Kamis, 14 Januari 2016

Mencermati Angka Kemiskinan dan Inflasi

Mencermati Angka Kemiskinan dan Inflasi

Ronny P Sasmita  ;   Analis Ekonomi Politik International Financeroll Indonesia
                                                       HALUAN, 06 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadi penurunan jum­­lah pen­du­duk miskin pa­da September 2015. Pada pe­riode itu jum­lah pen­du­duk miskin di Indonesia se­banyak 28,51 juta orang atau 11,13% dari total pen­du­duk. Jumlah ini terbilang ber­kurang sekitar 80.000 ji­wa dibandingkan Maret 2015 yang tercatat 28,59 juta ji­wa.

Namun bila diban­ding­kan periode yang sama di 2014, jumlah penduduk miskin naik 780.000 jiwa. Per September 2014 jumlah penduduk miskin sebesar 27,73 juta jiwa. Kepada media, Kepala BPS Sur­yamin menjelaskan bahwa karakteristik penduduk mis­kin saat ini, sebanyak 54% ada di sektor pertanian sebagai buruh tani.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan bahwa pulau Jawa meru­pa­kan pulau yang men­catat­kan jumlah penduduk mis­kin terbanyak yakni 15,31 juta orang dari jumlah pen­du­duk miskin 28,51 juta orang secara keseluruhan. Setelah pulau Jawa, Suma­tera menjadi peringkat ke­dua jumlah penduduk miskin. Sedangkan peringkat ketiga diduduki oleh Sula­wesi yang penduduk miskin­nya mencapai 2,19 juta orang atau, setelah itu Bali dan Nusa Tenggara yang mencapai 2,18 juta orang. Setelah itu Maluku dan Papua 1,53 juta orang. Jum­lah penduduk miskin teren­dah berada di Pulau Kali­man­tan yang hanya men­capai 990 ribu orang atau 6,45 persen.

Sementara itu, jumlah penduduk miskin di per­kotaan mencapai 10,62 juta sedangkan di pedesaan 17,89 juta. Komoditi maka­nan yang berpengaruh besar terhadap nilai garis kemis­kinan di perkotaan dika­ta­kan relative sama dengan di pedesaan, diantaranya ada­lah beras, rokok kretek filter, telur ayam ras, daging ayam ras, mie instan, gula pasir, temped an tahu. Se­dang­kan, untuk komoditi bukan makanan diantaranya adalah biaya perumahan, bensin, listrik, pendidikan dan peprlengkapan mandi.

Menurut BPS, penu­ru­nan penduduk miskin sela­ma enam bulan terakhir tertolong  oleh bantuan sosial dari pemerintah. Contohnya Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP). “Tapi tidak drastis karena kondisi eko­no­minya sedang lesu,” de­mikian kilah Suryamin, Senin (1/4). Namun disisi lain, Suryamin juga kha­watir pemerintah akan sulit menurunkan  lagi jumlah penduduk miskin saat ini.

Karena, pemerintah te­lah melewati masa-masa penurunan jumlah pen­du­duk miskin secara signi­fikan, yaitu pada September 2011 yang persentasenya 12,36% hingga September 2014 yang persentasenya 10,96%. Bahkan menurut­nya, pemerintah memer­lukan strategi khusus untuk menurunkan tingkat kemis­kinan lebih lanjut.

Tentu ada faktor lain yang cukup berpengaruh terhadap penurunan tingkat kemiskinan ini, selain ba­nyak­nya bantuan sosial ke pen­duduk miskin sebagaimana disampaikan BPS. Salah satunya adalah inflasi yang relatif rendah selama periode tersebut, yaitu sebe­sar 2,69%. Bahkan secara teknis, dari data yang dirilis BPS, penurunan rata-rata harga beras sebesar 0,92% juga menjadi salah satu penyebab yang tak bisa dike­sam­pingkan. Selain beras, harga eceran komoditas ba­han pokok lain yang me­nga­­lami penurunan adalah mi­nyak goreng sebesar 2,8%.

Pemerintah nampaknya memang bangga bisa me­nge­rem laju inflasi sepan­jang 2015 lebih rendah dari target anggaran perubahan sebesar 5%. Sepanjang tahun 2015 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi hanya 3,35%. Menu­rut Kepala BPS Suryamin, rendahnya inflasi sepanjang 2015 dipicu oleh pertum­buhan ekonomi global yang melambat. Ini menye­bab­kan harga komoditas inter­nasional ikut lesu. Di sisi lain, dunia usaha juga me­nge­rem impor sebagai reak­si depresiasi Rupiah yang cendrung kurang terkendali.
Ini berarti bahwa penu­runan inflasi lebih banyak terdorong oleh inflasi inti, yakni komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten karena dipe­ngaruhi minimnya suplai dan permintaan mitra da­gang, nilai tukar, hingga anjloknya harga komoditas. BPS mencatat, inflasi inti sepanjang 2015 hanya sebe­sar 3,95%. Adapun inflasi non inti sepanjang 2015 menandak mencapai 4,84%. 

Nah, ini pula yang sepanjang tahun lalu mempengaruhi ekonomi Indonesia.
Sebab, inflasi non inti di­­pe­ngaruhi inflasi kom­po­nen bergejolak, terutama oleh kejutan harga bahan pangan yang tak mampu dikendalikan pemerintah. Catatan Kementerian Per­da­gangan (Kemdag) atas harga makanan yang banyak dikonsumsi masyarakat, seperti beras, daging ayam, daging sapi, telur ayam  faktanya naik tajam. Rekor kenaikan harga per 4 Janua­ri ada di telur ayam yang naik lebih dari 28%, jauh melebihi jika dibandingkan dengan harga per 1 Desem­ber 2014. Dan harus diakui, faktor inilah yang telak memukul daya beli masya­rakat dan menjadi bandul berat bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepan­jang tahun lali. Dengan kata lain, pemerintah gagal mengendalikan harga pangan yang melesat sejak awal tahun 2015.

Indeks Harga Konsu­men (IHK) yang dicatat BPS menguatkan fakta itu yang saya sebutkan itu. Jika pada Desember 2014, IHK di angka 128,01, Desember 2015 melesat menjadi 134,20. Adapun, IHK pada periode sama atas harga yang diatur pemerintah ber­ge­rak di kisaran 139. Se­men­tara IHK dari inflasi inti cuma naik dari 111,28 menjadi 115,68.

Sehingga kenyataan yang terjadi adalah kenaikan harga sejumlah komoditas pangan yang mendorong inflasi tahun 2015 diredam oleh deflasi akibat penurunan harga bahan pangan global, sebut saja seperti  susu kedelai, dan jagung. Kondisi ini diyakini oleh para analis dan ekonom sebagai kondisi yang meno­long efek negatif inflasi selama tahun 2015. Dan mata pisau lain dari inflasi rendah tentu berupa  pelan­dai­an daya beli masyarakat. Jadi pendek kata, jangan senang dulu dengan inflasi rendah selama 2015. Justru pekerjaan rumah yang ter­ben­tuk akhirnya adalah bahwa pemerintah harus serius mengendalikan harga pangan karena ini urusan perut 250 juta lebih rakyat.

Se­turut dengan itu, BPS juga melaporkan, pada pe­rio­de Maret 2015 hingga September 2015, garis ke­mis­kinan naik 4,24% dari Rp 330.776 per kapita per bulan pada Maret 2015 menjadi Rp 344.809 per kapita pada September 2015. Sedangkan periode September 2014-Sep­tem­ber 2015 garis kemiskinan naik 10,4% dari Rp 312.328 per kapita per bulan menja­di Rp 344.809 per kapita per bulan.

Namun penurunan yang tergolong tipis tersebut tera­sa agak sedikit berlebihan jika dikatakan sebagai se­buah keberhasilan. Pening­katan tipis angka poverty line (garis batas kemis­kinan) hanya berbanding lurus dengan inflasi inti sebagai­mana yang dibahas diatas, tapi tidak bergerak seflek­sible harga-harga barang yang cendrung diluar con­trol. Sehingga  poverty line yang dipakai oleh peme­rintah terasa sangat tidak mewakili kehidupan yang sebenarnya, terkesan hanya untuk memoles agar data kemiskinan terlihat mem­baik dan  mengecil dari waktu ke waktu. Sementara itu secara riil, angka peng­hasilan atau pendapatan diatas garis kemiskinan yang ditetapkan bukan  saja terlihat sangat jauh dari kebutuhan riil yang ada, tapi juga jauh dari poverty line yang dipakai oleh Malaysia dan Philipina, dan terpaut jauh juga dengan standard poverty line yang ditetapkan ADB dan Bank Dunia.

Dan terakhir, masalah utama kemiskinan yang harus segera dipikirkan oleh pemerintah adalah soal penyempitan lapangan pe­kerjaan. Tak bisa di­pungkiri, salah satu penyebab utama penambahan jumlah rakyat miskin dibanding tahun 2014 adalah penyempitan lapangan pekerjaan akibat perlambatan ekonomi nasio­nal. Sehingga pada jang­ka menengah, obat mujarab untuk mengurangi jumlah masyarakat miskin adalah dengan memperluas lapa­ngan pekerjaan, khususnya lewat ekspansi sektor usaha padat karya.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar