Golkar
dan Kezaliman Pemerintah
Bambang Soesatyo ; Bendahara Umum Partai Golkar 2014-2019
|
KORAN
SINDO, 05 Januari 2016
Cara pemerintah menyikapi persoalan Partai Golongan Karya
(Golkar) sungguh tidak bijaksana dan zalim. Sikap itu sama sekali tidak
bermuatan prinsip gentlemanship. Tampak jelas bahwa pemerintah justru
berpolitik dalam menyikapi persoalan legalitas kepengurusan Partai Golkar.
Politik keberpihakan pada sekelompok politisi yang jelas-jelas ilegal dalam
struktur Partai Golkar. Tahun 2016 mungkin tidak beda dengan 2015 yang sarat
gaduh. Sebab, masih di awal tahun saja, pemerintah kembali menyulut gaduh.
Alih-alih memadamkan bara konflik di tubuh Partai Golkar,
pemerintah justru membiarkan dan memperuncing pertikaian itu. Bukannya
menyelesaikan masalah dengan penuh kebijaksanaan, pemerintah justru
meninggalkan gelanggang persoalan dengan sikap yang sangat-sangat tidak
bertanggung jawab. Padahal, sebagai regulator, pemerintah berwenang dan punya
kompetensi untuk menyelesaikan persoalan.
Akan tetapi, dengan penuh kesadaran dan terencana, pemerintah
memang tidak ingin menggunakan wewenang dan kompetensi itu. Kepada publik,
Pemerintah ingin menunjukkan posisinya yang independen alias tidak memihak.
Sayang, dengan bersikap abstain seperti itu, pemerintah sebenarnya sedang
mempertontonkan perilaku konyol. Sebab, dengan mudah, publik pun bisa
menerjemahkan sikap abstain itu sebagai kegiatan pemerintah merekayasa
sekaligus mengeskalasi persoalan internal di tubuh Partai Golkar.
Dengan sikap abstain itu, posisi pemerintah bukannya independen,
melainkan jelasjelas berpihak. Karena keberpihakan itulah pemerintah patut
dituduh berpolitik dalam menyikapi persoalan Golkar. Padahal, sudah
ditegaskan sejak awal bahwa sekelompok politisi yang mengklaim status mereka
sebagai penyelenggara Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Ancol,
Jakarta, itu adalah ilegal.
Pihak berwajib, dalam hal ini Kepolisian Republik Indonesia
(Polri), sudah memiliki sejumlah bukti berikut tersangka yang mempertegas dan
membuktikan bahwa Munas di Ancol itu ilegal. Karena ilegal, mereka tidak
layak untuk disikapi, apalagi diakui sebagai partai politik yang menggunakan
simbol-simbol Partai Golkar. Akan tetapi, karena politik keberpihakan,
pemerintah memaksakan diri untuk mengakui sekelompok politisi ilegal di tubuh
Partai Golkar itu.
Inilah sumber persoalannya. Artinya, sumber persoalan internal
Partai Golkar adalah pemerintah sendiri. Pemerintah berpolitik guna memecah
belah Golkar. Kalau pemerintah ingin menghargai dan mengukuhkan kembali
eksistensi Partai Golkar, tidak sulit untuk menyelesaikan persoalannya.
Dilandasi posisinya yang independen, pemerintah cukup menggunakan wewenang
dan kompetensi yang melekat pada Menteri Hukum dan HAM untuk mengakui para
pihak legal di tubuh Partai Golkar.
Sesederhana itu. Tapi, mekanisme dan proses yang demikian
sederhana itu, dengan sengaja, tidak dijalankan. Menteri Hukum dan HAM justru
memilih mekanisme dan proses yang rumit, karena serta- merta mengakui dan
mengesahkan produk Munas Ancol yang ilegal itu. Setelah pertarungan legal
melalui proses hukum yang panjang, keberpihakan pemerintah pada Munas Ancol dinyatakan
salah oleh Mahkamah Agung (MA).
Pada 20 Oktober 2015, MA telah memerintahkan Menkumham untuk
mencabut surat keputusan (SK) Menkumham tentang pengesahan kepengurusan
Partai Golkar produk Munas Ancol itu. Lagi-lagi karena pemerintah berpolitik
untuk melemahkan posisi Golkar, waktu 90 hari untuk membatalkan SK pengesahan
itu tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya oleh Menkumham. Padahal, sebagai
tindak lanjut dari keputusan MA itu, Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie
(ARB) telah meminta Menkumham segera menerbitkan SK kepengurusan.
Namun, Menkumham tidak segera menerbitkan SK kepengurusan itu.
Alasannya, Kementerian Hukum dan HAM masih mengkaji persoalan Golkar. ARB
sebenarnya pernah meminta SK kepengurusan pada akhir 2014, namun ditolak
Kemenkumham karena masih berkonflik. Alasan Menteri Hukum dan HAM jelas
dibuat-buat. Kalau permintaan penyelenggara Munas Ancol bisa direspons dengan
cepat tanpa pengkajian terlebih dahulu, mengapa perintah MA tidak
dilaksanakan dengan segera?
Beda penyikapan ini sudah menjadi bukti bahwa pemerintah memang
sedang merekayasa persoalan agar posisi Golkar terus melemah akibat persoalan
internal yang berkepanjangan.
Fakta Hukum
Rekayasa mengeskalasi persoalan itu menemukan momentumnya.
Bukannya merespons permintaan ARB, Menkumham malah melaksanakan perintah MA
untuk membatalkan SK Menkumham tentang pengesahan produk Munas Ancol.
Menkumham mencabut SK dimaksud pada 30 Desember 2015.
Pencabutan SK dimaksud tentu saja tidak bisa dipisahkan dari
dokumen legal tentang kepengurusan Partai Golkar oleh Dewan Pimpinan Pusat
(DPP) produk Munas Riau, tahun 2009. Dokumen itu menyebutkan bahwa masa
kepengurusan Munas Riau berakhir pada 31 Desember 2015. Dari kronologi itu,
modus pemerintah terbaca dengan jelas.
Munas Ancol tidak diakui sementara permintaan ARB pun tidak
pernah direspons. Akhirnya, muncullah persepsi bahwa Partai Golkar Ilegal
karena tidak ada dewan pengurus yang diakui pemerintah. Dengan terbentuknya
persepsi seperti itu, eskalasi persoalan internal di tubuh Partai Golkar pun
tak terhindarkan. Eskalasi itu setidaknya sudah tercermin dari perang
kata-kata antara pihak Munas Ancol versus Munas Bali.
Jelas bukan mengada-ada jika DPP Partai Golkar pimpinan ARB
mempertanyakan penolakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly untuk
mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali. Apalagi, Pengadilan
Negeri Jakarta Utara sudah memutuskan bahwa penyelenggaraan Munas Bali itu
sah secara hukum. Seharusnya, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak
mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Bali yang dipimpin ARB.
Dengan menolak mengesahkan hasil Munas Bali, sama artinya
pemerintah sengaja mempersulit legalitas kepengurusan Partai Golkar hasil
Munas Bali 2014-2019. Karena legalitas kepengurusan terus dibiarkan
bermasalah oleh pemerintah, kader Golkar berhak untuk curiga bahwa pemerintah
ingin menghancurkan partai berlambang pohon beringin ini dengan cara
memelihara konflik internal. Segenap kader Golkar di seluruh penjuru negeri
pasti akan melakukan perlawanan jika diperlakukan seperti itu.
Konsekuensi logis dari perlawanan kader Golkar adalah kegaduhan
di panggung politik. Jangan salahkan mereka, karena pemerintahlah yang
menyulut kegaduhan itu. Sebelum kegaduhan itu terjadi, pemerintah harus
berhenti memusuhi Partai Golkar. Tidak ada yang perlu ditakutkan dari partai
ini. Sudah berulang kali ditegaskan bahwa Partai Golkar akan selalu mengawal
dan mengamankan pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla
sejalan dengan periode kepemimpinan mereka hingga 2019.
Dalam konteks itu, Golkar hanya akan bersifat kritis yang
tujuannya mengingatkan, bukan menjatuhkan. Sudah terbukti bahwa dalam
beberapa persoalan, Partai Golkar membantu presiden dengan sumbangan pikiran
yang sangat bermakna. Konstruksi persoalan internal Partai Golkar sudah
sangat jelas. Bahkan kejelasan itu sudah diperkuat melalui proses hukum.
Pemerintah hanya perlu bersikap realistis terhadap fakta bahwa
Munas Ancol itu ilegal. Karena ilegal, tentu saja pemerintah tak perlu
membuang waktu dan energi untuk menanggapi mereka. Mengesahkan kepengurusan
Partai Golkar produk Munas Bali adalah kebijaksanaan pemerintah yang sangat
masuk akal, karena fakta hukum sudah menguatkan hal itu. Pemerintah akan
mempermalukan dirinya sendiri jika terus mengingkari fakta itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar