Kepemimpinan Baru DPR
Tommi A Legowo ;
Pendiri dan Peneliti Senior
Forum Masyarakat Peduli Parlemen
Indonesia
|
KOMPAS,
14 Januari 2016
Ade Komarudin telah ditetapkan sebagai ketua menggantikan posisi
yang ditinggalkan Setya Novanto dalam kepemimpinan DPR 2014-2019. Apa saja
tantangan yang dihadapinya dan sejauh mana potensi mengatasi
tantangan-tantangan itu menjadi kinerja yang bermutu dan bertanggung jawab
untuk penyelenggaraan peran perwakilan rakyat?
Pertama, harus dicatat bahwa Ade menempati posisi itu dengan
iringan kontroversi karena masalah internal partai politik induknya, yaitu
perpecahan Partai Golkar. Meski sampai saat ini Ade berkubu dari belahan
Partai Golkar yang secara faktual ”menguasai legalitas” kursi DPR, tak bisa
dimungkiri, konflik parpol berlambang pohon beringin ini belum sampai pada
penyelesaian yang tuntas.
Tampaknya tak terelakkan, tentangan dari kubu belahan Golkar
lain akan terus menghardik Ade dari posisi Ketua DPR. Posisi ini sejak awal
telah menjadi bagian dari konflik internal Golkar yang ditandai dengan
diajukannya Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai calon ketua DPR oleh kubu
belahan lain. Ini berbeda dengan posisi kepala/wakil kepala daerah pada
pilkada serentak 2015 yang secara pragmatis menjadi bagian dari penyelesaian
konflik Golkar meski bersifat sangat sementara.
Ade harus dapat membebaskan diri dan bertahan dari imbas konflik
internal parpol induknya ini untuk bisa menyelesaikan kepemimpinan DPR secara
paripurna. Sampai sejauh ini belum terlihat tanda-tanda rekonsiliasi antara
Ade dan Agus sebagai upaya mempersatukan Partai Golkar di DPR. Ini juga
menyuratkan kelemahan kepemimpinan Ade di DPR akan menjadi ”amunisi” bagi
seteru internal untuk menggoyangnya.
Kedua, meski telah makan asam garam sebagai anggota dan unsur
pimpinan pada level menengah di DPR, Ade adalah pendatang baru di kalangan
pimpinan DPR 2014-2019. Meski begitu, Ade langsung menduduki pucuk tertinggi
sebagai ketua di kalangan pimpinan itu. Tentu keadaan ini menghadirkan
suasana yang tricky dalam hubungan antara Ade dan empat unsur pimpinan DPR
lain.
Soliditas
unsur pimpinan
Tak termungkiri, satu tahun masa kepemimpinan Setya Novanto
telah menghasilkan soliditas yang relatif kuat di antara unsur-unsur pimpinan
DPR meski tak semua unsur pimpinan itu berasal dari satu kubu Koalisi Merah
Putih (KMP). Agus Hermanto adalah satu unsur pimpinan DPR dari Fraksi Partai
Demokrat yang tak berkubu di KMP ataupun Koalisi Indonesia Hebat.
Soliditas pimpinan itu tecermin dari pembagian kerja yang tak pernah
ada masalah di antara unsur-unsur pimpinan itu. Masing-masing menjadi
koordinator empat kelompok bidang kerja: politik, hukum, dan keamanan;
industri dan pembangunan; kesejahteraan rakyat; serta ekonomi dan keuangan.
Ketua DPR adalah koordinator umum atas kelompok-kelompok bidang itu.
Cerminan lain dari soliditas itu terlihat dari kuatnya ”saling
pengertian” di antara mereka. Ini tidak hanya ditunjukkan dari kesediaan satu
atau beberapa unsur pimpinan untuk mengisi kekosongan peran atau fungsi di
DPR yang ditinggalkan satu atau beberapa unsur pimpinan lain karena kesibukan
lain di dalam dan/atau di luar gedung DPR. Akan tetapi, itu juga terlihat
dari kerelaan masing-masing untuk ”pasang badan” menutup-nutupi kekurangan
dan/atau kesalahan yang lain.
Kegiatan pasang badan itu terlihat secara kasatmata pada upaya
pembelaan langsung ataupun tak langsung terhadap dan saat Setya Novanto
tengah diadili Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam kasus pelanggaran etika
”papa minta saham”. Bahkan, seorang wakil pemimpin DPR, Fahri Hamzah, rela
melakukan pasang badan itu dengan risiko ”melanggar” Kode Etik DPR, seperti
telah diadukan ke MKD oleh anggota DPR, Akbar Faizal. Contoh mutakhir
soliditas ini terkuak juga dalam pembelaan Fadli Zon terhadap Fahri Hamzah
yang tengah menghadapi desakan mundur dari kursi pimpinan DPR oleh sejumlah
kader dan pimpinan parpol induknya, PKS.
Tantangan Ade
Pertanyaannya, apakah Ade akan menjadi bagian dari soliditas itu
ataukah sebaliknya, dia akan menjadi ancaman terhadap soliditas itu? Tak
mudah ditebak. Namun, rekam jejaknya yang menyatakan sebagai tokoh politisi
yang relatif bersih, berkinerja, dan bertanggung jawab membawa peluang bagi
Ade untuk membangun soliditas baru yang mengarah pada kepemimpinan DPR yang
teruji dan terpuji (tepercaya). Soliditas baru semacam ini tampaknya
merupakan kebutuhan yang dinanti rakyat sebagai terobosan yang menegasi
ketercemaran kepemimpinan DPR masa lalu oleh sejumlah pelanggaran etika
unsur-unsurnya.
Pasti ini bukan pekerjaan mudah bagi Ade untuk mewujudkannya.
Secara tak langsung ini menyiratkan bahwa pertaruhan politik yang dibawanya
adalah kegagalan membangun soliditas baru untuk kepemimpinan DPR yang
tepercaya akan berarti sebaliknya, yakni menguatkan soliditas lama yang bisa
jadi makin membawa kepemimpinan DPR tak tepercaya di hadapan rakyat. Jika
terjadi demikian, ini akan menjadi bagian dari berlanjutnya katastrofi
perwakilan politik Indonesia di masa mendatang.
Ketiga, tantangan terberat Ade adalah membuktikan bahwa
kehadirannya sebagai pucuk pimpinan DPR dapat mengubah kinerja DPR yang
sangat buruk di tahun pertamanya menjadi kinerja yang menghadirkan perbaikan
dan kemajuan dalam pelaksanaan fungsi-fungsi legislasi, anggaran, dan
pengawasan yang bermutu dan bertanggung jawab. Ini menuntut kemampuan Ade
sebagai tokoh politik andal untuk mengonsolidasi tekad dan elan semua
komponen Dewan yang terbagi dalam keanggotaan, alat kelengkapan Dewan, dan
segala sarana pendukung demi terpenuhinya secara nyata penyelenggaraan peran
perwakilan rakyat.
Tumpuan mengatasi tantangan terberat ini semestinya berdasar
pada keberhasilan Ade membangun soliditas baru dalam kepemimpinan Dewan.
Melalui unsur-unsur pimpinan DPR, Ade dapat mentransformasi tekad dan elan
baru kepada semua komponen Dewan. Tentu ini menuntut kerja keras yang
terfokus. Untuk tujuan ini, Ade perlu mengapitalisasi kerangka kerja DPR yang
pada substansinya telah terkonsentrasi pada pelaksanaan tiga fungsi utama,
yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan, yang diimplementasikan atas dasar
hasil-hasil serap aspirasi rakyat.
Fokus ini dapat dan harus diperjelas rincian penyelenggaraannya
di dalam rencana strategis DPR yang menjadi keputusan resmi lembaga. Dengan
fokus ini, DPR dapat terbebas dari urusan dan tindakan yang tak tepat
dan/atau merengek-rengek soal fasilitas untuk kepentingannya sendiri.
Dengan cara itu, target-target kinerja perlu dirumuskan lagi
(kembali) secara lebih realistis dan menyeluruh. Selama ini, rakyat disuguhi
dengan target nominal legislasi dalam Prolegnas yang tak realistis, tak ada
target kinerja untuk fungsi anggaran dan pengawasan. Demikian juga, Ade perlu
menegaskan kesungguhan anggota DPR dalam menghimpun serap aspirasi rakyat
yang selama ini seperti diabaikan dan/atau dimanfaatkan untuk kepentingan
pragmatisme politik.
Tantangan-tantangan itu harus diatasi oleh Ade sebagai Ketua
DPR. Dengan pembuktian itu, kehadiran Ade dalam kepemimpinan baru DPR menjadi
berarti karena sungguh membawa pembaruan yang membuktikan peran perwakilan
rakyat oleh DPR memang terselenggara secara bermutu dan bertanggung jawab
untuk seluruh rakyat Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar