Minggu, 03 Januari 2016

Tantangan Otonomi Desa

Tantangan Otonomi Desa

  Purbayu Budi Santosa  ;  Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Diponegoro
                                              SUARA MERDEKA, 02 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

PENERBITAN UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa disertai dengan peraturan lainnya menjadikan otonomi desa terealisasi. Otonomi desa yang banyak ditunggu oleh berbagai pihak, apalagi oleh perangkat desa, diharapkan mendukung kemandirian desa. Desa dapat mengurus kepentingannya yang pada ujungnya menjamin kesejahteraan masyarakat.

Tetapi, kemunculan peraturan tersebut ditengarai tidak terlepas dari kepentingan politik. Harian Suara Merdeka (27 Oktober 2015) memuat berita pendamping pembangunan desa, khususnya dalam mengawal anggaran desa, harus bersedia menyetor sekian persen ke partai tertentu dan menjadi kader partai tersebut.

Hal lain, ada kader partai tertentu terus berkampanye tentang pentingnya UU tersebut dan jasanya bisa merealisasikan peraturan itu. Tujuannya agar selalu diingat oleh penduduk desa, sehingga kalau mau maju jadi anggota legislatif ataupun jabatan penting lain mendapat dukungan masyarakat.

Jabatan kepala desa bisa sampai tiga periode secara terus-menerus, ataupun ada jedanya, selama satu masa jabatan enam tahun. Kenyataan ini juga menggambarkan keganjilan, karena jabatan bupati/wali kota dan gubernur justru hanya dua periode dengan masa jabatan lima tahun.

Entah disengaja atau khilaf, peraturan ini sungguh naif, karena pertanggungjawaban dana desa ditujukan kepada bupati/wali kota paling lambat setelah satu bulan setelah akhir tahun anggaran. Artinya, bupati/wali kota ikut memantau pelaksanaan penggunaan dana desa, dan sekiranya masa jabatan tidak sama, maka bisa saling lempar tanggung jawab dan memunculkan biaya transaksi yang tidak diharapkan.

Keanehan lainnya, syarat tingkat pendidikan seorang kepala desa hanya SMP atau yang sederajat, akan tetapi pada peraturan lainnya syarat pendidikan untuk perangkat desa justru SMA atau yang sederajat. Meski pendidikan bukan satusatunya syarat keberhasilan pekerjaan seseorang, sudah menjadi peraturan tidak tertulis bahwa atasan selayaknya mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi.

Persaingan

Kenyataan paling spektakuler dari UU baru tersebut adalah dana miliaran rupiah dapat masuk ke desa. Sumber dana berasal dari paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan yang diterima kabupaten/kota dalam APBD dikurangi DAK. Besarnya dana yang direalisasikan didasarkan pada letak geografis, jumlah penduduk, dan tingkat kemiskinan.

Untuk dapat mencairkan dana desa, masing-masing desa harus sudah mempunyai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes).

Kontraprestasi kepala desa dan perangkat desa yang selama ini dapat dipenuhi dari tanah bengkok, dengan peraturan baru memungkinkan dapat dana dari pelaksanaan dana bantuan desa. Dengan rentang jabatan kepala desa yang panjang dan adanya dana tambahan ataupun jaminan kesehatan, maka persaingan untuk menjadi kepala desa akan sengit, termasuk dalam hal kompetisi pendanaan.

UU Desa menguatkan peran dan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Fungsi BPD adalah membahas dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, dan mengawasi kinerja kepala desa.

Dengan demikian, peran BPD sangatlah vital, karena sebagai perwakilan masyarakat desa harus dapat memutuskan apa yang diinginkan masyarakat desa, juga harus dapat mengingatkan kepala desa kalau melakukan kesalahan dalam menjalankan roda pemerintahan desa. Bagi kepala desa dengan motif pengabdian pada masyarakat, UU Desa memberikan peluang emas untuk menunjukkan kinerjanya, karena dimungkinkan membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Sesuai dengan teori wilayah tentang pusat pertumbuhan (growth pole theory), maka usaha produktif dapat direalisasikan sesuai dengan potensi yang dipunyai. Ditambah dengan teori sentral (central place theory), maka penyediaan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi akan dapat menyerap tenaga kerja lebih dan pendapatan masyarakat yang meningkat.

Melihat tugas kepala desa beserta jajarannya ke depan yang harus memahami seluk beluk perencanaan, dan yang terpenting pembukuan (akuntansi), maka tugas para pendamping pembangunan desa sangat penting supaya tujuan mulia UU Desa dapat direalisasikan.

Dugaan adanya pendamping desa harus dari partai tertentu dan menyetor sekian persen dari penghasilannya, membuat tujuan yang mulia itu bisa melenceng. Aturan main harus ditaati oleh berbagai pihak yang terkait. Keganjilan peraturan yang muncul harus dihilangkan dan motif mencari rente (rent seeking) mesti ditekan. Harapannya, kesejahteraan masyarakat desa meningkat, bukan malah sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar