Mani
Goenawan Mohamad ; Esais; Mantan Pemimpin Redaksi Majalah
Tempo
|
TEMPO.CO,
04 Januari 2016
There's been an
awakening. Have you felt it? The Dark side, and the Light.
—Star
Wars: The Force Awakens
Sejak mula, permusuhan "sisi Gelap"
dengan "sisi Terang" mendasari pelbagai dongeng segala zaman; di
abad ke-3 seseorang yang disebut "Nabi Mani" di Persia
menegaskannya, dan di abad ke-20 dan 21, Star
Wars mengulanginya.
Dikhotomi Mani, "Manikheanisme", memang
tak mudah mati: kosmologi dualistis ini telah membuat "Gelap" dan
"Terang", kekejian dan kebajikan, selamanya bentrok di alam
semesta—begitu jelas dan sederhana, seolah-olah yang keji dan yang mulia bisa
mutlak, seakan-akan hitam dan putih telah melenyapkan abu-abu, hingga orang
gampang tak membantah.
George Lucas dengan sadar mendaur ulang
kosmologi itu. Kita ingat adegan pembuka Star Wars empat dasawarsa yang lalu:
sederet kalimat bergerak di layar, sebuah statemen bahwa kisah ini datang
dari "...zaman nun dahulu kala, di galaksi yang sangat jauh".
"Dahulu kala": keinginan George
Lucas memang bukan membuat sebuah fantasi futuristik seperti 2001: A Space Odyssey, film Stanley
Kubrick. Ia justru hendak mengembalikan kisah moralitas yang hidup di masa ketika
film hitam-putih menampilkan Tom Mix. Melalui genre Western bisu tahun
1910-an, sang "koboi" (misalnya dalam Saved by the Pony Express) dengan gagah dan lurus bertempur
sebagai si "topi putih" yang melawan si "topi hitam".
Di hampir semua filmnya, Tom Mix adalah
petarung di zaman bergaris lurus. "Putih" berarti suci dan benar,
"hitam" berarti kotor dan jahat.
Dalam wawancaranya dengan The Washington Post baru-baru ini Lucas mengatakan ia ingin
menebus kembali garis ala Mani itu: hitam-putih-gelap-terang yang kini telah
buram. "Terakhir kalinya kita lakukan itu ialah di masa film
Western," katanya. Dan ketika genre film ini nyaris tak beredar lagi, ia
merasa kehilangan medium untuk menegaskan aturan "ethis" yang
diyakini di masa lalu.
Lucas pernah mengatakan ia ingin menciptakan
"a modern fairy tale". Mungkin itu sebabnya Star Wars terkadang
terasa sedikit "retro". Ia bahkan bisa dituduh anti-progresif:
dalam film pertamanya, sang pahlawan, pasangannya, sekutu dan musuhnya, semua
berkulit putih, meskipun mereka bukan warga Wyoming atau Kansas, meskipun
mereka konon makhluk planet lain—dan diciptakan Lucas pada 1977, setelah
warga kulit hitam Amerika secara dramatis menegakkan hak-hak dasar mereka dan
mulai muncul di lanskap kehidupan. Dengan kata lain, Luke Skywalker, Putri
Leia, Obi-Wan Kenobi, Han Solo, dan lain-lain tak jauh dari tokoh-tokoh Flash Gordon Alex Raymond dari tahun
1930-an. Dalam cergam termasyhur itu, Flash
Gordon adalah kesatria kebajikan yang bule dan pirang; lawannya: Ming si
Jahat yang bukan bule dan pirang.
Tapi tentu tak adil menilai Star Wars hanya angan-angan yang
Amerika-sentris dan retrogresif. Kita justru bisa melihat pengaruh luar yang
kuat, terutama dari Yojimbo dan Seven Samurai Kurosawa: Lucas menampilkan
petarung yang terampil dan elegan dengan pedang, ethos samurai dalam diri
seorang Jedi, film action dengan latar yang tegang dan eksotis.
Lagi pula Amerika-nya Alex Raymond bukan
Amerika-nya Lucas. Pada 1973
Lucas menuliskan garis besar kisah Star Wars
sebagai kisah "sebuah imperium teknologi yang besar yang memburu
sekelompok kecil pejuang kemerdekaan". Lucas, yang lahir pada 1944,
mengalami bagaimana generasinya memandang Perang Vietnam (bermula pada
pertengahan 1950-an, berakhir 1975)—dan kita tahu siapa yang mereka anggap
"Gelap" dan siapa yang "Terang", mana yang
"imperium" dan mana yang "pejuang kemerdekaan" dalam
konfrontasi di Asia Tenggara itu.
Tapi ini abad ke-21. The Force Awakens, dongeng ke-7 Star Wars, masih memperpanjang thema Manikhean itu. Namun yang
ditampilkan J.J. Abrams bukan nostalgia Lucas kepada "moral" film
Western. Konflik antara rezim "The First Order" dan gerakan
"Resistance" dalam film ini tak terasa sebagai gema kekerasan hari
ini. Zaman sudah berubah.
Kini zaman ditandai manikheanisme yang membingungkan
dan sekaligus menakutkan.
Ia membingungkan karena label
"Gelap" dan "Terang" dengan cepat berpindah, dalam
periode yang sama dan ruang yang sama: "Taliban", "IS",
"AS", "Israel", "Arab Saudi"....
Ia menakutkan karena ketika cap
"Gelap" dan "Terang" diterapkan, meskipun dengan cepat
berpindah sasaran, tiap kali keduanya dibuat demikian kental, demikian kekal.
Seakan-akan hanya penghancuran total yang akan jadi penentu—penghancuran
bukan efek sejarah yang serba mungkin, tapi sebagai takdir.
Takdir....
Di layar putih, Kylo Ren berkata: "Aku akan memenuhi takdirku."
Di luar bioskop, di antara kebencian dan pembunuhan di jalan-jalan, kalimat
seperti itu terasa heroik tapi buntu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar