penghargaan diberikan kepada yang berprestasi bukan karena afiliasi
organisasi, partai politik, atau kroni. Kedua, peran edukatif. Administrasi
Kemenag meliputi pembinaan madrasah dan penyelenggaraan pendidikan agama di
sekolah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sikap intoleransi
sebagiannya disebabkan oleh materi buku-buku teks dan metode pendidikan
agama. Adalah keniscayaan Kemenag mengembangkan buku teks dan sistem
pendidikan agama yang kritis dan pluralistis dengan berbagai kebijakan.
Pertama, memberikan kesempatan dan keleluasaan masyarakat mengembangkan teks
pendidikan agama di institusi pendidikan yang dikelolanya.
Kedua, teks-teks pendidikan agama, terutama yang terkait dengan
ibadah, memuat perbandingan antar mazhab sesuai dengan jenjang pendidikan.
Ketiga, membangun tradisi dialog dalam pendidikan agama yang memungkinkan
siswa menyampaikan pandangan dan pengalaman keagamaannya. Dengan peran ini
adanya kesan Kemenag membawa misi keagamaan kelompok tertentu dapat dihapuskan.
Ketiga, peran advokasi.
Kemenag adalah harapan terakhir bagi umat beragama yang
mengalami kesulitan, terutama bagi kelompok minoritas. Walaupun tidak banyak
mengalami kekerasan fisik, kelompok minoritas masih sering mengalami
kekerasan teologis seperti penistaan, hate speech , tuduhan aliran sesat,
dll. Ratusan kelompok minoritas masih tinggal di pengungsian, entah kapan
kembali ke kampung halaman.
Pemerintah semestinya berdiri tegak di atas undang-undang, bukan
menuruti tekanan arus utama. Semoga Kemenag dapat melaksanakan tiga peran
tersebut. Semoga bangsa Indonesia dapat hidup rukun dan damai dengan
toleransi beragama yang otentik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar