Silaturahim Politik
M Sohibul Iman ;
Presiden
Partai Keadilan Sejahtera
|
REPUBLIKA,
11 Januari 2016
Masyarakat biasa memandang istilah silaturahim (bernuansa
spiritual) bertentangan dengan politik (yang dipersepsi sarat kepentingan material).
Interaksi antarindividu atau kelompok yang bersifat tulus untuk memelihara
eksistensi kemanusiaan disebut silaturahim. Salah satu penjelasan etimologis,
shillah (bahasa Arab: menyambungkan) dan rahim (kandungan sang bunda).
Seluruh manusia, meski berbeda latar belakang suku, bangsa, atau ras,
sebenarnya berasal dari nenek-moyang yang satu: Adam dan Hawa.
Kesatuan kemanusiaan melandasi aktivitas silaturahim, termasuk
dalam konteks kebangsaan. Sebagai bangsa, Indonesia—menurut definisi Ben
Anderson—adalah komunitas yang dibayangkan (imagined community), melampaui batas-batas fisik dan material
yang dirasakan sekelompok orang yang tinggal di suatu wilayah bernama
nusantara. Silaturahim melumerkan batas suku/agama/budaya, sambil membentuk
dan memperkuat "batas baru" sebuah bangsa (Indonesia). Tentu saja
bangsa yang hendak diperkuat bukan bersifat chauvinistik, tetapi bersahabat
dengan bangsa-bangsa lain yang terus berkembang.
Sedangkan, makna politik telanjur dipahami publik sebagai
rebutan kursi kekuasaan akibat tingkah para politisi yang tidak berpegang
pada nilai moral. Padahal, jika kita merujuk pada pandangan klasik Plato,
politik harus berdasarkan fondasi keadilan. Setiap orang membatasi dirinya
dan posisinya dalam hidup sesuai kompetensi dan kapasitasnya. Dalam skala
makro (polis sebagai cikal-bakal negara), prinsip keadilan terletak pada
kesesuaian antara fungsi dan struktur pelayanan dengan kecakapan orang yang
menjabatnya.
Pandangan Plato dinilai terlalu idealis dan spekulatif, bahkan
dikritik oleh muridnya sendiri, Aristoteles. Manusia hidup dalam kenyataan
material, terlibat benturan antara berbagai kepentingan, bukan nilai-nilai
yang abstrak.
Berbeda dengan Plato yang menganggap negara sebagai manifestasi
jiwa keadilan/kebaikan, Artistoteles menafsirkan negara-kota terbentuk karena
kesepakatan warga lintas kampung. Kampung sendiri terbentuk dari kesepakatan
lintas keluarga, dan keluarga terbentuk karena individu yang saling
membutuhkan. Kemampuan individu manusia untuk mengelola kepentingannya sambil
berinteraksi dengan individu lain itu diyakini Aristoteles sebagai tabiat zoon politicon.
Sejatinya, tidak ada konotasi negatif dari pemaknaan politik
secara idealis atau realis. Praktik politik di masa kontemporer yang tidak
berdasarkan nilai tertentu justru membentuk pemahaman keliru (falcification). Kekeliruan yang
berulang-ulang (dari periode ke periode) dan bersifat masif menghasilkan
"kebenaran" baru, misalnya: praktik politik uang diterima sebagai
kewajaran dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden/kepala daerah.
Akibatnya, semua jenis interaksi politik antara individu atau kelompok diukur
dengan kemanfaatan material yang akan diperoleh. Politik menjadi transaksi
berbiaya tinggi untuk memuaskan/memaksimalkan kepentingan pribadi atau kelompok.
Sejak Indonesia merdeka, kita bisa membandingkan kualitas pemilu
pada tahun 1955 dan 1999 dengan pemilu pada masa Orde Baru dan
pascareformasi. Sebagai bangsa kita harus jujur, telah terjadi gejala
dekadensi dalam proses demokratisasi. Bukan sekadar tingkat partisipasi
masyarakat yang cenderung menurun, tetapi derajat keterwakilan para politisi
semakin rendah dan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara sebagai
buah dari proses demokrasi terus merosot.
Sebelum lebih jauh terjebak dalam demokrasi semu, sebagai bangsa
kita harus berani melakukan koreksi berjamaah, terutama para pemimpin bangsa
dan penentu kebijakan. Politik kontemporer yang kita jalani saat ini semakin
jauh dari nilai yang digariskan Plato atau Aristoteles.
Semakin jauh lagi, bila kita pakai kriteria asasi pembangunan
negara (state building) yang
dicanangkan al-Farabi sebagai Madinah al-Fadhilah (negara utama), yakni
kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan mampu memenuhi kebutuhan dasar:
sandang, pangan, papan, keamanan, dan ketertiban umum.
Apakah kita mengelola negara sebagai sarana untuk mewujudkan
cita-cita nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945? Ataukah kita
perlakukan negara sebagai wahana memuaskan syahwat pribadi/kelompok?
Pertanyaan-pertanyaan itu tidak hanya diajukan elite kelas menengah, tapi
rakyat kecil di berbagai daerah juga bertanya-tanya dengan cara dan nada
mereka sendiri: pemilu sudah berulang kali, kabinet bergonta-ganti, tapi
mengapa nasib kami sebagai rakyat jelata belum sejahtera? Apakah rakyat
selalu salah memilih? Apakah rakyat masih membutuhkan pemerintah selaku
aparatus negara? Pertanyaan itu tak boleh dibiarkan, bersipongang dalam
suasana ketidakpercayaan sistemik.
Silaturahim politik adalah proses dialog dan tukar-menukar
pandangan atau pengalaman untuk memperbaiki kondisi politik bangsa yang
disadari mengalami kemerosotan di berbagai dimensi. Silaturahim politik bukan
hanya terbatas di antara politisi lintas partai, bukan pula antarpolitisi di
dalam dan luar pemerintahan.
Silaturahim politik harus melibatkan seluruh komponen bangsa:
tokoh masyarakat (termasuk pemuka agama) di pusat dan daerah, cerdik-cendekia
lintas generasi (tua-muda) dan profesi, untuk menjawab permasalahan aktual
tingkat lokal dan nasional. Jika perlu direvisi, kita bisa menyebutnya:
silaturahim kebangsaan.
Tidak perlu dilakukan seremoni formal dan berbiaya besar untuk
melembagakan silaturahim kebangsaan. Biarkan berlangsung secara spontan
sejalan dinamika yang berkembang di masyarakat. Sebagaimana kesahajaan hubungan
antara M Natsir dengan IJ Kasimo dan DN Aidit, atau kehangatan persahabatan
Moh Roem dengan Oei Tjoe Tat. Mereka berbeda kelompok politik, tetapi
bertenggang-rasa dalam menyelesaikan problem kebangsaan.
Kita harus malu jika sekarang rakyat menyaksikan sejumlah elite
berkelahi mengenai perkara yang justru melemahkan sendi-sendi kebangsaan.
Silaturahim, sebagaimana gotong-royong, harus menjadi identitas nasional
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar