Harga Minyak 2016: How Low Can You Go?
Sunarsip ;
Ekonom
Kepala The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
|
REPUBLIKA,
11 Januari 2016
Memasuki tahun 2016 ini, para pelaku industri minyak dan gas
bumi (migas) berharap harga minyak akan rebound.
Terlebih, terdapat faktor pemicu yang biasanya dapat mendorong kenaikan harga
minyak, yaitu ketegangan politik antara Arab Saudi dengan Iran setelah
dieksekusinya ulama Syiah oleh Arab Saudi.
Namun, nyatanya harga minyak justru melemah. Akhir pekan lalu (8
Januari 2016) harga minyak Brent ditutup di level 33,40 dolar AS per barel,
WTI di level 33,25 dolar AS per barel, dan OPEC Basket lebih rendah lagi di
level 27,85 dolar AS per barel. Situasi ini kemudian menimbulkan spekulasi
terkait dengan harga minyak 2016: apakah akan terus melemah?
Hampir sebagian besar analisis menyatakan bahwa tren harga
minyak tetap rendah. Sayangnya, tidak ada yang menyebutkan pada level berapa
titik terendah (floor price) akan
terjadi. CEO BP, Bob Dudley, dalam wawancaranya dengan BBC News (2 Januari
2016) mengatakan, "Prices are
going to stay lower for longer, we have said it and I think we are in this
for a couple of years." (BBC
News, 2 Januari 2016).
Menurut Bob Dudley, harga minyak dunia akan bertahan lebih lama di
level yang rendah, setidaknya untuk dua tahun ke depan.
Belum lama ini, IMF juga ikut menghebohkan dunia perminyakan.
Penyebabnya, dalam laporannya "IMF
Executive Board Concludes 2015 Article IV Consultation with Ira"
yang dikeluarkan pada 21 Desember 2015, IMF "menyelipkan" juga
proyeksi harga minyak, yang sebenarnya tak biasanya IMF lakukan.
Dalam laporan itu, IMF menyebutkan harga minyak dapat menyentuh
di level 5-15 dolar AS per barel. IMF tidak menyebutkan bahwa perkiraan
tersebut berlaku untuk 2016. Namun, media massa terlanjur menafsirkan
proyeksi harga itu berlaku untuk 2016. Padahal, dalam proyeksinya terhadap
ekonomi Iran, IMF menggunakan asumsi harga minyak 50,7 dolar AS per barel
(2015/2016).
Faktor
pembentuk harga minyak
Tidak keliru bila sejumlah analisis yang membuat proyeksi harga
minyak 2016 yang cenderung tetap di level rendah. Setidaknya hingga saat ini,
faktor yang berpotensi memperlemah harga minyak memang lebih banyak. Saya
mengidentifikasi, setidaknya ada lima faktor yang akan memengaruhi harga
minyak di 2016. Dari kelima faktor tersebut, empat di antaranya merupakan
faktor yang berpotensi memperlemah harga minyak.
Pertama, ketidakpastian produksi minyak OPEC. OPEC menguasai
sekitar 39 persen pasar/ minyak dunia. Pada pertemuan 4 Desember 2015 lalu,
OPEC tidak mencapai kesepakatan terkait dengan pemotongan produksi dan output
ceiling.
Sementara itu, sejak November 2014, Arab Saudi telah membuat
pernyataan tidak akan memangkas produksi minyaknya, kecuali bila Iran, Irak,
dan Rusia juga bersedia memangkas produksinya. Kondisi ini kemudian
menimbulkan kekhawatiran oversupply
minyak akan berlanjut, sehingga berpotensi menekan harga minyak.
Kedua, kenaikan produksi minyak Iran setelah dicabutnya sanksi
ekonomi. Sanksi ekonomi untuk Iran diperkirakan akan berakhir pada Q1-2016.
Seiring dengan pencabutan sanksi ekonomi, Iran akan memanfaatkannya untuk
menaikkan produksi minyaknya ke level normal, di atas 3 juta bph.
Faktor berakhirnya sanksi Iran inilah yang membuat IMF
"terpeleset" menyebutkan proyeksi harga minyak sebesar 5-15 dolar
AS per barel. Namun, outlook produksi minyak Iran ini juga diyakini belum
transparan. Menteri Perminyakan Iran mengklaim produksi minyak Iran dapat
meningkat lebih cepat dari perkiraan.
Ketiga, pada 15 Desember 2015, Kongres AS telah sepakat untuk
mengakhiri kebijakan larangan (banned) ekspor minyak AS yang telah
berlangsung selama 40 tahun. Presiden Obama juga telah memberi sinyal
persetujuan atas usulan Kongres AS tersebut. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi kerugian yang dialami oleh
perusahaan migas AS akibat jatuhnya harga minyak.
Akibat larangan ekspor, produsen minyak AS tidak memiliki pasar
alternatif untuk menjual minyaknya dengan harga yang lebih baik. Bila
realisasi ekspor minyak ke luar AS ini terjadi, maka persaingan pasokan
minyak di luar pasar AS akan semakin ketat.
Keempat, Arab Saudi diyakini akan ngotot untuk mempertahankan
market share minyak Asia Pasifik. Posisi Arab Saudi mulai terkikis akibat
penetrasi pasar oleh Irak, Rusia, Uni Emirat Arab, dan Venezuela yang
agresif. Pada 2014, pangsa pasar Arab Saudi di Asia Pasifik tinggal sekitar
23 persen, turun dibandingkan posisi pada 2006 sekitar 26 persen. Hal inilah
yang menyebabkan Arab Saudi tidak bersedia memangkas produksi minyaknya bila
negara-negara produsen minyak lainnya tidak melakukan hal yang sama.
Kelima, ketegangan baru antara Arab Saudi dengan Iran. Konflik
baru Arab Saudi dan Iran ini sebenarnya memiliki dua dampak yang bertolak
belakang. Pertama, harga minyak akan naik, bila ketegangan ini berlanjut ke
konflik perang. Sebab, perang menyebabkan pasokan minyak terganggu.
Kedua, harga minyak akan semakin rendah bila konflik tersebut
justru menjauhkan Arab Saudi dan Iran untuk mencapai kesepakatan soal pemangkasan
dan batas atas produksi minyak OPEC. Sejauh ini, sepertinya hal kedua inilah
yang terjadi, sebagaimana terlihat dari harga minyak yang kini justru turun
ke 33 dolar AS per barel.
Terkait dengan potensi harga minyak bertahan di level rendah,
lalu seperti apa dampaknya bagi Indonesia? Sebagai negara pengimpor migas
secara neto, Indonesia semestinya diuntungkan dengan kondisi turunnya harga
migas ini. Alasannya, rendahnya harga minyak membuat harga energi menjadi
lebih rendah. Selain itu, tekanan defisit neraca perdagangan migas juga
berkurang. Dan terbukti, berdasarkan data BPS, seiring dengan jatuhnya harga
minyak, defisit neraca perdagangan migas kita trennya juga menurun.
Namun, harus dipahami bahwa kondisi ini belum tentu baik bagi
perekonomian secara keseluruhan. Sebagai contoh, bila harga minyak terus
melemah, jelas tidak menguntungkan (unfavourable)
bagi APBN 2016.
Postur APBN 2016 disusun dengan menggunakan asumsi harga minyak
Indonesia (ICP) sebesar 50 dolar AS per barel dan lifting sebesar 830 ribu
bph. Dalam analisis sensitivitasnya, APBN 2016 akan diuntungkan bila
realisasi ICP lebih tinggi dibandingkan asumsi yang ditetapkan pada APBN
2016. Sebaliknya, APBN akan dirugikan bila realisasi ICP lebih rendah
dibandingkan asumsi yang ditetapkan.
Perlu dicatat pula bahwa harga minyak memiliki keterkaitan yang
erat dengan harga komoditas lainnya. Penurunan harga minyak ternyata juga
diikuti oleh penurunan harga komoditas lainnya. Penurunan harga komoditas ini
tentunya memukul ekspor non migas Indonesia, karena sebagian besar ekspor
nonmigas kita masih berbentuk ekspor komoditas. Implikasinya, sektor lainnya
yang terkait dengan komoditas juga akan terkena dampaknya.
Oleh karena itu, tetap penting bagi pemerintah untuk menyiapkan
langkah antisipasi bila kemungkinan penurunan harga minyak ini masih
berlanjut. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan penurunan harga energi
untuk memacu produktivitas sektor industri lebih besar lagi.
Agar produktivitas sektor industri bisa dipacu, faktor-faktor yang
menjadi disinsentif bagi industri harus dikurangi. Menurunnya harga energi
juga semestinya dimanfaatkan untuk mendorong konsumsi rumah tangga. Kemudian,
agar konsumsi rumah tangga dapat lebih didorong, pengenaan jenis-jenis pajak
baru bagi konsumen semestinya dihindarkan terlebih dahulu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar