Kamis, 14 Januari 2016

Simalakama Ekonomi 2016

Simalakama Ekonomi 2016

Ronny P Sasmita  ;   Analis Ekonomi Politik International Financeroll Indonesia
                                                       KOMPAS, 13 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2015 yang baru saja lewat menyisakan kenangan ketidakpastian bagi sebagian masyarakat dan kerugian bagi sebagian investor portofolio keuangan.
Beberapa indikator ekonomi, bisnis, dan investasi menunjukkan fakta-fakta penurunan. Akankah kisah sendu tahun lalu bakal berulang?

Baru-baru ini, Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berakselerasi pada 2016 di tengah kelesuan pertumbuhan ekonomi global dan emerging markets. Laporan bertajuk Global Economic Prospect 2016 yang dirilis Bank Dunia memperkirakan tren perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mencapai titik nadir setelah menyentuh level 4,7 persen pada 2015.

Ekonomi Tanah Air diprediksi kembali berakselerasi hingga rata-rata 5,4 persen pada 2016- 2018. Sementara, pertumbuhan PDB Indonesia diprediksi menguat menjadi 5,3 persen pada 2016 dan 5,5 persen pada 2017. Secara komparatif, proyeksi positif ini bertolak belakang dari prediksi perlambatan di Thailand dari 2,5 persen pada 2015 menjadi 2,0 persen pada 2016, Tiongkok (dari 6,9 persen menjadi 6,7 persen), atau Turki (dari 4,2 persen menjadi 3,5 persen).

Kunci dari percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut Bank Dunia, adalah realisasi reformasi struktural yang direncanakan Pemerintah RI. Implementasi rangkaian paket kebijakan yang diumumkan pemerintah dinilai bisa mendongkrak aliran investasi ke Tanah Air dan memacu ekonomi tumbuh lebih cepat. Dan, reformasi struktural itu sekaligus mengurangi ketergantungan Indonesia atas sumbangan devisa hasil ekspor komoditas yang akan terus menyusut terseret perlambatan ekonomi Tiongkok dan pelandaian harga minyak dunia.

Pada 2015 dan 2016, sentimen global memang memunculkan nuansa minor bagi Indonesia. Untunglah sentimen dari dalam negeri terlihat membaik. Ekspektasi yang muncul juga terasa lebih wajar dan realistis alias tidak berlebihan seperti tahun pertama pemerintahan Joko Widodo. Pada 2015, pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya tercatat di kisaran 4,7 persen-4,8 persen.

Namun, pada 2016, tampaknya akan membaik. Angka pertumbuhan 5,1 persen-5,3 persen masih sangat mungkin ditorehkan. Estimasi ini harus diakui lebih banyak disokong oleh faktor dalam negeri. Bahkan, jika kondisi eksternal bisa lebih cepat pulih, diperkirakan pertumbuhan Indonesia bisa lebih baik lagi.

Sumber pertumbuhan 2016

Belanja pemerintah untuk infrastruktur, kenaikan investasi langsung (direct investment), dan membaiknya daya beli masyarakat akan menjadi tiga serangkai yang akan menggeser angka pertumbuhan Indonesia tahun ini. Penyerapan anggaran infrastruktur diyakini akan lebih baik setelah pemerintah menggelar lelang proyek lebih dini.

Di sisi lain, paket kebijakan deregulasi yang digelar pemerintah pada 2015 akan menunjukkan hasil pada 2016, salah satunyaberupa kenaikan investasi langsung. Sebagaimana telah dipaparkan Badan Koordinasi Penanaman Modal baru-baru ini, target realisasi investasi pada 2016 akan mencapai Rp 594,8 triliun. Target ini tercatat lebih tinggi dari tahun lalu yang dibanderol di angka Rp 519,5 triliun.

Realisasi belanja infrastruktur dan proyeksi kenaikan investasi langsung, ditambah pula dengan proyeksi harga energi yang lebih rendah, tentu ujungnya diharapkan akan membuat daya beli masyarakat kembali bergairah meski tak terlalu signifikan. Maklum, banyak dari perekonomian daerah di Indonesia masih sangat bergantung harga komoditas.

Di aras global, faktor The Fed (bank sentral AS), perlambatan ekonomi Tiongkok, dan mangkraknya angka pertumbuhan global masih akan menjadi penghalang yang patut dicermati dari waktu ke waktu oleh pemerintah. Setelah lebih dari setahun menggantung tebakan pasar keuangan seluruh dunia, The Fed akhirnya mengambil sikap pada pengujung 2015 dengan menaikkan fed fund rate25 basis poin pada 17 Desember 2015.

Sumber ketidakpastian

Lantas apakah ketidakpastian berakhir? Tampaknya belum. The Fed masih akan menjadi pusat perhatian pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia. Teka-teki kini sedikit berubah, yakni kapan dan berapa besar The Fed bakal kembali mengerek suku bunganya? Ekspektasi ini sebagaimana biasanya akan sejalan dengan proyeksi ekonomi AS. IMF, misalnya, yakin ekonomi AS bisa tumbuh 2,8 persen tahun ini. Selain itu, The Fed juga sangat bergantung kepada perkembangan data tenaga kerja (pengangguran) dan inflasi dalam menentukan kapan dan berapa kenaikan suku bunga yang layak.

Berdasarkan perkembangan ekonomi AS sendiri, harga komoditas, dan situasi perekonomian global,diperkirakan kenaikan fed fund rate akan cenderung bertahap, misalnya per 25-50 basis poin sampai mencapai angka 1,375 persen di pengujung 2016 dan 2,5 persen pada pengujung 2017. Ini artinya, sepanjang 2016 dan 2017,fed fund rateakan tetap menjadi tebak-tebakan banyak pihak alias ketidakpastian baru yang akan membuat ekonomi global terkatung-katung dalam tanda-tanya menjelang pertemuan-pertemuan FOMC.

Bagi Indonesia, kenaikan suku bunga The Fed akan mengerek indeks mata uang dollar AS. Akibatnya tentu saja rupiah akan kembali berdarah-darah. Bagi pasar modalemerging marketseperti Indonesia, kekhawatiran dana asing bakal pulang kampung akan kembali menyeruak menghantui pasar finansial.

Di sisi yang lain, perlambatan ekonomi Tiongkok juga akan tetap jadi faktor tersendiri yang akan mengombang-ambingkan pertumbuhan ekonomi global dan regional. Keputusan IMF memasukkan renminbi sebagai salah satureserve currencyakhir November lalu tentu tak serta merta menjadi pertanda baik bagi ekonomi Tiongkok. Justru banyak pihak berkeyakinan perlambatan ekonomi yang mendera Negeri Tirai Bambu itu bakal berlanjut pada 2016. IMF memprediksi ekonomi Tiongkok 2016 hanya akan tumbuh 6,3 persen. Lebih lambat ketimbang prediksi pertumbuhan 2015 yang ”hanya” diprediksi 6,8 persen.

Artinya, kebutuhan Tiongkok terhadap barang impor, terutama komoditas, termasuk komoditas andalan ekspor Indonesia dan negara-negaraemerging market, juga bakal melandai karena posisi Tiongkok yang sampai saat ini masih berstatus salah satu importir terbesar di dunia. Penurunan permintaan dari Tiongkok bakal membuat harga komoditas kian tertekan dan berdarah-darah. Dengan begitu, akan cukup sulit berharap neraca ekspor Indonesia yang didominasi komoditas menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. Jadi, mau tak mau, surplus neraca perdagangan berkemungkinan besar hanya bisa ditorehkan jika sisi impor juga ikut melemah.

Pendek kata, 2016 dalam perspektif global dan regional nyatanya juga bak buah simalakama. Meski ekonomi Indonesia diperkirakan lebih baik ketimbang 2015,yang berarti impor barang jadi dan kebutuhan industri bakal lebih tinggi ketimbang sebelumnya di satu sisi, ekspor masih berprospek ”tidak jelas”.

Apalagi, ketakutan demi ketakutan perihal ekonomi Tiongkok sudah mulai berbukti satu demi satu. Apabila ekonomi Tiongkok terus berkontraksi, bank sentral Tiongkok (PBoC) diperkirakan akan melakukan intervensi dengan kembali mendevaluasi yuan seperti pada 6 Januari 2016 dan Agustus 2015. Pada hari yang sama, Bank Dunia dalam riset yang dirilis pada Rabu (6/1) kembali memangkas outlook pertumbuhan ekonomi global 2016 dan 2017. Alasan yang dikemukakan salah satunya adalah kecemasan terhadap perlambatan ekonomi Negeri Panda dan dampaknya terhadap prospek harga komoditas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar