Simalakama Ekonomi 2016
Ronny P Sasmita ;
Analis Ekonomi Politik International
Financeroll Indonesia
|
KOMPAS,
13 Januari 2016
Tahun 2015 yang baru saja lewat menyisakan kenangan
ketidakpastian bagi sebagian masyarakat dan kerugian bagi sebagian investor
portofolio keuangan.
Beberapa indikator ekonomi, bisnis, dan investasi menunjukkan
fakta-fakta penurunan. Akankah kisah sendu tahun lalu bakal berulang?
Baru-baru ini, Bank Dunia memproyeksi pertumbuhan ekonomi
Indonesia akan berakselerasi pada 2016 di tengah kelesuan pertumbuhan ekonomi
global dan emerging markets.
Laporan bertajuk Global Economic
Prospect 2016 yang dirilis Bank Dunia memperkirakan tren perlambatan
pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mencapai titik nadir setelah menyentuh
level 4,7 persen pada 2015.
Ekonomi Tanah Air diprediksi kembali berakselerasi hingga
rata-rata 5,4 persen pada 2016- 2018. Sementara, pertumbuhan PDB Indonesia
diprediksi menguat menjadi 5,3 persen pada 2016 dan 5,5 persen pada 2017.
Secara komparatif, proyeksi positif ini bertolak belakang dari prediksi
perlambatan di Thailand dari 2,5 persen pada 2015 menjadi 2,0 persen pada
2016, Tiongkok (dari 6,9 persen menjadi 6,7 persen), atau Turki (dari 4,2
persen menjadi 3,5 persen).
Kunci dari percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia, menurut
Bank Dunia, adalah realisasi reformasi struktural yang direncanakan
Pemerintah RI. Implementasi rangkaian paket kebijakan yang diumumkan
pemerintah dinilai bisa mendongkrak aliran investasi ke Tanah Air dan memacu
ekonomi tumbuh lebih cepat. Dan, reformasi struktural itu sekaligus
mengurangi ketergantungan Indonesia atas sumbangan devisa hasil ekspor
komoditas yang akan terus menyusut terseret perlambatan ekonomi Tiongkok dan
pelandaian harga minyak dunia.
Pada 2015 dan 2016, sentimen global memang memunculkan nuansa
minor bagi Indonesia. Untunglah sentimen dari dalam negeri terlihat membaik.
Ekspektasi yang muncul juga terasa lebih wajar dan realistis alias tidak
berlebihan seperti tahun pertama pemerintahan Joko Widodo. Pada 2015,
pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya tercatat di kisaran 4,7 persen-4,8
persen.
Namun, pada 2016, tampaknya akan membaik. Angka pertumbuhan 5,1
persen-5,3 persen masih sangat mungkin ditorehkan. Estimasi ini harus diakui
lebih banyak disokong oleh faktor dalam negeri. Bahkan, jika kondisi
eksternal bisa lebih cepat pulih, diperkirakan pertumbuhan Indonesia bisa
lebih baik lagi.
Sumber
pertumbuhan 2016
Belanja pemerintah untuk infrastruktur, kenaikan investasi
langsung (direct investment), dan
membaiknya daya beli masyarakat akan menjadi tiga serangkai yang akan
menggeser angka pertumbuhan Indonesia tahun ini. Penyerapan anggaran
infrastruktur diyakini akan lebih baik setelah pemerintah menggelar lelang
proyek lebih dini.
Di sisi lain, paket kebijakan deregulasi yang digelar pemerintah
pada 2015 akan menunjukkan hasil pada 2016, salah satunyaberupa kenaikan
investasi langsung. Sebagaimana telah dipaparkan Badan Koordinasi Penanaman
Modal baru-baru ini, target realisasi investasi pada 2016 akan mencapai Rp
594,8 triliun. Target ini tercatat lebih tinggi dari tahun lalu yang
dibanderol di angka Rp 519,5 triliun.
Realisasi belanja infrastruktur dan proyeksi kenaikan investasi
langsung, ditambah pula dengan proyeksi harga energi yang lebih rendah, tentu
ujungnya diharapkan akan membuat daya beli masyarakat kembali bergairah meski
tak terlalu signifikan. Maklum, banyak dari perekonomian daerah di Indonesia
masih sangat bergantung harga komoditas.
Di aras global, faktor The Fed (bank sentral AS), perlambatan
ekonomi Tiongkok, dan mangkraknya angka pertumbuhan global masih akan menjadi
penghalang yang patut dicermati dari waktu ke waktu oleh pemerintah. Setelah
lebih dari setahun menggantung tebakan pasar keuangan seluruh dunia, The Fed
akhirnya mengambil sikap pada pengujung 2015 dengan menaikkan fed fund rate25
basis poin pada 17 Desember 2015.
Sumber
ketidakpastian
Lantas apakah ketidakpastian berakhir? Tampaknya belum. The Fed
masih akan menjadi pusat perhatian pasar keuangan dunia, termasuk Indonesia.
Teka-teki kini sedikit berubah, yakni kapan dan berapa besar The Fed bakal
kembali mengerek suku bunganya? Ekspektasi ini sebagaimana biasanya akan
sejalan dengan proyeksi ekonomi AS. IMF, misalnya, yakin ekonomi AS bisa
tumbuh 2,8 persen tahun ini. Selain itu, The Fed juga sangat bergantung
kepada perkembangan data tenaga kerja (pengangguran) dan inflasi dalam
menentukan kapan dan berapa kenaikan suku bunga yang layak.
Berdasarkan perkembangan ekonomi AS sendiri, harga komoditas,
dan situasi perekonomian global,diperkirakan kenaikan fed fund rate akan cenderung bertahap, misalnya per 25-50 basis
poin sampai mencapai angka 1,375 persen di pengujung 2016 dan 2,5 persen pada
pengujung 2017. Ini artinya, sepanjang 2016 dan 2017,fed fund rateakan tetap
menjadi tebak-tebakan banyak pihak alias ketidakpastian baru yang akan
membuat ekonomi global terkatung-katung dalam tanda-tanya menjelang
pertemuan-pertemuan FOMC.
Bagi Indonesia, kenaikan suku bunga The Fed akan mengerek indeks
mata uang dollar AS. Akibatnya tentu saja rupiah akan kembali berdarah-darah.
Bagi pasar modalemerging marketseperti Indonesia, kekhawatiran dana asing
bakal pulang kampung akan kembali menyeruak menghantui pasar finansial.
Di sisi yang lain, perlambatan ekonomi Tiongkok juga akan tetap
jadi faktor tersendiri yang akan mengombang-ambingkan pertumbuhan ekonomi
global dan regional. Keputusan IMF memasukkan renminbi sebagai salah
satureserve currencyakhir November lalu tentu tak serta merta menjadi
pertanda baik bagi ekonomi Tiongkok. Justru banyak pihak berkeyakinan
perlambatan ekonomi yang mendera Negeri Tirai Bambu itu bakal berlanjut pada
2016. IMF memprediksi ekonomi Tiongkok 2016 hanya akan tumbuh 6,3 persen.
Lebih lambat ketimbang prediksi pertumbuhan 2015 yang ”hanya” diprediksi 6,8
persen.
Artinya, kebutuhan Tiongkok terhadap barang impor, terutama
komoditas, termasuk komoditas andalan ekspor Indonesia dan
negara-negaraemerging market, juga bakal melandai karena posisi Tiongkok yang
sampai saat ini masih berstatus salah satu importir terbesar di dunia.
Penurunan permintaan dari Tiongkok bakal membuat harga komoditas kian
tertekan dan berdarah-darah. Dengan begitu, akan cukup sulit berharap neraca
ekspor Indonesia yang didominasi komoditas menunjukkan tanda-tanda kebangkitan.
Jadi, mau tak mau, surplus neraca perdagangan berkemungkinan besar hanya bisa
ditorehkan jika sisi impor juga ikut melemah.
Pendek kata, 2016 dalam perspektif global dan regional nyatanya
juga bak buah simalakama. Meski ekonomi Indonesia diperkirakan lebih baik
ketimbang 2015,yang berarti impor barang jadi dan kebutuhan industri bakal
lebih tinggi ketimbang sebelumnya di satu sisi, ekspor masih berprospek
”tidak jelas”.
Apalagi, ketakutan demi ketakutan perihal ekonomi Tiongkok sudah
mulai berbukti satu demi satu. Apabila ekonomi Tiongkok terus berkontraksi,
bank sentral Tiongkok (PBoC) diperkirakan akan melakukan intervensi dengan
kembali mendevaluasi yuan seperti pada 6 Januari 2016 dan Agustus 2015. Pada
hari yang sama, Bank Dunia dalam riset yang dirilis pada Rabu (6/1) kembali
memangkas outlook pertumbuhan
ekonomi global 2016 dan 2017. Alasan yang dikemukakan salah satunya adalah kecemasan
terhadap perlambatan ekonomi Negeri Panda dan dampaknya terhadap prospek
harga komoditas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar