Jumat, 08 Januari 2016

Hukum di Tahun 2016

Hukum di Tahun 2016

Margarito Kamis ;  Doktor Tata Negara; Dosen FH. Univ. Khairun Ternate
                                                  KORAN SINDO, 05 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2015 berlalu sudah, dan fajar pagi pada Jumat lalu, mengawali tahun 2016, menggantikan tahun 2015 yang telah berlalu itu.  Ada yang sungguh-sungguh berlalu, dan ada pula yang, seperti telah menjadi hukum besi tata negara, masih memerlukan sentuhan lanjutan, entah lembut atau kasar, pemerintah. Itu bukan lantaran, terdapat serangkaian soal pada tahun 2015 yang belum tuntas diurusi pemerintah, tetapi begitulah pakem tata negara mutakhir. Pemerintahlah satu-satunya organ pemegang otoritas penegakan hukum.

Bagaimana otoritas itu digunakan, itulah soalnya. Itu menjadi soal, karena sejarah pemerintahan dunia menorehkan kenyataan, setidaknya menurut pengakuan elegan Woodrow Wilson, presiden Amerika Serikat pada Perang Dunia I, bahwa ia tidak cukup mandiri mengambil keputusan. Selalu ada kelompok kecil, tentu dominan, yang tak bisa diabaikan pengaruhnya, untuk tak mengatakan kemauannya.

Prinsip

Menegakkan hukum, tentu dalam langgam demokrasi, tidak sama nilainya dengan melaksanakan hukum. Menegakkan hukum, karena makna intrinsiknya berakar dalam sejarah sebuah bangsa, bernilai hukum dilaksanakan atas dasar nilai-nilai intrinsiknya. Dasar intrinsik, tentu filosofis, memunculkan tuntutan agar hukum dilaksanakan oleh orang baik, dengan cara yang baik pula.

Orang baik itu, dalam konteks ini, tidak lain adalah mereka yang tidak mengada-ada, yang tidak memiliki kebencian atau sayang dalam melaksanakan hukum. Memayungkan nilai intrinsik filosofis itu dalam medan hukum, disebabkan cara itu dianggap akan menghasilkan tatanan hukum, yang di dalamnya nilai-nilai kultural kesamaan antarsesama manusia, sebagai makhluk mulia, menemukan makna alamiah sejatinya.

Untuk memuliakan harkat dan martabat setiap orang itulah, hukum diperlukan, dan itu pulalah sebabnya kemanusiaan setiap orang terusik kala hukum dipakai menjadi alat penghisap keuntungan, apapun bentuk keuntungan itu. Hukum, dalam aksioma itu, tidak bisa, dan juga tidak pernah sah untuk digunakan sebagai sarana menghina, juga merendahkan martabat setiap orang, siapa pun orang itu, dan apa pun beratnya pelanggaran hukum yang dibuatnya.

Hukumlah seseorang, karena hukum memerintahkan pengenaan hukuman itu, dan bebaskan siapa pun orang itu, betapapun dia tak disukai di tengah masyarakat. Itulah aksiomanya. Aksioma itu, di dalamnya tertanam mimpi untuk tak lagi memberi napas terhadap tindak- tanduk tiranis. Mengagungkan manusia, karena mereka adalah manusia, adalah intisari aksioma itu, dan itulah intisari otonomi manusia, pangkal intisari demokrasi, yang dalam tampilan praktisnya dikerangkakan ke dalam hukum.

Karena itulah, maka memahami hukum, akan dianggap sekadar mengerti kulit hukum, bila yang dipahami itu hanyalah teks, bukan nilai intrinsiknya. Mengandalkan interpretasi atas teks hukum, jujur, tidak salah, tetapi sungguh terlampau jauh dari yang seharusnya.

Merangkaikan setiap teks dengan asal-usulnya, sembari menempatkan demokrasi di jantung asal-usul lahirnya teks itu, memang bukan perkara keharusan takwil, tetapi tanpa itu, interpretasi laksana membaringkan badan di bibir lautan, dan berenang menjadi sesuatu yang mustahil. Berhukum bukanlah berteks ria, melainkan mencari, menemukan dan mendemonstrasikan nilai intrinsiknya.

Harapan

Mengurusi Partai Golkar dan PPP sejak awal 2015 hingga tahun itu pergi, begitu juga dengan urusan pencalonan kepala Kepolisian Republik Indonesia, sungguh, sebagaimana syair sebuah lagu Koes Plus, terlalu indah untuk dilupakan, dan terlalu sedih untuk dikenang. Sama dengan kedua kasus itu, hukum pergantian Kabareskrim, Pak Budi Waseso, Jenderal bintang tiga, yang tegas itu, jujur, terasa menyayat prinsip negara hukum demokratis.

Sedih, pilu dan pahit semua itu, betapapun hebatnya, tidak bisa menghanguskan kenyataan adanya gelombang gairah pemerintah mengurus pembangunan infrastruktur, moneter, serta penciptaan lingkungan ekonomi yang memiliki daya tarik, dan kehidupan desa, termasuk pertanian. Sayangnya, kala perlakuan pemerintah terhadap PT Freeport Indonesia, tentu di pengujung 2015 yang menghebohkan itu, melintasi medan renungan, gelombang gairah itu tak cukup ampuh menghilangkan rasa pilu.

Demokrasi yang mengharu biru, nyatanya tak cukup bertenaga melahirkan hukum yang berdedikasi pada keadilan. Haru biru demokrasi, tidak di sini, tidak juga di sana, dalam banyak hal, turut menghasilkan hukum yang melembagakan mimpi-mimpi, acap kotor, di dalamnya. Hukum, sekali pun dalam konteks itu, menjadi alat paling universal, masuk akal, logis, dalam memproduksi hak, wewenang, termasuk cara mengalokasikan atau mendistribusikan hak dan wewenang itu, kepada mereka yang jatuh hati padanya.

Atur siapa yang diberi hak, maka hak itu memiliki kualifikasi spesifik, dan terbatas jangkauannya. Hanya orang atau kelompok yang dinyatakan dalam hukum itu saja yang memiliki kapasitas sebagai orang atau kelompok yang berhak atau yang berwenang. Hukum dan wewenang, begitulah cara pandang hukum universal adanya dalam hukum. Bikinlah hukumnya, dan aturlah apa yang hendak diatur, tentukan siapa pemegang wewenang, maka semua soal hukum dari tindakan yang akan dan telah diambil pun jadi bersih.

Rencana pemerintah memungut dari warga negara pengguna premium dan solar, demi, katanya, ketahanan energi nasional, mungkin tak dirangsang dengan cara pandang itu. Tetapi hukum, tak mungkin tak diandalkan untuk tujuan itu. Hukum yang akan diciptakan, kelak akan menjadi dasar pembentukan sebuah organ, entah apa namanya, yang memegang wewenang pengelolaan dana, katanya ketahanan energi itu. Siapa yang meragukan validitas pungutan dan wewenang pembentukan badan itu, pergilah ke pengadilan, mengujinya.

Beres. Wajah hukum, kata para filosof, tidak lain adalah wajah peradaban, dan wajah peradaban tidak lain adalah wajah pengagungan nilai-nilai perikemanusiaan dan perikeadilan. Betapapun sulitnya, karena aparatur hukum masih itu dan itu saja, tetapi marilah berharap semoga tahun 2016 menjadi tahun hukum berwajah peradaban Indonesia.

Hukum berwajah peradaban tidak lain adalah hukum yang berperikeadilan dan berperikemanusiaan. Hukum jenis ini, menuntut pemahaman yang utuh terhadap ketuhanan yang maha esa, yang terpatri dalam Pancasila.

Perikeadilan dan perikemanusiaan, tak mungkin tak menjadi jantung keadilan sosial, yang dengannya, kesatuan politik dan administrasi negara tercinta ini merebak indah dan menemukan elannya. Pancasila, tak mungkin membenarkan hukum menjadi alat pemukul warga yang berbeda haluan mimpinya di tahun 2016 ini. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar