Minggu, 03 Januari 2016

Pelangi 2016

Pelangi 2016

  Sarlito Wirawan Sarwono  ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 03 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Baru-baru ini saya menerima kiriman klip video melalui WA saya tentang seorang pendakwah yang juga budayawan muslim, Emha Ainun Najib atau yang lebih dikenal dengan panggilan Cak Nun (jelas aslinya orang Jawa Timur).

Yang unik dari klip video yang satu ini adalah di situ diperlihatkan bahwa Cak Nun sedang melantunkan salawat Nabi Muhammad SAW dengan lagu Silent Night, yaitu lagu yang biasa dinyanyikan oleh umat Kristen (catat: yang benar umat “Kristen”, bukan umat “Kristiani” karena Kristiani adalah kata sifat, sama seperti Islami). Karena unik, saya perlihatkan klip video itu kebeberapa teman saya sesama muslim, yang teman gaul saya.

Ada yang sesama dosen, mahasiswa, politisi, polisi, laki-laki, perempuan, manula, dewasa maupun pemuda, pokoknya cukup mewakili golongan menengah atas, tetapi tidak mewakili golongan radikal seperti FPI dan sejenisnya. Seperti sudah saya duga, rata-rata menolak, tidak senang pada klip video itu.

Ada yang hafal dan langsung menyebutkan ayat tentang Yahudi dan Kristen, ada yang googling gadget-nya dulu untuk menemukan sebuah hadis yang melarang umat Islam (bukan “umat” muslim karena muslim itu orang, bukan agama, jadi tidak punya umat; orang yang punya umat adalah nabi, karena itu benar jika dikatakan umat Muhammad SAW) untuk mengikuti atau meniru golongan mereka walaupun hanya sedikit.

Saya tidak heran karena beberapa waktu yang lalu umat Islam di Indonesia sempat dibikin heboh juga ketika ayat-ayat Alquran dilantunkan dengan langgam Jawa di acara Isra Mikraj di Istana Negara di hadapan Presiden Jokowi.

Pada waktu itu tidak kurang dari Wakil Sekretariat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tengku Zulkarnaen mengungkapkan bahwa membaca Alquran dengan menggunakan langgam Jawa di Istana Negara telah mempermalukan Indonesia di kancah internasional. “Bayangkanlah jika lagu Jawa dinyanyikan pakai cara seriosa, maka penciptanya akan protes dan keindahannya hilang,” katanya.

Tapi nggak juga, kan? Twililight Orchestra-nya Adi MS sering melantunkan lagu-lagu daerah (termasuk tembang Jawa) dengan nuansa musik klasik tentunya, tetapi fine-fine aja, kok, dan nggak ada yang protes.

Yang saya herankan adalah bahwa dulu, semasa saya masih bersekolah di SD dan SMP, ayah saya sering mendengarkan RRI Siaran Nusantara dari Studio Yogyakarta yang setiap malam Jumat menyiarkan ayat-ayat Alquran dengan langgam Jawa. Kadang ditembangkan sendirian (disebut mocopat), kadang diiringi gamelan (gending) atau dinyanyikan dalam paduan suara (panembrama).

Pada waktu itu perasaan tidak ada yang protes, termasuk para pejuang DI (Darul Islam)/TII (Tentara Islam Indonesia) di bawah pimpinan RM Karto Suwiryo tidak protes atau menyerbu studio RRI di Yogyakarta. Pertanyaan saya jadinya adalah ada apa dengan Islam di Indonesia? Ketika Presiden Jokowi menyebut tentang Islam Nusantara juga banyak protes karena tidak senang bahwa ada Islam ini itu di luar Islam itu sendiri.

Pernah dengar lagu Pelangi ciptaan AT Mahmud (alm)? Lagu itu ditutup dengan bait seperti ini: “Pelukismu agung, siapa gerangan, pelangi-pelangi ciptaan Tuhan.” Tapi kali ini bukan lagunya yang ingin saya bahas, melainkan pelanginya itu sendiri. Pelangi itu tampak biasanya setelah hujan berhenti dan meninggalkan kristal-kristal air di langit yang biru.

Kristal-kristal itu kemudian menguraikan sinar matahari yang putih menjadi rangkaian warna-warni indah yang disebut “pelangi”. “Merah, kuning, hijau, di langit yang biru,” kata AT Mahmud dalam syair lagu Pelangi-nya. Nanti, ketika butir-butir kristal itu sudah tidak ada lagi, hilang pula pelangi itu dan kita melihat lagi sinar matahari yang putih.

Matahari, langit, kristal air hujan, warna-warni dan semuanya itu ciptaan Tuhan dan Tuhan sendiri yang mengatur SOP (standard operating procedure) untuk menjadikan cahaya matahari dari warna putih menjadi warna pelangi dan kembali ke putih.

Maka Tuhan pula yang mengatur manusia yang awalnya satu, berasal dari nabi Adam, menjadi beragam-ragam (agama, ras, suku, budaya, negara dan sebagainya) dan akhirnya akan menjadi satu lagi, yaitu sebagai umat Allah yang namanya manusia, yang di mata Allah sama semua, kecuali ketakwaannya dan perihal ketakwaan ini hanya Allah yang tahu.

Yang kemudian menarik juga adalah ketika saya mencoba googling komentar-komentar di media-sosial pasca- ”insiden” Isra Mikraj di Istana Negara itu, justru lebih banyak yang pro ketimbang yang antibacaan Alquran dengan langgam Jawa itu. Bahkan yang pro itu, menilik dari nama pemilik akun, bukan orang Jawa dan kebanyakan anak muda. Tapi yang penting buat saya bukan pro-kontranya baca Alquran dengan lagu atau langgam apa saja, tetapi adanya tarik-menarik antara kekuatan universalisme dan partikularisme (lokalisme).

Dalam hal Islam ada yang ingin Islam itu hanya satu, yaitu seperti yang dicontohkan pada zaman Rasulullah (termasuk busana dan cara sikat gigi pakai siwak), tetapi ada yang berpendapat bahwa di dunia yang sangat majemuk ini, tidak mungkin dihindari variasi dalam segala hal, termasuk agama. Inilah yang menimbulkan praktik agama versi lokal, versi Indonesia (Islam Nusantara), bahkan versi Cak Nun yang berbeda pastinya dari versi HAMKA atau yang saya namakan Islam partikular.

Menurut hemat saya, Islam partikular (awas, bukan Islam partikelir yang digunakan untuk kepentingan politik atau memalak orang) adalah sebuah keniscayaan, karena itu adalah kehendak Allah sendiri seperti halnya pelangi yang muncul di langit yang biru tahun 2016. Selamat Tahun Baru 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar