Senin, 04 Januari 2016

Beban Target Penerimaan Pajak

Beban Target Penerimaan Pajak

  Adrianto Dwi Nugroho  ;  Dosen Ilmu Hukum Pajak Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada
                                                       KOMPAS, 04 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pengunduran diri pejabat Dirjen Pajak dari jabatannya ditengarai terjadi akibat penetapan beban target penerimaan pajak, khususnya pajak-pajak nonmigas, yang terlalu berat pada APBN dan APBN-Perubahan 2015. Dengan sisa waktu kurang dari satu bulan sebelum tahun anggaran berakhir, sikap realistis diambil pemerintah dengan merevisi target penerimaan pajak menjadi 85 persen, lebih buruk dari realisasi penerimaan pajak tahun 2014 sebesar 93 persen.

Terlalu beratnya beban target penerimaan pajak tidak hanya menyulitkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mencapai kinerja kelembagaan yang optimal, tetapi juga menciptakan permasalahan yang justru kontraproduktif terhadap kinerja lembaga pemungut pajak tersebut. Ada dua masalah yang menjadi ekses dari model kinerja berbasis target yang dilekatkan kepada DJP.

Pertama, beban target penerimaan pajak yang terlalu berat telah memunculkan kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi perpajakan yang prematur dan tidak koordinatif sehingga menimbulkan resistensi dari pelaku usaha sektoral.

Kebijakan pelaporan data nasabah perbankan, misalnya, dirumuskan sebagai bentuk upaya intensifikasi pajak yang bertujuan memperkuat basis data DJP terkait kepemilikan aset oleh wajib pajak.

Alih-alih menjadi langkah terobosan, perlawanan justru timbul dari pelaku usaha perbankan, yang menjadikan kerahasiaan data nasabah sebagai bagian integral dari kegiatannya.

Akibatnya, Peraturan Dirjen Pajak (Perdirjen) Nomor PER-01/PJ/2015 yang diterbitkan pada 26 Januari 2015 harus ditunda pelaksanaannya melalui Perdirjen Nomor PER-08/2015 tertanggal 20 Februari 2015, sebelum akhirnya dicabut pada 13 Maret 2015 dengan Perdirjen Nomor PER-14/PJ/ 2015.

Keadaan serupa kembali dialami oleh Dirjen Pajak ketika menerbitkan beleid yang mengatur pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan jasa jalan tol.

Kurangnya koordinasi dengan perangkat pemerintah di bidang pekerjaan umum, khususnya otoritas pengatur jalan tol, membuat upaya ekstensifikasi PPN ini gagal diterapkan di tahun 2015. Kredibilitas Dirjen Pajak kembali terganggu ketika Perdirjen Nomor PER-10/PJ/2015 yang diterbitkan pada 2 Maret 2015 harus dicabut pada 31 Maret 2015 melalui Perdirjen Nomor PER-16/2015.

Kedua, beban target penerimaan pajak yang terlalu berat juga telah melahirkan kebijakan pemeriksaan yang menghambat wajib pajak untuk mencari keadilan. Bagi DJP, upaya mengurangi jumlah sengketa pajak memiliki tujuan untuk mengamankan penerimaan pajak.

Perlu diketahui bahwa sengketa pajak selalu menjadi momok bagi DJP. Sampai dengan tahun 2014, persentase putusan pengadilan pajak yang mengabulkan, baik seluruhnya maupun sebagian, permohonan banding dan gugatan yang diajukan oleh wajib pajak mencapai 61,29 persen dari jumlah perkara yang diputus, sedangkan putusan yang menolak mencapai 27,12 persen (Sekretariat Pengadilan Pajak: 2015).

Platform terbaik

Jenis kebijakan ini menemukan platform terbaiknya pada program pembinaan wajib pajak tahun 2015. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-53/PJ/2015 tertanggal 30 September 2015 dan Instruksi Dirjen Pajak Nomor INS-04/PJ/2015 yang terbit pada 3 November 2015 memerintahkan jajaran pemungut pajak untuk memberikan kesempatan kepada wajib pajak memanfaatkan kebijakan penghapusan sanksi administrasi sesuai dengan Permenkeu Nomor 91/PMK.03/ 2015. Artinya, upaya persuasif dilakukan terhadap wajib pajak untuk mengakhiri sengketa pajak sehingga upaya hukum banding dan gugatan di pengadilan pajak tidak perlu ditempuh.

Dua beleid ini menjadi senjata baru DJP untuk mengurangi jumlah sengketa pajak setelah mekanisme pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan pembahasan oleh tim quality assurance justru menaikkan jumlah berkas yang masuk ke pengadilan pajak tahun 2014 sebesar 29,37 persen dari jumlah tahun 2013, atau sebanyak 10.866 berkas (Set PP: 2015).

Penjelasan di atas menunjukkan besarnya dampak beban target penerimaan pajak yang terlalu berat terhadap pelaksanaan fungsi DJP untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan perpajakan, baik dalam ranah hukum pajak substantif maupun formal.

Perlu diingat bahwa kebijakan perpajakan merupakan produk kolaboratif antara para ahli di bidang makroekonomi, kebijakan perpajakan, perancangan undang-undang dan administrasi, dan bukan produk hasil kompilasi pekerjaan yang dilakukan secara terpisah oleh tiap ahli tersebut (Gordon & Thuronyi: 1996). Artinya, banyak aspek yang perlu diperhitungkan dan didiskusikan bersama dalam merumuskan kebijakan perpajakan sehingga tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa.

Akhirnya, sebagai instansi yang menjadi bread winner dari negara, DJP memikul tanggung jawab untuk memasukkan uang pajak sebesar-besarnya ke dalam kas negara. Pencapaian target penerimaan pajak menjadi pilihan indikator yang rasional untuk mengukur kinerja otoritas pemungut pajak tersebut.

Akan tetapi, sinergi antara pemangku kepentingan diperlukan untuk memformulasikan beban target penerimaan pajak yang sesuai dengan kondisi aktual di bidang makroekonomi dan hukum.

Akurasi data menjadi kunci dalam proses ini. Penetapan beban target penerimaan pajak yang terlalu berat dapat meneruskan tren shortfall penerimaan pajak yang tercatat dalam satu dasawarsa terakhir.

Sesuai dengan slogan DJP, pajak adalah milik bersama sehingga kegagalan DJP berarti kegagalan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar