Sabtu, 09 Januari 2016

Golkar dan Kezaliman Pemerintah

Golkar dan Kezaliman Pemerintah

Bambang Soesatyo  ;  Bendahara Umum Partai Golkar 2014-2019
                                                  KORAN SINDO, 05 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Cara pemerintah menyikapi persoalan Partai Golongan Karya (Golkar) sungguh tidak bijaksana dan zalim. Sikap itu sama sekali tidak bermuatan prinsip gentlemanship. Tampak jelas bahwa pemerintah justru berpolitik dalam menyikapi persoalan legalitas kepengurusan Partai Golkar. Politik keberpihakan pada sekelompok politisi yang jelas-jelas ilegal dalam struktur Partai Golkar. Tahun 2016 mungkin tidak beda dengan 2015 yang sarat gaduh. Sebab, masih di awal tahun saja, pemerintah kembali menyulut gaduh.

Alih-alih memadamkan bara konflik di tubuh Partai Golkar, pemerintah justru membiarkan dan memperuncing pertikaian itu. Bukannya menyelesaikan masalah dengan penuh kebijaksanaan, pemerintah justru meninggalkan gelanggang persoalan dengan sikap yang sangat-sangat tidak bertanggung jawab. Padahal, sebagai regulator, pemerintah berwenang dan punya kompetensi untuk menyelesaikan persoalan.

Akan tetapi, dengan penuh kesadaran dan terencana, pemerintah memang tidak ingin menggunakan wewenang dan kompetensi itu. Kepada publik, Pemerintah ingin menunjukkan posisinya yang independen alias tidak memihak. Sayang, dengan bersikap abstain seperti itu, pemerintah sebenarnya sedang mempertontonkan perilaku konyol. Sebab, dengan mudah, publik pun bisa menerjemahkan sikap abstain itu sebagai kegiatan pemerintah merekayasa sekaligus mengeskalasi persoalan internal di tubuh Partai Golkar.

Dengan sikap abstain itu, posisi pemerintah bukannya independen, melainkan jelasjelas berpihak. Karena keberpihakan itulah pemerintah patut dituduh berpolitik dalam menyikapi persoalan Golkar. Padahal, sudah ditegaskan sejak awal bahwa sekelompok politisi yang mengklaim status mereka sebagai penyelenggara Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Ancol, Jakarta, itu adalah ilegal.

Pihak berwajib, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia (Polri), sudah memiliki sejumlah bukti berikut tersangka yang mempertegas dan membuktikan bahwa Munas di Ancol itu ilegal. Karena ilegal, mereka tidak layak untuk disikapi, apalagi diakui sebagai partai politik yang menggunakan simbol-simbol Partai Golkar. Akan tetapi, karena politik keberpihakan, pemerintah memaksakan diri untuk mengakui sekelompok politisi ilegal di tubuh Partai Golkar itu.

Inilah sumber persoalannya. Artinya, sumber persoalan internal Partai Golkar adalah pemerintah sendiri. Pemerintah berpolitik guna memecah belah Golkar. Kalau pemerintah ingin menghargai dan mengukuhkan kembali eksistensi Partai Golkar, tidak sulit untuk menyelesaikan persoalannya. Dilandasi posisinya yang independen, pemerintah cukup menggunakan wewenang dan kompetensi yang melekat pada Menteri Hukum dan HAM untuk mengakui para pihak legal di tubuh Partai Golkar.

Sesederhana itu. Tapi, mekanisme dan proses yang demikian sederhana itu, dengan sengaja, tidak dijalankan. Menteri Hukum dan HAM justru memilih mekanisme dan proses yang rumit, karena serta- merta mengakui dan mengesahkan produk Munas Ancol yang ilegal itu. Setelah pertarungan legal melalui proses hukum yang panjang, keberpihakan pemerintah pada Munas Ancol dinyatakan salah oleh Mahkamah Agung (MA).

Pada 20 Oktober 2015, MA telah memerintahkan Menkumham untuk mencabut surat keputusan (SK) Menkumham tentang pengesahan kepengurusan Partai Golkar produk Munas Ancol itu. Lagi-lagi karena pemerintah berpolitik untuk melemahkan posisi Golkar, waktu 90 hari untuk membatalkan SK pengesahan itu tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya oleh Menkumham. Padahal, sebagai tindak lanjut dari keputusan MA itu, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (ARB) telah meminta Menkumham segera menerbitkan SK kepengurusan.

Namun, Menkumham tidak segera menerbitkan SK kepengurusan itu. Alasannya, Kementerian Hukum dan HAM masih mengkaji persoalan Golkar. ARB sebenarnya pernah meminta SK kepengurusan pada akhir 2014, namun ditolak Kemenkumham karena masih berkonflik. Alasan Menteri Hukum dan HAM jelas dibuat-buat. Kalau permintaan penyelenggara Munas Ancol bisa direspons dengan cepat tanpa pengkajian terlebih dahulu, mengapa perintah MA tidak dilaksanakan dengan segera?

Beda penyikapan ini sudah menjadi bukti bahwa pemerintah memang sedang merekayasa persoalan agar posisi Golkar terus melemah akibat persoalan internal yang berkepanjangan.

Fakta Hukum

Rekayasa mengeskalasi persoalan itu menemukan momentumnya. Bukannya merespons permintaan ARB, Menkumham malah melaksanakan perintah MA untuk membatalkan SK Menkumham tentang pengesahan produk Munas Ancol. Menkumham mencabut SK dimaksud pada 30 Desember 2015.

Pencabutan SK dimaksud tentu saja tidak bisa dipisahkan dari dokumen legal tentang kepengurusan Partai Golkar oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) produk Munas Riau, tahun 2009. Dokumen itu menyebutkan bahwa masa kepengurusan Munas Riau berakhir pada 31 Desember 2015. Dari kronologi itu, modus pemerintah terbaca dengan jelas.

Munas Ancol tidak diakui sementara permintaan ARB pun tidak pernah direspons. Akhirnya, muncullah persepsi bahwa Partai Golkar Ilegal karena tidak ada dewan pengurus yang diakui pemerintah. Dengan terbentuknya persepsi seperti itu, eskalasi persoalan internal di tubuh Partai Golkar pun tak terhindarkan. Eskalasi itu setidaknya sudah tercermin dari perang kata-kata antara pihak Munas Ancol versus Munas Bali.

Jelas bukan mengada-ada jika DPP Partai Golkar pimpinan ARB mempertanyakan penolakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali. Apalagi, Pengadilan Negeri Jakarta Utara sudah memutuskan bahwa penyelenggaraan Munas Bali itu sah secara hukum. Seharusnya, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali yang dipimpin ARB.

Dengan menolak mengesahkan hasil Munas Bali, sama artinya pemerintah sengaja mempersulit legalitas kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali 2014-2019. Karena legalitas kepengurusan terus dibiarkan bermasalah oleh pemerintah, kader Golkar berhak untuk curiga bahwa pemerintah ingin menghancurkan partai berlambang pohon beringin ini dengan cara memelihara konflik internal. Segenap kader Golkar di seluruh penjuru negeri pasti akan melakukan perlawanan jika diperlakukan seperti itu.

Konsekuensi logis dari perlawanan kader Golkar adalah kegaduhan di panggung politik. Jangan salahkan mereka, karena pemerintahlah yang menyulut kegaduhan itu. Sebelum kegaduhan itu terjadi, pemerintah harus berhenti memusuhi Partai Golkar. Tidak ada yang perlu ditakutkan dari partai ini. Sudah berulang kali ditegaskan bahwa Partai Golkar akan selalu mengawal dan mengamankan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla sejalan dengan periode kepemimpinan mereka hingga 2019.

Dalam konteks itu, Golkar hanya akan bersifat kritis yang tujuannya mengingatkan, bukan menjatuhkan. Sudah terbukti bahwa dalam beberapa persoalan, Partai Golkar membantu presiden dengan sumbangan pikiran yang sangat bermakna. Konstruksi persoalan internal Partai Golkar sudah sangat jelas. Bahkan kejelasan itu sudah diperkuat melalui proses hukum.

Pemerintah hanya perlu bersikap realistis terhadap fakta bahwa Munas Ancol itu ilegal. Karena ilegal, tentu saja pemerintah tak perlu membuang waktu dan energi untuk menanggapi mereka. Mengesahkan kepengurusan Partai Golkar produk Munas Bali adalah kebijaksanaan pemerintah yang sangat masuk akal, karena fakta hukum sudah menguatkan hal itu. Pemerintah akan mempermalukan dirinya sendiri jika terus mengingkari fakta itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar