Hukum
di Tahun 2016
Margarito Kamis ; Doktor
Tata Negara; Dosen FH. Univ. Khairun Ternate
|
KORAN
SINDO, 05 Januari 2016
Tahun 2015 berlalu sudah, dan fajar pagi pada Jumat lalu,
mengawali tahun 2016, menggantikan tahun 2015 yang telah berlalu itu. Ada yang sungguh-sungguh berlalu, dan ada
pula yang, seperti telah menjadi hukum besi tata negara, masih memerlukan
sentuhan lanjutan, entah lembut atau kasar, pemerintah. Itu bukan lantaran,
terdapat serangkaian soal pada tahun 2015 yang belum tuntas diurusi
pemerintah, tetapi begitulah pakem tata negara mutakhir. Pemerintahlah
satu-satunya organ pemegang otoritas penegakan hukum.
Bagaimana otoritas itu digunakan, itulah soalnya. Itu menjadi
soal, karena sejarah pemerintahan dunia menorehkan kenyataan, setidaknya
menurut pengakuan elegan Woodrow Wilson, presiden Amerika Serikat pada Perang
Dunia I, bahwa ia tidak cukup mandiri mengambil keputusan. Selalu ada
kelompok kecil, tentu dominan, yang tak bisa diabaikan pengaruhnya, untuk tak
mengatakan kemauannya.
Prinsip
Menegakkan hukum, tentu dalam langgam demokrasi, tidak sama
nilainya dengan melaksanakan hukum. Menegakkan hukum, karena makna
intrinsiknya berakar dalam sejarah sebuah bangsa, bernilai hukum dilaksanakan
atas dasar nilai-nilai intrinsiknya. Dasar intrinsik, tentu filosofis,
memunculkan tuntutan agar hukum dilaksanakan oleh orang baik, dengan cara
yang baik pula.
Orang baik itu, dalam konteks ini, tidak lain adalah mereka yang
tidak mengada-ada, yang tidak memiliki kebencian atau sayang dalam
melaksanakan hukum. Memayungkan nilai intrinsik filosofis itu dalam medan
hukum, disebabkan cara itu dianggap akan menghasilkan tatanan hukum, yang di
dalamnya nilai-nilai kultural kesamaan antarsesama manusia, sebagai makhluk
mulia, menemukan makna alamiah sejatinya.
Untuk memuliakan harkat dan martabat setiap orang itulah, hukum
diperlukan, dan itu pulalah sebabnya kemanusiaan setiap orang terusik kala
hukum dipakai menjadi alat penghisap keuntungan, apapun bentuk keuntungan
itu. Hukum, dalam aksioma itu, tidak bisa, dan juga tidak pernah sah untuk
digunakan sebagai sarana menghina, juga merendahkan martabat setiap orang,
siapa pun orang itu, dan apa pun beratnya pelanggaran hukum yang dibuatnya.
Hukumlah seseorang, karena hukum memerintahkan pengenaan hukuman
itu, dan bebaskan siapa pun orang itu, betapapun dia tak disukai di tengah
masyarakat. Itulah aksiomanya. Aksioma itu, di dalamnya tertanam mimpi untuk
tak lagi memberi napas terhadap tindak- tanduk tiranis. Mengagungkan manusia,
karena mereka adalah manusia, adalah intisari aksioma itu, dan itulah
intisari otonomi manusia, pangkal intisari demokrasi, yang dalam tampilan
praktisnya dikerangkakan ke dalam hukum.
Karena itulah, maka memahami hukum, akan dianggap sekadar
mengerti kulit hukum, bila yang dipahami itu hanyalah teks, bukan nilai
intrinsiknya. Mengandalkan interpretasi atas teks hukum, jujur, tidak salah,
tetapi sungguh terlampau jauh dari yang seharusnya.
Merangkaikan setiap teks dengan asal-usulnya, sembari
menempatkan demokrasi di jantung asal-usul lahirnya teks itu, memang bukan
perkara keharusan takwil, tetapi tanpa itu, interpretasi laksana membaringkan
badan di bibir lautan, dan berenang menjadi sesuatu yang mustahil. Berhukum
bukanlah berteks ria, melainkan mencari, menemukan dan mendemonstrasikan
nilai intrinsiknya.
Harapan
Mengurusi Partai Golkar dan PPP sejak awal 2015 hingga tahun itu
pergi, begitu juga dengan urusan pencalonan kepala Kepolisian Republik
Indonesia, sungguh, sebagaimana syair sebuah lagu Koes Plus, terlalu indah
untuk dilupakan, dan terlalu sedih untuk dikenang. Sama dengan kedua kasus
itu, hukum pergantian Kabareskrim, Pak Budi Waseso, Jenderal bintang tiga,
yang tegas itu, jujur, terasa menyayat prinsip negara hukum demokratis.
Sedih, pilu dan pahit semua itu, betapapun hebatnya, tidak bisa
menghanguskan kenyataan adanya gelombang gairah pemerintah mengurus
pembangunan infrastruktur, moneter, serta penciptaan lingkungan ekonomi yang
memiliki daya tarik, dan kehidupan desa, termasuk pertanian. Sayangnya, kala
perlakuan pemerintah terhadap PT Freeport Indonesia, tentu di pengujung 2015
yang menghebohkan itu, melintasi medan renungan, gelombang gairah itu tak
cukup ampuh menghilangkan rasa pilu.
Demokrasi yang mengharu biru, nyatanya tak cukup bertenaga melahirkan
hukum yang berdedikasi pada keadilan. Haru biru demokrasi, tidak di sini,
tidak juga di sana, dalam banyak hal, turut menghasilkan hukum yang
melembagakan mimpi-mimpi, acap kotor, di dalamnya. Hukum, sekali pun dalam
konteks itu, menjadi alat paling universal, masuk akal, logis, dalam
memproduksi hak, wewenang, termasuk cara mengalokasikan atau mendistribusikan
hak dan wewenang itu, kepada mereka yang jatuh hati padanya.
Atur siapa yang diberi hak, maka hak itu memiliki kualifikasi
spesifik, dan terbatas jangkauannya. Hanya orang atau kelompok yang
dinyatakan dalam hukum itu saja yang memiliki kapasitas sebagai orang atau
kelompok yang berhak atau yang berwenang. Hukum dan wewenang, begitulah cara
pandang hukum universal adanya dalam hukum. Bikinlah hukumnya, dan aturlah
apa yang hendak diatur, tentukan siapa pemegang wewenang, maka semua soal
hukum dari tindakan yang akan dan telah diambil pun jadi bersih.
Rencana pemerintah memungut dari warga negara pengguna premium
dan solar, demi, katanya, ketahanan energi nasional, mungkin tak dirangsang
dengan cara pandang itu. Tetapi hukum, tak mungkin tak diandalkan untuk
tujuan itu. Hukum yang akan diciptakan, kelak akan menjadi dasar pembentukan
sebuah organ, entah apa namanya, yang memegang wewenang pengelolaan dana,
katanya ketahanan energi itu. Siapa yang meragukan validitas pungutan dan
wewenang pembentukan badan itu, pergilah ke pengadilan, mengujinya.
Beres. Wajah hukum, kata para filosof, tidak lain adalah wajah
peradaban, dan wajah peradaban tidak lain adalah wajah pengagungan
nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan. Betapapun sulitnya, karena
aparatur hukum masih itu dan itu saja, tetapi marilah berharap semoga tahun
2016 menjadi tahun hukum berwajah peradaban Indonesia.
Hukum berwajah peradaban tidak lain adalah hukum yang
berperikeadilan dan berperikemanusiaan. Hukum jenis ini, menuntut pemahaman
yang utuh terhadap ketuhanan yang maha esa, yang terpatri dalam Pancasila.
Perikeadilan dan perikemanusiaan, tak mungkin tak menjadi jantung
keadilan sosial, yang dengannya, kesatuan politik dan administrasi negara
tercinta ini merebak indah dan menemukan elannya. Pancasila, tak mungkin
membenarkan hukum menjadi alat pemukul warga yang berbeda haluan mimpinya di
tahun 2016 ini. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar