Sabtu, 16 Januari 2016

Kepemimpinan Baru DPR

Kepemimpinan Baru DPR

Tommi A Legowo  ;   Pendiri dan Peneliti Senior
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia
                                                       KOMPAS, 14 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Ade Komarudin telah ditetapkan sebagai ketua menggantikan posisi yang ditinggalkan Setya Novanto dalam kepemimpinan DPR 2014-2019. Apa saja tantangan yang dihadapinya dan sejauh mana potensi mengatasi tantangan-tantangan itu menjadi kinerja yang bermutu dan bertanggung jawab untuk penyelenggaraan peran perwakilan rakyat?

Pertama, harus dicatat bahwa Ade menempati posisi itu dengan iringan kontroversi karena masalah internal partai politik induknya, yaitu perpecahan Partai Golkar. Meski sampai saat ini Ade berkubu dari belahan Partai Golkar yang secara faktual ”menguasai legalitas” kursi DPR, tak bisa dimungkiri, konflik parpol berlambang pohon beringin ini belum sampai pada penyelesaian yang tuntas.

Tampaknya tak terelakkan, tentangan dari kubu belahan Golkar lain akan terus menghardik Ade dari posisi Ketua DPR. Posisi ini sejak awal telah menjadi bagian dari konflik internal Golkar yang ditandai dengan diajukannya Agus Gumiwang Kartasasmita sebagai calon ketua DPR oleh kubu belahan lain. Ini berbeda dengan posisi kepala/wakil kepala daerah pada pilkada serentak 2015 yang secara pragmatis menjadi bagian dari penyelesaian konflik Golkar meski bersifat sangat sementara.

Ade harus dapat membebaskan diri dan bertahan dari imbas konflik internal parpol induknya ini untuk bisa menyelesaikan kepemimpinan DPR secara paripurna. Sampai sejauh ini belum terlihat tanda-tanda rekonsiliasi antara Ade dan Agus sebagai upaya mempersatukan Partai Golkar di DPR. Ini juga menyuratkan kelemahan kepemimpinan Ade di DPR akan menjadi ”amunisi” bagi seteru internal untuk menggoyangnya.

Kedua, meski telah makan asam garam sebagai anggota dan unsur pimpinan pada level menengah di DPR, Ade adalah pendatang baru di kalangan pimpinan DPR 2014-2019. Meski begitu, Ade langsung menduduki pucuk tertinggi sebagai ketua di kalangan pimpinan itu. Tentu keadaan ini menghadirkan suasana yang tricky dalam hubungan antara Ade dan empat unsur pimpinan DPR lain.

Soliditas unsur pimpinan

Tak termungkiri, satu tahun masa kepemimpinan Setya Novanto telah menghasilkan soliditas yang relatif kuat di antara unsur-unsur pimpinan DPR meski tak semua unsur pimpinan itu berasal dari satu kubu Koalisi Merah Putih (KMP). Agus Hermanto adalah satu unsur pimpinan DPR dari Fraksi Partai Demokrat yang tak berkubu di KMP ataupun Koalisi Indonesia Hebat.

Soliditas pimpinan itu tecermin dari pembagian kerja yang tak pernah ada masalah di antara unsur-unsur pimpinan itu. Masing-masing menjadi koordinator empat kelompok bidang kerja: politik, hukum, dan keamanan; industri dan pembangunan; kesejahteraan rakyat; serta ekonomi dan keuangan. Ketua DPR adalah koordinator umum atas kelompok-kelompok bidang itu.

Cerminan lain dari soliditas itu terlihat dari kuatnya ”saling pengertian” di antara mereka. Ini tidak hanya ditunjukkan dari kesediaan satu atau beberapa unsur pimpinan untuk mengisi kekosongan peran atau fungsi di DPR yang ditinggalkan satu atau beberapa unsur pimpinan lain karena kesibukan lain di dalam dan/atau di luar gedung DPR. Akan tetapi, itu juga terlihat dari kerelaan masing-masing untuk ”pasang badan” menutup-nutupi kekurangan dan/atau kesalahan yang lain.

Kegiatan pasang badan itu terlihat secara kasatmata pada upaya pembelaan langsung ataupun tak langsung terhadap dan saat Setya Novanto tengah diadili Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam kasus pelanggaran etika ”papa minta saham”. Bahkan, seorang wakil pemimpin DPR, Fahri Hamzah, rela melakukan pasang badan itu dengan risiko ”melanggar” Kode Etik DPR, seperti telah diadukan ke MKD oleh anggota DPR, Akbar Faizal. Contoh mutakhir soliditas ini terkuak juga dalam pembelaan Fadli Zon terhadap Fahri Hamzah yang tengah menghadapi desakan mundur dari kursi pimpinan DPR oleh sejumlah kader dan pimpinan parpol induknya, PKS.

Tantangan Ade

Pertanyaannya, apakah Ade akan menjadi bagian dari soliditas itu ataukah sebaliknya, dia akan menjadi ancaman terhadap soliditas itu? Tak mudah ditebak. Namun, rekam jejaknya yang menyatakan sebagai tokoh politisi yang relatif bersih, berkinerja, dan bertanggung jawab membawa peluang bagi Ade untuk membangun soliditas baru yang mengarah pada kepemimpinan DPR yang teruji dan terpuji (tepercaya). Soliditas baru semacam ini tampaknya merupakan kebutuhan yang dinanti rakyat sebagai terobosan yang menegasi ketercemaran kepemimpinan DPR masa lalu oleh sejumlah pelanggaran etika unsur-unsurnya.

Pasti ini bukan pekerjaan mudah bagi Ade untuk mewujudkannya. Secara tak langsung ini menyiratkan bahwa pertaruhan politik yang dibawanya adalah kegagalan membangun soliditas baru untuk kepemimpinan DPR yang tepercaya akan berarti sebaliknya, yakni menguatkan soliditas lama yang bisa jadi makin membawa kepemimpinan DPR tak tepercaya di hadapan rakyat. Jika terjadi demikian, ini akan menjadi bagian dari berlanjutnya katastrofi perwakilan politik Indonesia di masa mendatang.

Ketiga, tantangan terberat Ade adalah membuktikan bahwa kehadirannya sebagai pucuk pimpinan DPR dapat mengubah kinerja DPR yang sangat buruk di tahun pertamanya menjadi kinerja yang menghadirkan perbaikan dan kemajuan dalam pelaksanaan fungsi-fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan yang bermutu dan bertanggung jawab. Ini menuntut kemampuan Ade sebagai tokoh politik andal untuk mengonsolidasi tekad dan elan semua komponen Dewan yang terbagi dalam keanggotaan, alat kelengkapan Dewan, dan segala sarana pendukung demi terpenuhinya secara nyata penyelenggaraan peran perwakilan rakyat.

Tumpuan mengatasi tantangan terberat ini semestinya berdasar pada keberhasilan Ade membangun soliditas baru dalam kepemimpinan Dewan. Melalui unsur-unsur pimpinan DPR, Ade dapat mentransformasi tekad dan elan baru kepada semua komponen Dewan. Tentu ini menuntut kerja keras yang terfokus. Untuk tujuan ini, Ade perlu mengapitalisasi kerangka kerja DPR yang pada substansinya telah terkonsentrasi pada pelaksanaan tiga fungsi utama, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan, yang diimplementasikan atas dasar hasil-hasil serap aspirasi rakyat.

Fokus ini dapat dan harus diperjelas rincian penyelenggaraannya di dalam rencana strategis DPR yang menjadi keputusan resmi lembaga. Dengan fokus ini, DPR dapat terbebas dari urusan dan tindakan yang tak tepat dan/atau merengek-rengek soal fasilitas untuk kepentingannya sendiri.

Dengan cara itu, target-target kinerja perlu dirumuskan lagi (kembali) secara lebih realistis dan menyeluruh. Selama ini, rakyat disuguhi dengan target nominal legislasi dalam Prolegnas yang tak realistis, tak ada target kinerja untuk fungsi anggaran dan pengawasan. Demikian juga, Ade perlu menegaskan kesungguhan anggota DPR dalam menghimpun serap aspirasi rakyat yang selama ini seperti diabaikan dan/atau dimanfaatkan untuk kepentingan pragmatisme politik.

Tantangan-tantangan itu harus diatasi oleh Ade sebagai Ketua DPR. Dengan pembuktian itu, kehadiran Ade dalam kepemimpinan baru DPR menjadi berarti karena sungguh membawa pembaruan yang membuktikan peran perwakilan rakyat oleh DPR memang terselenggara secara bermutu dan bertanggung jawab untuk seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar