Pekerjaan
Rumah Pimpinan KPK
Adnan Topan Husodo ; Koordinator ICW
|
KOMPAS,
06 Januari 2016
Sebagai sebuah
lembaga, Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir 2015 mendapat dua kado
sekaligus, yakni lima unsur pimpinan baru yang dilantik Presiden Jokowi dan
gedung baru KPK yang diresmikan langsung oleh Presiden.
Lima unsur pimpinan
baru KPK dilahirkan dari proses politik yang alot, sarat manuver dan tendensi
muatan kepentingan berbagai pihak yang bersitegang, meski pada titik akhir melahirkan
kompromi. Hasilnya pun pada akhirnya diragukan banyak kalangan meski tanda
tanya besar publik terhadap pilihan akhir politisi Senayan bukan semata
kekhawatiran tanpa alasan. Sementara gedung baru KPK tidak bisa dilepaskan
dari advokasi cukup panjang, khususnya yang dilakukan kelompok masyarakat
sipil anti korupsi Indonesia dengan satu gerakan besar bersifat nasional
bertajuk Koin untuk KPK. Gerakan itu sendiri merupakan respons dari penolakan
sebagian besar politisi atas ide pembangunan gedung baru KPK.
Dua hal di atas
menunjukkan posisi KPK yang dipandang sangat penting, terlepas dari sudut
pandang setiap pihak. Bagi kelompok anti korupsi, KPK dianggap strategis
karena dalam sejarah perlawanan terhadap praktik korupsi di Indonesia, KPK
dinilai paling menjanjikan, terutama karena sepak terjangnya mampu menyeret
ke penjara aktor dari berbagai macam latar belakang, khususnya yang memiliki
kekuasaan politik relatif besar. Di luar itu, KPK juga berhasil menyandingkan
penerapan pidana korupsi dengan pidana pencucian uang yang orientasi
penegakan hukumnya bukan semata pemidanaan, melainkan disertai usaha
mengembalikan secara maksimal kerugian negara yang ditimbulkan.
Pun kemauan KPK untuk
masuk ke sektor-sektor strategis yang menjadi sumber utama praktik pengerukan
kekayaan negara secara ilegal, seperti tambang, mineral dan batubara, serta
pajak, menjadi nilai strategis tersendiri.
Sementara bagi
kelompok status quo, yang sangat
tidak berminat dengan kehadiran lembaga anti korupsi yang kokoh, nilai penting
KPK terletak pada sejauh mana lembaga ini dapat dikendalikan sehingga usaha
pemberantasan korupsi tak sampai mengganggu kepentingan kekuasaan. Oleh
karena itu, segala macam upaya dikerahkan untuk membuat KPK menjadi lebih
mudah dikontrol, khususnya dalam kebijakan penegakan hukum.
Jika kemudian selalu
terdapat gonjang-ganjing, kontroversi, dan jurang yang tajam antara cara
pandang kekuasaan dan publik dalam menempatkan posisi KPK, itu perlu dilihat
dalam "semangat" untuk "menjinakkan" lembaga tersebut.
Dengan bahasa kekuasaan lain, KPK boleh melakukan upaya pemberantasan
korupsi, tetapi cukuplah pada level pinggiran.
Kelembagaan dan kepemimpinan
Meskipun tulisan ini
mewakili cara pandang kelompok anti korupsi, rasanya tidak adil jika kemudian
KPK selalu dianggap mulus tanpa catatan. Sepanjang KPK berdiri, banyak lembar
catatan yang bisa menjadi bahan refleksi bagi pimpinan baru KPK agar mereka
dapat mencari jalan keluar secara cepat sehingga tidak memudarkan harapan
publik terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Sekurang-kurangnya
ada tiga persoalan pokok KPK yang bisa dibedakan dalam tiga kategori. Pertama
adalah masalah kelembagaan, kemudian masalah kepemimpinan, dan terakhir
masalah pelaksanaan tugas, fungsi, dan wewenang KPK sebagaimana UU telah mengatur.
Berkaitan dengan
masalah kelembagaan, KPK setidaknya memiliki beberapa persoalan yang perlu
untuk dijawab, yakni bagaimana KPK membangun strategi anti korupsi yang
efektif, mendesain strategi berjaringan yang luas sehingga bisa menjadi blok
anti korupsi yang kuat, dan masalah manajemen kepegawaian KPK. Strategi anti
korupsi yang efektif berkaitan dengan bagaimana upaya-upaya penindakan dan
pencegahan bisa disinergikan sehingga fungsi KPK tidak sekadar menjadi
pemadam kebakaran.
Kasus korupsi yang terjadi
berturut-turut di Kementerian Agama, dengan subyek perkara yang sama, yakni
dana haji sebagai contoh, adalah indikasi dari belum adanya titik temu antara
kerja penindakan dan pencegahan. Harus diakui bahwa KPK bukan lembaga superpower, terutama ketika harus
menegakkan rekomendasi perbaikan sistem di lembaga pemerintah.
KPK juga memiliki
pengalaman buruk yang berulang, khususnya kriminalisasi dan perlawanan balik
ketika harus menangani kasus-kasus korupsi tertentu. Berdasarkan pengalaman
pula, publiklah yang paling getol mengawal, menjaga, dan mempertahankan KPK
dari upaya serangan balik. Bukan berarti kepemimpinan politik nasional tak
memiliki kontribusi apa pun untuk mengawal KPK. Tentu tanpa mereka, KPK kapan
saja bisa bubar atau setidaknya mengalami kelumpuhan.
Karena pengalaman itu,
KPK perlu menempatkan publik-khususnya kelompok masyarakat yang
terorganisasi, memiliki tata kelola organisasi yang sehat dan kuat, dan
berbasiskan dukungan massa yang besar-untuk menjadi mitra strategis KPK. Sementara
masalah kepegawaian KPK terkait dengan adanya blok-blok antarpegawai KPK yang
memiliki latar belakang instansi yang berbeda. Sifat kesementaraan bekerja di
KPK sepertinya ikut memengaruhi terbangunnya "faksi" di internal
KPK. Oleh karena itu, pimpinan baru KPK perlu mencari jalan keluar agar
pegawai KPK adalah pegawai yang permanen, bukan titipan.
Sementara masalah
kepemimpinan banyak berkaitan dengan strategi komunikasi politik dan
komunikasi publik pimpinan KPK, isu single
fighter, dan tanggung jawab serta soliditas pimpinan KPK. KPK adalah
lembaga independen dan semestinya menjaga independensinya dengan
sungguh-sungguh. Namun, perlu ada seni kepemimpinan agar makna independensi
tidak gugur, tetapi juga dalam waktu bersamaan tidak menjadi eksklusif.
Posisi KPK yang eksklusif sering mengganggu komunikasi politik, khususnya
kepada Presiden. Padahal, dukungan politik kepala negara sangat berarti bagi
kelangsungan agenda pemberantasan korupsi karena pada konteks itu pimpinan
KPK tidak bisa mengganti peran kepala negara.
Demikian halnya
pimpinan KPK perlu mengontekstualisasi kembali spirit kolektif kolegial
sehingga tidak terjebak pada praktik subordinasi di mana Ketua KPK dalam
posisi dominan dibandingkan unsur pimpinan KPK lain. Ritme ini jika tidak
dijaga akan turut mengganggu kekompakan kerja pimpinan KPK, khususnya dalam
menghadapi tekanan eksternal.
Karena merupakan
pimpinan, sifat mengayomi pegawai perlu tetap dirawat mengingat pegawai KPK
adalah sumber daya utama KPK. Karena itu, pimpinan baru KPK perlu membuat
wadah dialog yang transparan dengan pegawai sehingga isu-isu strategis di KPK
bisa dikelola dengan baik. Kritik yang dilancarkan pegawai, sebagai misal,
tidak semestinya disamakan dengan pelanggaran etik seperti melakukan
penipuan, manipulasi, dan praktik penyalahgunaan lain.
Soal fungsi dan kewenangan
Terakhir, tugas pokok,
fungsi, dan wewenang KPK dalam supervisi dan koordinasi harus dirancang lebih
serius. Rekomendasi Indonesia
Corruption Watch (ICW), salah satunya, adalah menjadikan unit supervisi
dan koordinasi yang setara dengan kedeputian, bukan unit ad hoc yang bekerja sementara untuk mengejar target jangka
pendek. Fungsi supervisi dan koordinasi yang efektif juga pada akhirnya akan
menjadikan KPK sebagai trigger mechanism dalam pemberantasan korupsi, sesuatu
yang selama ini dijadikan salah satu sumber kritik.
Dalam hal penindakan,
manajemen perkara sudah semestinya dimutakhirkan, jika memungkinkan dibantu
dengan sistem teknologi informasi sehingga dapat mengurangi celah seperti kebocoran
informasi penegakan hukum yang bersifat rahasia. Kritik lain yang dialamatkan
kepada KPK adalah menista status hukum orang. Ada tersangka yang
bertahun-tahun tidak jelas proses hukumnya. Karena masalah ini berkaitan
langsung dengan jumlah sumber daya manusia (SDM) di KPK, pimpinan baru KPK
bisa memulai untuk menakar secara lebih rinci berapa kebutuhan, baik dari
sisi kualitas maupun kuantitas, SDM KPK yang ideal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar