Minggu, 03 Januari 2016

RUU Pemilu Berdasar Vonis MK

RUU Pemilu Berdasar Vonis MK

  Moh Mahfud MD  ;  Guru Besar Hukum Konstitusi
                                                  KORAN SINDO, 02 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) Tahun 2019, baik pemilu legislatif (pileg) maupun pemilu presiden/ wapres (pilpres), sangatlah penting untuk dimulai pada 2016 ini. Ada sekurang-kurangnya dua alasan untuk melakukan itu.

Pertama, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 22-24/PUU-VI/2008, pileg kita sejak 2009 menggunakan sistem proporsional dengan penetapan caleg terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak. Persoalannya, apakah sistem pileg kita perlu kembali ke sistem proporsional dengan penetapan caleg terpilih berdasar nomor urut ataukah berdasar urutan suara terbanyak? Apakah betul MK mewajibkan penggunaan sistem proporsional berdasar urutan suara terbanyak?

Kedua, berdasarkan Putusan MK No 14/PUU-XI/2013, Pileg dan Pilpres 2019 harus dilaksanakan secara serentak pada hari yang sama. Persoalannya, bagaimana mekanisme pencalonan dan persyaratan pengajuan pasangan capres/cawapres?

Persoalan sistem pileg memang perlu dievaluasi kembali karena cara penetapan caleg terpilih dengan urutan suara tersebut pada Pemilu 2009 dan 2014 ternyata menimbulkan banyak masalah serius. Di lapangan banyak terjadi kecurangan-kecurangan. Suara-suara calon yang tak terpilih banyak ditawarkan dan dijual melalui petugas di tingkat bawah.

Banyak juga terjadi saling bantai antarcalon dalam satu partai yang sama, bahkan kaderkader ideologis parpol yang sudah lama mengabdi kepada parpol dengan serius harus terlempar karena kalah dengan figur- figur tamu yang lebih populer dan banyak uang. Melihat pengalaman buruk itu, banyak yang kemudian mempersoalkan sistem penentuan caleg terpilih dengan urutan suara terbanyak.

Apakah jika kembali ke sistem nomor urut bertentangan dengan putusan MK? Banyak yang salah memahami vonis MK, mengira bahwa MK mewajibkan penggunaan sistem urutan suara terbanyak. Itu jelas salah. MK tidak pernah mewajibkan pemberlakuan sistem urutan suara terbanyak karena dua hal. Pertama, kalau soal sistem pemilu, apakah akan menggunakan sistem distrik atau sistem proporsional, sistem proporsional terbuka atau sistem proporsional tertutup, semua itu adalah konstitusional.

Di seluruh dunia, sistem apa pun yang ditetapkan UU dari pilihan sistem yang tersedia adalah konstitusional. Kedua, yang memberlakukan sistem dengan urutan suara terbanyak adalah DPR dan pemerintah sendiri melalui UU No 10 Tahun 2008 yang kemudian diuji ke MK. Melalui putusan No 22-24/PUUVI/ 2008, MK hanya mencoret ambang batas 30% dari bilangan pemilih pembagi (BPP) sebagai ambang dimulainya penetapan dengan urutan suara terbanyak.

Tepatnya, Pasal 214 Butir c.d.e UU No 10 Tahun 2008 menetapkan bahwa caleg terpilih ditetapkan berdasar urutan suara terbanyak di antara para caleg yang mendapat dukungan suara minimal 30% dari BPP. MK hanya mencoret (membatalkan) ketentuan atau syarat ”di antara para caleg yang mendapat dukungan suara minimal 30% dari BPP” karena hal itu tidak adil terhadap para caleg maupun terhadap para pemilih.

Kalau misalnya di suatu daerah pemilihan (dapil) Supardjo yang terdaftar di nomor urut 1 mendapat dukungan 2.500 suara, sedangkan Sulastri mendapat dukungan 8.900 suara dan BPP di dapil tersebut 30.000, maka dengan ambang BPP 30% caleg terpilih adalah Supardjo. Sebab meskipun Sulastri mendapat suara terbanyak, raihannya tidak mencapai 30% dari BPP, yakni sebesar 9.000 suara. Itu tidak adil bagi caleg maupun bagi pemilih.

MK bukan mewajibkan berlakunya sistem urutan suara terbanyak, melainkan mencoret syarat ambang pemberlakuannya, yakni 30% dari BPP. Jadi jika sistem itu akan diubah lagi menjadi sistem proporsional tertutup atau berdasarkan nomor urut, itu pun konstitusional. Sistem apa pun, sistem nomor urut atau sistem urutan suara terbanyak, bahkan sistem distrik sekalipun adalah samasama konstitusional sepanjang ditentukan lembaga legislatif.

Adapun mengenai pencalonan pasangan presiden/wapres yang harus dipilih secara serentak bersama dengan calon-calon anggota legislatif, hal itu juga harus segera dibahas mekanisme dan syarat-syaratnya. MK sendiri dalam putusannya tidak menegaskan bahwa semua parpol peserta pemilu langsung mengajukan pasangan capres/ cawapres, melainkan hanya menyebut pileg dan pilpres dilaksanakan secara serentak.

Syarat-syarat parpol yang boleh mengajukan pasangan capres/ cawapres itu masih menimbulkan beragam tafsir. Banyak yang mengatakan, semua parpol yang memenuhi syarat untuk ikut pemilu langsung memenuhi syarat pula untuk mengajukan pasangan capres/ cawapres. Tapi ada pula pendapat, pasangan capres/cawapres hanya bisa diajukan oleh parpol yang sudah pernah ikut pemilu dan mempunyai kursi di DPR berdasar hasil Pemilu 2014.

Yang lain mengatakan bahwa pasangan capres/cawapres diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang mempunyai kursi di DPR hasil Pemilu 2014 dengan threshold 20%. Ada juga yang mengusulkan, parpol yang boleh mengajukan pasangan capres/ cawapres adalah parpol yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 2019, tetapi sudah berbadan hukum sebagai parpol sekurangkurangnya 5 tahun.

Jadi sangat penting RUU Pemilu 2019 sudah diselesaikan pada 2016. Pentingnya agar kalau ada yang akan menguji konstitusionalitasnya ke MK, minimal untuk masalah-masalah yang penting sudah bisa dilakukan sejak 2017 dan diputus sebelum pendaftaran caleg dan pasangan capres/cawapres pada sekitar November 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar