RUU
Pemilu Berdasar Vonis MK
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 02 Januari 2016
Pembahasan Rancangan
Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) Tahun 2019, baik pemilu
legislatif (pileg) maupun pemilu presiden/ wapres (pilpres), sangatlah
penting untuk dimulai pada 2016 ini. Ada sekurang-kurangnya dua alasan untuk
melakukan itu.
Pertama, berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 22-24/PUU-VI/2008, pileg kita sejak 2009
menggunakan sistem proporsional dengan penetapan caleg terpilih berdasarkan
urutan suara terbanyak. Persoalannya, apakah sistem pileg kita perlu kembali
ke sistem proporsional dengan penetapan caleg terpilih berdasar nomor urut
ataukah berdasar urutan suara terbanyak? Apakah betul MK mewajibkan
penggunaan sistem proporsional berdasar urutan suara terbanyak?
Kedua, berdasarkan
Putusan MK No 14/PUU-XI/2013, Pileg dan Pilpres 2019 harus dilaksanakan
secara serentak pada hari yang sama. Persoalannya, bagaimana mekanisme
pencalonan dan persyaratan pengajuan pasangan capres/cawapres?
Persoalan sistem pileg
memang perlu dievaluasi kembali karena cara penetapan caleg terpilih dengan
urutan suara tersebut pada Pemilu 2009 dan 2014 ternyata menimbulkan banyak
masalah serius. Di lapangan banyak terjadi kecurangan-kecurangan. Suara-suara
calon yang tak terpilih banyak ditawarkan dan dijual melalui petugas di
tingkat bawah.
Banyak juga terjadi
saling bantai antarcalon dalam satu partai yang sama, bahkan kaderkader
ideologis parpol yang sudah lama mengabdi kepada parpol dengan serius harus
terlempar karena kalah dengan figur- figur tamu yang lebih populer dan banyak
uang. Melihat pengalaman buruk itu, banyak yang kemudian mempersoalkan sistem
penentuan caleg terpilih dengan urutan suara terbanyak.
Apakah jika kembali ke
sistem nomor urut bertentangan dengan putusan MK? Banyak yang salah memahami
vonis MK, mengira bahwa MK mewajibkan penggunaan sistem urutan suara
terbanyak. Itu jelas salah. MK tidak pernah mewajibkan pemberlakuan sistem
urutan suara terbanyak karena dua hal. Pertama, kalau soal sistem pemilu,
apakah akan menggunakan sistem distrik atau sistem proporsional, sistem
proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup, semua itu adalah
konstitusional.
Di seluruh dunia,
sistem apa pun yang ditetapkan UU dari pilihan sistem yang tersedia adalah
konstitusional. Kedua, yang memberlakukan sistem dengan urutan suara
terbanyak adalah DPR dan pemerintah sendiri melalui UU No 10 Tahun 2008 yang
kemudian diuji ke MK. Melalui putusan No 22-24/PUUVI/ 2008, MK hanya mencoret
ambang batas 30% dari bilangan pemilih pembagi (BPP) sebagai ambang
dimulainya penetapan dengan urutan suara terbanyak.
Tepatnya, Pasal 214
Butir c.d.e UU No 10 Tahun 2008 menetapkan bahwa caleg terpilih ditetapkan berdasar
urutan suara terbanyak di antara para caleg yang mendapat dukungan suara
minimal 30% dari BPP. MK hanya mencoret (membatalkan) ketentuan atau syarat
”di antara para caleg yang mendapat dukungan suara minimal 30% dari BPP”
karena hal itu tidak adil terhadap para caleg maupun terhadap para pemilih.
Kalau misalnya di
suatu daerah pemilihan (dapil) Supardjo yang terdaftar di nomor urut 1
mendapat dukungan 2.500 suara, sedangkan Sulastri mendapat dukungan 8.900
suara dan BPP di dapil tersebut 30.000, maka dengan ambang BPP 30% caleg
terpilih adalah Supardjo. Sebab meskipun Sulastri mendapat suara terbanyak,
raihannya tidak mencapai 30% dari BPP, yakni sebesar 9.000 suara. Itu tidak
adil bagi caleg maupun bagi pemilih.
MK bukan mewajibkan
berlakunya sistem urutan suara terbanyak, melainkan mencoret syarat ambang
pemberlakuannya, yakni 30% dari BPP. Jadi jika sistem itu akan diubah lagi
menjadi sistem proporsional tertutup atau berdasarkan nomor urut, itu pun
konstitusional. Sistem apa pun, sistem nomor urut atau sistem urutan suara
terbanyak, bahkan sistem distrik sekalipun adalah samasama konstitusional
sepanjang ditentukan lembaga legislatif.
Adapun mengenai
pencalonan pasangan presiden/wapres yang harus dipilih secara serentak
bersama dengan calon-calon anggota legislatif, hal itu juga harus segera
dibahas mekanisme dan syarat-syaratnya. MK sendiri dalam putusannya tidak
menegaskan bahwa semua parpol peserta pemilu langsung mengajukan pasangan
capres/ cawapres, melainkan hanya menyebut pileg dan pilpres dilaksanakan
secara serentak.
Syarat-syarat parpol
yang boleh mengajukan pasangan capres/ cawapres itu masih menimbulkan beragam
tafsir. Banyak yang mengatakan, semua parpol yang memenuhi syarat untuk ikut
pemilu langsung memenuhi syarat pula untuk mengajukan pasangan capres/
cawapres. Tapi ada pula pendapat, pasangan capres/cawapres hanya bisa
diajukan oleh parpol yang sudah pernah ikut pemilu dan mempunyai kursi di DPR
berdasar hasil Pemilu 2014.
Yang lain mengatakan
bahwa pasangan capres/cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang
mempunyai kursi di DPR hasil Pemilu 2014 dengan threshold 20%. Ada juga yang
mengusulkan, parpol yang boleh mengajukan pasangan capres/ cawapres adalah
parpol yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 2019, tetapi sudah berbadan
hukum sebagai parpol sekurangkurangnya 5 tahun.
Jadi sangat penting
RUU Pemilu 2019 sudah diselesaikan pada 2016. Pentingnya agar kalau ada yang
akan menguji konstitusionalitasnya ke MK, minimal untuk masalah-masalah yang
penting sudah bisa dilakukan sejak 2017 dan diputus sebelum pendaftaran caleg
dan pasangan capres/cawapres pada sekitar November 2018. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar