Murahnya Nyawa di Indonesia
Hasbullah Thabrany ;
Guru Besar Universitas Indonesia
|
KOMPAS,
13 Januari 2016
Allya Siska Nadya meninggal diduga kasus malapraktik atau medical error. Meskipun praktik chiropractic di Indonesia bukan
praktik dokter, masyarakat memahaminya sebagai praktik dokter. Nyawa telah
melayang, Allya tidak akan kembali. Dokter Randall Cafferty diburu, mungkin
dihukum di Amerika Serikat. Apakah masyarakat aman dari korban malapraktik?
Kasus malapraktik bukanlah barang baru di dunia. Di Amerika,
organisasi hospital safety
memperkirakan terdapat 440.000 kematian di rumah sakit pada 2013 akibat
malapraktik,urutan ketiga terbesar di rumah sakit Amerika. Jurnal Health Care Finance tahun 2012 memperkirakan
200.000 kematian di Amerika akibat malapraktik dengan kerugian mencapai 1
triliun dollar AS.
Bagaimana dengan di Indonesia? Sayangnya belum pernah ada
laporan jumlah kematian akibat malapraktik. Yang jelas, standar praktik dan
upaya penjaminan keamanan pasien belum memadai di Indonesia.
Standar
praktik tidak menjamin
Undang-undang praktik kedokteran mengharuskan setiap dokter yang
praktik harus lulus uji kompetensi. Di era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA),
dokter di negara-negara ASEAN dapat berpraktik di mana saja.
Akan tetapi, setiap negara memiliki mekanisme uji kompetensi
sendiri-sendiri. Kini Indonesia belum mengizinkan praktik dokter asing. Di
sisi lain, banyak masyarakat kelas atas menilai kualitas layanan medis di
Indonesia masih buruk. Mereka berobat ke Singapura, Malaysia, Tiongkok, dan
lain-lain untuk mendapatkan layanan yang ”berkualitas”.
Masalah layanan medis terbesar di Indonesia adalah lemahnya
kontrol kualitas. Kontrol kualitas dapat dilakukan dengan penegakan hukum
atas standar kompetensi, bangunan, alat, dan prosedur serta izin praktik.
Umumnya kendali kualitas layanan medis masih terbatas pada pemenuhan standar
formal, dokumen-dokumen dan alat.
Di tahun 2015 hanya 90 rumah sakit yang memiliki akreditasi
paripurna, tidak sampai 5 persen dari lebih 2.400 rumah sakit yang
beroperasi. Dalam laman Komite Akreditasi Rumah Sakit, terlihat hanya 202
rumah sakit yang terakreditasi versi 2012. Belum semua rumah sakit
terakreditasi. Akreditasi puskesmas dan klinik bahkan belum dimulai. Apakah
rumah sakit yang terakreditasi, nasional ataupun internasional, aman dari
malapraktik? Tidak! Akreditasi dapat menurunkan risiko malapraktik, tidak
menghilangkan. Keselamatan pasien (patient safety) masih dipengaruhi banyak
faktor yang membutuhkan disiplin tinggi profesi dan disiplin pengawasan
pemerintah.
Inspeksi dan audit medis rutin yang memaksa seorang dokter
berdisiplin tinggi belum menjadi standar penjaminan keamanan pasien.
Perlindungan negara terhadap nyawa rakyat di sektor kesehatan masih jauh dari
memadai. Di sisi lain, pasien berada pada posisi sangat lemah, tidak memiliki
daya paham dan daya tawar. Tanpa pengawasan dan penegakan hukum dari
pemerintah (pusat dan daerah), seorang pasien akan sangat mudah dikelabui
oleh tenaga medis yang nakal.
Sumpah dokter tidak menjamin seorang dokter berpraktik
”mengutamakan kesehatan pasien”. Di zaman yang semakin materialistis, dokter
semakin diuntungkan. Sebab, pada umumnya pasien menilai kualitas layanan
medis dari harga dan alat-alat canggih. Pasien menilai teknologi canggih yang
tidak pernah ia mengerti dan tarif mahal adalah indikasi layanan berkualitas.
Dalam kondisi inilah, dokter dan rumah sakit asing, yang umumya memasang
tarif mahal dan memamerkan alat canggih yang sering kali tidak perlu, diuntungkan.
Banyak rumah sakit menggunakan kelemahan pasien untuk menarik pasien
berkantong tebal, perusahaan royal, atau industri asuransi yang juga tidak
mampu menilai kualitas layanan medis.
Dalam era MEA, ketika Indonesia tidak bisa lagi menolak dokter
asing berpraktik di Indonesia, maka audit medis harus selalu dilakukan.
Dokter asing dan dokter Indonesia harus menjamin keamanan pasien, rawat jalan
ataupun rawat inap. Meskipun tarif mahal tidak berbanding lurus dengan
kualitas, layanan berkualitas membutuhkan biaya yang lebih besar. Sayangnya,
biaya lebih besar untuk menyelamatkan nyawa rakyat belum mendapat perhatian
cukup. Pemerintah masih menghargai dokter dan fasilitas kesehatan dengan
harga sangat murah. Hampir tidak ada pejabat pemerintah yang mau berobat di
puskesmas atau di kelas biasa rumah sakit milik pemerintah. Itulah indikasi
sederhana dan kasatmata kualitas layanan medis Indonesia.
Lain dokter
lain pilot
Dalam urusan penyelamatan nyawa, pemerintah mempunyai standar
ganda. Profesi dokter dan pilot sama-sama erat dengan risiko kehilangan
nyawa. Di tangan dokter banyak nyawa bisa terselamatkan, tetapi dokterjuga
bisa lalai dan menyebabkan kematian rakyat. Rakyat, adalah warga negara
Indonesia, baik miskin maupun kaya. Oleh karenanya, dokter praktik harus
memiliki kompetensi tinggi, stamina prima, dan disiplin tinggi.
Dokter yang bekerja terlalu banyak dan kurang tidur dapat
menurunkan kinerjanya. Seorang dokter yang bergaji rendah di suatu rumah
sakit dapat mengurangi konsentrasinya melayani pasien karena mengejar
penghasilan di rumah sakit lain. Nyawa pasiennya tidak sepenuhnya terjamin.
Dokter juga harus mendapatkan pelatihan teknologi terkini.
Sering kali seorang dokter tidak mendapat peluang dan pendanaan untuk
penginian kompetensi. Nyawa rakyat dapat terangkat. Tampaknya nyawa rakyat
tergolong murah.
Seorang pejabat Ikatan Dokter Indonesia mengeluhkan rendahnya
penghargaan pemerintah untuk mencegah nyawa rakyat melayang. Ia membandingkan
remunerasi dirjen pajak sebesar Rp 117 juta sebulan, di luar gaji PNS, dan
remunerasi penilai pajak bumi dan bangunan muda (terendah) sebesar Rp 21,6
juta sebulan. Tetapi, seorang dokter muda hanya mendapat tunjangan fungsional
sebesar Rp 3,3 juta sebulan dan dokter utama hanya mendapat Rp 7,5 juta
sebulan.
Di era Jaminan Kesehatan Nasional, banyak dokter spesialis
senior mengeluh karena mereka hanya mendapat remunerasi sekitar Rp 20 juta
sebulan. Sementara gaji seorang pilot muda, yang baru lulus, diberitakan
berkisar Rp 15 juta-Rp 20 juta dan gaji kapten pesawat mencapai Rp 70 juta.
Selain itu, pilot masih mendapat berbagai fasilitas yang tidak didapatkan
oleh dokter.
Pilot juga bisa lalai dan sebagian kecil nyawa penumpang dapat
melayang. Penumpang tidak selalu rakyat. Untuk itu, seorang pilot juga harus memiliki
kompetensi, stamina, dan disiplin tinggi. Kini banyak pilot diperiksa agar
bebas dari narkoba ketika akan bertugas. Upaya mencegah nyawa penumpang
melayangjauh lebih serius dan pemerintah bersedia mengeluarkan biaya tinggi.
Bahkan, pemerintah menggunakan standar pesawat milik BUMN yang tarifnya lebih
mahal, ketimbang pesawat tarif murah (low cost carriers).
Nyawa penumpang dihargai tinggi. Investasi pemerintah cukup
besar untuk mencegah kematian akibat kelalaian penerbangan (flying error).
Padahal, jumlah kematian akibat kelalaian penerbangan tidak sampai 1.000
orang setiap tahun.
Di lain pihak, bisa jadi lebih dari 200.000 rakyat mati tiap
tahun akibat malapraktik. Kecil kemungkinan jumlah malapraktikdi Indonesia
lebih sedikit dibandingkan jumlah malapraktik di Amerika. Berapa investasi
negeri ini untuk menyelamatkan nyawa rakyat?
Semoga kematian Allya menjadi pembelajaran besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar