Kamis, 14 Januari 2016

Harga Minyak 2016: How Low Can You Go?

Harga Minyak 2016: How Low Can You Go?

Sunarsip  ;    Ekonom Kepala The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
                                                    REPUBLIKA, 11 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Memasuki tahun 2016 ini, para pelaku industri minyak dan gas bumi (migas) berharap harga minyak akan rebound. Terlebih, terdapat faktor pemicu yang biasanya dapat mendorong kenaikan harga minyak, yaitu ketegangan politik antara Arab Saudi dengan Iran setelah dieksekusinya ulama Syiah oleh Arab Saudi.

Namun, nyatanya harga minyak justru melemah. Akhir pekan lalu (8 Januari 2016) harga minyak Brent ditutup di level 33,40 dolar AS per barel, WTI di level 33,25 dolar AS per barel, dan OPEC Basket lebih rendah lagi di level 27,85 dolar AS per barel. Situasi ini kemudian menimbulkan spekulasi terkait dengan harga minyak 2016: apakah akan terus melemah?

Hampir sebagian besar analisis menyatakan bahwa tren harga minyak tetap rendah. Sayangnya, tidak ada yang menyebutkan pada level berapa titik terendah (floor price) akan terjadi. CEO BP, Bob Dudley, dalam wawancaranya dengan BBC News (2 Januari 2016) mengatakan, "Prices are going to stay lower for longer, we have said it and I think we are in this for a couple of years." (BBC News, 2 Januari 2016).

Menurut Bob Dudley, harga minyak dunia akan bertahan lebih lama di level yang rendah, setidaknya untuk dua tahun ke depan.

Belum lama ini, IMF juga ikut menghebohkan dunia perminyakan. Penyebabnya, dalam laporannya "IMF Executive Board Concludes 2015 Article IV Consultation with Ira" yang dikeluarkan pada 21 Desember 2015, IMF "menyelipkan" juga proyeksi harga minyak, yang sebenarnya tak biasanya IMF lakukan.

Dalam laporan itu, IMF menyebutkan harga minyak dapat menyentuh di level 5-15 dolar AS per barel. IMF tidak menyebutkan bahwa perkiraan tersebut berlaku untuk 2016. Namun, media massa terlanjur menafsirkan proyeksi harga itu berlaku untuk 2016. Padahal, dalam proyeksinya terhadap ekonomi Iran, IMF menggunakan asumsi harga minyak 50,7 dolar AS per barel (2015/2016).

Faktor pembentuk harga minyak

Tidak keliru bila sejumlah analisis yang membuat proyeksi harga minyak 2016 yang cenderung tetap di level rendah. Setidaknya hingga saat ini, faktor yang berpotensi memperlemah harga minyak memang lebih banyak. Saya mengidentifikasi, setidaknya ada lima faktor yang akan memengaruhi harga minyak di 2016. Dari kelima faktor tersebut, empat di antaranya merupakan faktor yang berpotensi memperlemah harga minyak.

Pertama, ketidakpastian produksi minyak OPEC. OPEC menguasai sekitar 39 persen pasar/ minyak dunia. Pada pertemuan 4 Desember 2015 lalu, OPEC tidak mencapai kesepakatan terkait dengan pemotongan produksi dan output ceiling.

Sementara itu, sejak November 2014, Arab Saudi telah membuat pernyataan tidak akan memangkas produksi minyaknya, kecuali bila Iran, Irak, dan Rusia juga bersedia memangkas produksinya. Kondisi ini kemudian menimbulkan kekhawatiran oversupply minyak akan berlanjut, sehingga berpotensi menekan harga minyak.

Kedua, kenaikan produksi minyak Iran setelah dicabutnya sanksi ekonomi. Sanksi ekonomi untuk Iran diperkirakan akan berakhir pada Q1-2016. Seiring dengan pencabutan sanksi ekonomi, Iran akan memanfaatkannya untuk menaikkan produksi minyaknya ke level normal, di atas 3 juta bph.

Faktor berakhirnya sanksi Iran inilah yang membuat IMF "terpeleset" menyebutkan proyeksi harga minyak sebesar 5-15 dolar AS per barel. Namun, outlook produksi minyak Iran ini juga diyakini belum transparan. Menteri Perminyakan Iran mengklaim produksi minyak Iran dapat meningkat lebih cepat dari perkiraan.

Ketiga, pada 15 Desember 2015, Kongres AS telah sepakat untuk mengakhiri kebijakan larangan (banned) ekspor minyak AS yang telah berlangsung selama 40 tahun. Presiden Obama juga telah memberi sinyal persetujuan atas usulan Kongres AS tersebut. Kebijakan ini diambil  untuk mengurangi kerugian yang dialami oleh perusahaan migas AS akibat jatuhnya harga minyak.

Akibat larangan ekspor, produsen minyak AS tidak memiliki pasar alternatif untuk menjual minyaknya dengan harga yang lebih baik. Bila realisasi ekspor minyak ke luar AS ini terjadi, maka persaingan pasokan minyak di luar pasar AS akan semakin ketat.

Keempat, Arab Saudi diyakini akan ngotot untuk mempertahankan market share minyak Asia Pasifik. Posisi Arab Saudi mulai terkikis akibat penetrasi pasar oleh Irak, Rusia, Uni Emirat Arab, dan Venezuela yang agresif. Pada 2014, pangsa pasar Arab Saudi di Asia Pasifik tinggal sekitar 23 persen, turun dibandingkan posisi pada 2006 sekitar 26 persen. Hal inilah yang menyebabkan Arab Saudi tidak bersedia memangkas produksi minyaknya bila negara-negara produsen minyak lainnya tidak melakukan hal yang sama.

Kelima, ketegangan baru antara Arab Saudi dengan Iran. Konflik baru Arab Saudi dan Iran ini sebenarnya memiliki dua dampak yang bertolak belakang. Pertama, harga minyak akan naik, bila ketegangan ini berlanjut ke konflik perang. Sebab, perang menyebabkan pasokan minyak terganggu.

Kedua, harga minyak akan semakin rendah bila konflik tersebut justru menjauhkan Arab Saudi dan Iran untuk mencapai kesepakatan soal pemangkasan dan batas atas produksi minyak OPEC. Sejauh ini, sepertinya hal kedua inilah yang terjadi, sebagaimana terlihat dari harga minyak yang kini justru turun ke 33 dolar AS per barel.

Terkait dengan potensi harga minyak bertahan di level rendah, lalu seperti apa dampaknya bagi Indonesia? Sebagai negara pengimpor migas secara neto, Indonesia semestinya diuntungkan dengan kondisi turunnya harga migas ini. Alasannya, rendahnya harga minyak membuat harga energi menjadi lebih rendah. Selain itu, tekanan defisit neraca perdagangan migas juga berkurang. Dan terbukti, berdasarkan data BPS, seiring dengan jatuhnya harga minyak, defisit neraca perdagangan migas kita trennya juga menurun.

Namun, harus dipahami bahwa kondisi ini belum tentu baik bagi perekonomian secara keseluruhan. Sebagai contoh, bila harga minyak terus melemah, jelas tidak menguntungkan (unfavourable) bagi APBN 2016.

Postur APBN 2016 disusun dengan menggunakan asumsi harga minyak Indonesia (ICP) sebesar 50 dolar AS per barel dan lifting sebesar 830 ribu bph. Dalam analisis sensitivitasnya, APBN 2016 akan diuntungkan bila realisasi ICP lebih tinggi dibandingkan asumsi yang ditetapkan pada APBN 2016. Sebaliknya, APBN akan dirugikan bila realisasi ICP lebih rendah dibandingkan asumsi yang ditetapkan.

Perlu dicatat pula bahwa harga minyak memiliki keterkaitan yang erat dengan harga komoditas lainnya. Penurunan harga minyak ternyata juga diikuti oleh penurunan harga komoditas lainnya. Penurunan harga komoditas ini tentunya memukul ekspor non migas Indonesia, karena sebagian besar ekspor nonmigas kita masih berbentuk ekspor komoditas. Implikasinya, sektor lainnya yang terkait dengan komoditas juga akan terkena dampaknya.

Oleh karena itu, tetap penting bagi pemerintah untuk menyiapkan langkah antisipasi bila kemungkinan penurunan harga minyak ini masih berlanjut. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan penurunan harga energi untuk memacu produktivitas sektor industri lebih besar lagi.

Agar produktivitas sektor industri bisa dipacu, faktor-faktor yang menjadi disinsentif bagi industri harus dikurangi. Menurunnya harga energi juga semestinya dimanfaatkan untuk mendorong konsumsi rumah tangga. Kemudian, agar konsumsi rumah tangga dapat lebih didorong, pengenaan jenis-jenis pajak baru bagi konsumen semestinya dihindarkan terlebih dahulu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar