Tantangan
Otonomi Desa
Purbayu Budi Santosa ; Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis
Universitas Diponegoro
|
SUARA
MERDEKA, 02 Januari 2016
PENERBITAN UU No 6
Tahun 2014 tentang Desa disertai dengan peraturan lainnya menjadikan otonomi
desa terealisasi. Otonomi desa yang banyak ditunggu oleh berbagai pihak,
apalagi oleh perangkat desa, diharapkan mendukung kemandirian desa. Desa
dapat mengurus kepentingannya yang pada ujungnya menjamin kesejahteraan
masyarakat.
Tetapi, kemunculan
peraturan tersebut ditengarai tidak terlepas dari kepentingan politik. Harian
Suara Merdeka (27 Oktober 2015) memuat berita pendamping pembangunan desa,
khususnya dalam mengawal anggaran desa, harus bersedia menyetor sekian persen
ke partai tertentu dan menjadi kader partai tersebut.
Hal lain, ada kader
partai tertentu terus berkampanye tentang pentingnya UU tersebut dan jasanya
bisa merealisasikan peraturan itu. Tujuannya agar selalu diingat oleh
penduduk desa, sehingga kalau mau maju jadi anggota legislatif ataupun
jabatan penting lain mendapat dukungan masyarakat.
Jabatan kepala desa
bisa sampai tiga periode secara terus-menerus, ataupun ada jedanya, selama
satu masa jabatan enam tahun. Kenyataan ini juga menggambarkan keganjilan,
karena jabatan bupati/wali kota dan gubernur justru hanya dua periode dengan
masa jabatan lima tahun.
Entah disengaja atau
khilaf, peraturan ini sungguh naif, karena pertanggungjawaban dana desa
ditujukan kepada bupati/wali kota paling lambat setelah satu bulan setelah
akhir tahun anggaran. Artinya, bupati/wali kota ikut memantau pelaksanaan
penggunaan dana desa, dan sekiranya masa jabatan tidak sama, maka bisa saling
lempar tanggung jawab dan memunculkan biaya transaksi yang tidak diharapkan.
Keanehan lainnya,
syarat tingkat pendidikan seorang kepala desa hanya SMP atau yang sederajat,
akan tetapi pada peraturan lainnya syarat pendidikan untuk perangkat desa
justru SMA atau yang sederajat. Meski pendidikan bukan satusatunya syarat
keberhasilan pekerjaan seseorang, sudah menjadi peraturan tidak tertulis
bahwa atasan selayaknya mempunyai tingkat pendidikan yang lebih tinggi.
Persaingan
Kenyataan paling
spektakuler dari UU baru tersebut adalah dana miliaran rupiah dapat masuk ke
desa. Sumber dana berasal dari paling sedikit 10 persen dari dana perimbangan
yang diterima kabupaten/kota dalam APBD dikurangi DAK. Besarnya dana yang
direalisasikan didasarkan pada letak geografis, jumlah penduduk, dan tingkat
kemiskinan.
Untuk dapat mencairkan
dana desa, masing-masing desa harus sudah mempunyai Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes), dan Rencana Kegiatan Pembangunan Desa (RKPDes).
Kontraprestasi kepala
desa dan perangkat desa yang selama ini dapat dipenuhi dari tanah bengkok,
dengan peraturan baru memungkinkan dapat dana dari pelaksanaan dana bantuan
desa. Dengan rentang jabatan kepala desa yang panjang dan adanya dana
tambahan ataupun jaminan kesehatan, maka persaingan untuk menjadi kepala desa
akan sengit, termasuk dalam hal kompetisi pendanaan.
UU Desa menguatkan
peran dan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Fungsi BPD adalah membahas
dan menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan
menyalurkan aspirasi masyarakat desa, dan mengawasi kinerja kepala desa.
Dengan demikian, peran
BPD sangatlah vital, karena sebagai perwakilan masyarakat desa harus dapat
memutuskan apa yang diinginkan masyarakat desa, juga harus dapat mengingatkan
kepala desa kalau melakukan kesalahan dalam menjalankan roda pemerintahan
desa. Bagi kepala desa dengan motif pengabdian pada masyarakat, UU Desa
memberikan peluang emas untuk menunjukkan kinerjanya, karena dimungkinkan
membentuk Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Sesuai dengan teori
wilayah tentang pusat pertumbuhan (growth
pole theory), maka usaha produktif dapat direalisasikan sesuai dengan
potensi yang dipunyai. Ditambah dengan teori sentral (central place theory), maka penyediaan sarana dan prasarana
sosial dan ekonomi akan dapat menyerap tenaga kerja lebih dan pendapatan
masyarakat yang meningkat.
Melihat tugas kepala
desa beserta jajarannya ke depan yang harus memahami seluk beluk perencanaan,
dan yang terpenting pembukuan (akuntansi), maka tugas para pendamping
pembangunan desa sangat penting supaya tujuan mulia UU Desa dapat
direalisasikan.
Dugaan adanya
pendamping desa harus dari partai tertentu dan menyetor sekian persen dari
penghasilannya, membuat tujuan yang mulia itu bisa melenceng. Aturan main
harus ditaati oleh berbagai pihak yang terkait. Keganjilan peraturan yang
muncul harus dihilangkan dan motif mencari rente (rent seeking) mesti ditekan. Harapannya, kesejahteraan masyarakat
desa meningkat, bukan malah sebaliknya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar