Mencermati Angka Kemiskinan dan Inflasi
Ronny P Sasmita ;
Analis Ekonomi Politik International
Financeroll Indonesia
|
HALUAN,
06 Januari 2016
Badan Pusat Statistik
(BPS) melaporkan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin pada September
2015. Pada periode itu jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak
28,51 juta orang atau 11,13% dari total penduduk. Jumlah ini terbilang berkurang
sekitar 80.000 jiwa dibandingkan Maret 2015 yang tercatat 28,59 juta jiwa.
Namun bila dibandingkan periode yang sama di
2014, jumlah penduduk miskin naik 780.000 jiwa. Per September 2014 jumlah
penduduk miskin sebesar 27,73 juta jiwa. Kepada media, Kepala BPS Suryamin
menjelaskan bahwa karakteristik penduduk miskin saat ini, sebanyak 54% ada
di sektor pertanian sebagai buruh tani.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan
bahwa pulau Jawa merupakan pulau yang mencatatkan jumlah penduduk miskin
terbanyak yakni 15,31 juta orang dari jumlah penduduk miskin 28,51 juta
orang secara keseluruhan. Setelah pulau Jawa, Sumatera menjadi peringkat kedua
jumlah penduduk miskin. Sedangkan peringkat ketiga diduduki oleh Sulawesi
yang penduduk miskinnya mencapai 2,19 juta orang atau, setelah itu Bali dan
Nusa Tenggara yang mencapai 2,18 juta orang. Setelah itu Maluku dan Papua
1,53 juta orang. Jumlah penduduk miskin terendah berada di Pulau Kalimantan
yang hanya mencapai 990 ribu orang atau 6,45 persen.
Sementara itu, jumlah penduduk miskin di perkotaan
mencapai 10,62 juta sedangkan di pedesaan 17,89 juta. Komoditi makanan yang
berpengaruh besar terhadap nilai garis kemiskinan di perkotaan dikatakan
relative sama dengan di pedesaan, diantaranya adalah beras, rokok kretek
filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, temped an
tahu. Sedangkan, untuk komoditi bukan makanan diantaranya adalah biaya
perumahan, bensin, listrik, pendidikan dan peprlengkapan mandi.
Menurut BPS, penurunan penduduk miskin selama
enam bulan terakhir tertolong oleh bantuan sosial dari pemerintah.
Contohnya Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). “Tapi
tidak drastis karena kondisi ekonominya sedang lesu,” demikian kilah
Suryamin, Senin (1/4). Namun disisi lain, Suryamin juga khawatir pemerintah
akan sulit menurunkan lagi jumlah penduduk miskin saat ini.
Karena, pemerintah telah melewati masa-masa
penurunan jumlah penduduk miskin secara signifikan, yaitu pada September
2011 yang persentasenya 12,36% hingga September 2014 yang persentasenya
10,96%. Bahkan menurutnya, pemerintah memerlukan strategi khusus untuk
menurunkan tingkat kemiskinan lebih lanjut.
Tentu ada faktor lain yang cukup berpengaruh
terhadap penurunan tingkat kemiskinan ini, selain banyaknya bantuan sosial
ke penduduk miskin sebagaimana disampaikan BPS. Salah satunya adalah inflasi
yang relatif rendah selama periode tersebut, yaitu sebesar 2,69%. Bahkan
secara teknis, dari data yang dirilis BPS, penurunan rata-rata harga beras
sebesar 0,92% juga menjadi salah satu penyebab yang tak bisa dikesampingkan.
Selain beras, harga eceran komoditas bahan pokok lain yang mengalami
penurunan adalah minyak goreng sebesar 2,8%.
Pemerintah nampaknya memang bangga bisa mengerem
laju inflasi sepanjang 2015 lebih rendah dari target anggaran perubahan
sebesar 5%. Sepanjang tahun 2015 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat,
inflasi hanya 3,35%. Menurut Kepala BPS Suryamin, rendahnya inflasi
sepanjang 2015 dipicu oleh pertumbuhan ekonomi global yang melambat. Ini
menyebabkan harga komoditas internasional ikut lesu. Di sisi lain, dunia
usaha juga mengerem impor sebagai reaksi depresiasi Rupiah yang cendrung
kurang terkendali.
Ini berarti bahwa penurunan inflasi lebih
banyak terdorong oleh inflasi inti, yakni komponen inflasi yang cenderung menetap
atau persisten karena dipengaruhi minimnya suplai dan permintaan mitra dagang,
nilai tukar, hingga anjloknya harga komoditas. BPS mencatat, inflasi inti
sepanjang 2015 hanya sebesar 3,95%. Adapun inflasi non inti sepanjang 2015
menandak mencapai 4,84%.
Nah, ini pula yang sepanjang tahun lalu mempengaruhi
ekonomi Indonesia.
Sebab, inflasi non inti dipengaruhi inflasi
komponen bergejolak, terutama oleh kejutan harga bahan pangan yang tak
mampu dikendalikan pemerintah. Catatan Kementerian Perdagangan (Kemdag)
atas harga makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat, seperti beras, daging
ayam, daging sapi, telur ayam faktanya naik tajam. Rekor kenaikan harga
per 4 Januari ada di telur ayam yang naik lebih dari 28%, jauh melebihi jika
dibandingkan dengan harga per 1 Desember 2014. Dan harus diakui, faktor
inilah yang telak memukul daya beli masyarakat dan menjadi bandul berat bagi
pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun lali. Dengan kata lain,
pemerintah gagal mengendalikan harga pangan yang melesat sejak awal tahun
2015.
Indeks Harga Konsumen (IHK) yang dicatat BPS
menguatkan fakta itu yang saya sebutkan itu. Jika pada Desember 2014, IHK di
angka 128,01, Desember 2015 melesat menjadi 134,20. Adapun, IHK pada periode
sama atas harga yang diatur pemerintah bergerak di kisaran 139. Sementara
IHK dari inflasi inti cuma naik dari 111,28 menjadi 115,68.
Sehingga kenyataan yang terjadi adalah
kenaikan harga sejumlah komoditas pangan yang mendorong inflasi tahun 2015
diredam oleh deflasi akibat penurunan harga bahan pangan global, sebut saja
seperti susu kedelai, dan jagung. Kondisi ini diyakini oleh para analis
dan ekonom sebagai kondisi yang menolong efek negatif inflasi selama tahun
2015. Dan mata pisau lain dari inflasi rendah tentu berupa pelandaian
daya beli masyarakat. Jadi pendek kata, jangan senang dulu dengan inflasi
rendah selama 2015. Justru pekerjaan rumah yang terbentuk akhirnya adalah
bahwa pemerintah harus serius mengendalikan harga pangan karena ini urusan
perut 250 juta lebih rakyat.
Seturut dengan itu, BPS juga melaporkan, pada
periode Maret 2015 hingga September 2015, garis kemiskinan naik 4,24%
dari Rp 330.776 per kapita per bulan pada Maret 2015 menjadi Rp 344.809 per
kapita pada September 2015. Sedangkan periode September 2014-September 2015
garis kemiskinan naik 10,4% dari Rp 312.328 per kapita per bulan menjadi Rp
344.809 per kapita per bulan.
Namun penurunan yang tergolong tipis tersebut
terasa agak sedikit berlebihan jika dikatakan sebagai sebuah keberhasilan.
Peningkatan tipis angka poverty line
(garis batas kemiskinan) hanya berbanding lurus dengan inflasi inti sebagaimana
yang dibahas diatas, tapi tidak bergerak sefleksible harga-harga barang yang
cendrung diluar control. Sehingga poverty line yang
dipakai oleh pemerintah terasa sangat tidak mewakili kehidupan yang
sebenarnya, terkesan hanya untuk memoles agar data kemiskinan terlihat membaik
dan mengecil dari waktu ke waktu. Sementara itu secara riil, angka
penghasilan atau pendapatan diatas garis kemiskinan yang ditetapkan bukan
saja terlihat sangat jauh dari kebutuhan riil yang ada, tapi juga jauh
dari poverty line yang dipakai oleh
Malaysia dan Philipina, dan terpaut jauh juga dengan standard poverty line yang ditetapkan ADB dan Bank Dunia.
Dan terakhir, masalah utama kemiskinan yang
harus segera dipikirkan oleh pemerintah adalah soal penyempitan lapangan pekerjaan.
Tak bisa dipungkiri, salah satu penyebab utama penambahan jumlah rakyat
miskin dibanding tahun 2014 adalah penyempitan lapangan pekerjaan akibat
perlambatan ekonomi nasional. Sehingga pada jangka menengah, obat mujarab
untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin adalah dengan memperluas lapangan
pekerjaan, khususnya lewat ekspansi sektor usaha padat karya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar