Kamis, 14 Januari 2016

Paradoks Tiongkok

Paradoks Tiongkok

Ronny P Sasmita  ;   Analis Ekonomi Politik International Financeroll Indonesia
                                                       HALUAN, 11 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kebijakan sus­pen­si bursa Tiong­kok di awal hari kerja tahun ini, Se­nin (4/1/16), dan Kamis (7/1/16), boleh jadi merupakan kado awal tahun yang menyesakkan. Konon gun­ca­ngan pada pembukaan per­dagangan pasar modal Tiong­kok awal tahun ini membuat panas dingin in­ves­tor dunia.

Bagaimana tidak, hanya setengah hari perdagangan, Senin (4/1), indeks bursa Shanghai yakni CSI 300 Index amblas hing­ga 7%. Sontak ini membuat otoritas bursa China meng­hentikan perdagangan sa­ham (suspensi) di waktu yang tersisa. Indeks bursa Shanghai anjlok 6,86% ke 3.296,26.

Sedangkan, indeks bursa Shenzhen terpangkas 8,22% menjadi 2.119,16. Kepa­ni­kan pasar saham China tim­bul pasca Biro Statistik Na­sional China melansir data ma­nufaktur  yang ter­cer­min dalam Purchasing Ma­na­ger Index (PMI) bulan De­sember 2015 sebesar 49,7. Penurunan yang sudah terjadi lima bulan berturut-turut menjadi penanda bagi pelaku pasar bahwa eko­nomi Tiongkok memang tengah bermasalah. Itu pula sebabnya investor individu yang berkontribusi hingga 80% pada pergerakan sa­ham bursa Tiongkok melaku­kan aksi jual dan berujung penghentian perdagangan.

Sedemikian dahsyat pe­nga­ruh bursa Tiongkok sampai-sampai ikut menye­ret pasar saham dunia. In­deks Dow Jones dibuka melorot 2,28% ke level 17.027,28 hingga pukul 22.05 WIB pada sesi perda­ga­ngan Senin (4/1/16). Sedang­kan, S&P 500 turun 1,81% menjadi 2.006,88. Pada hari yang sama, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun dibawa terge­lin­cir sebesar 1,46% ke le­vel 4.525,92. Hal ini tentu sa­ngat bisa dipahami, pasar sa­ham Tiongkok meru­pa­kan pasar terbesar kedua sejagat setelah AS.

Kado awal tahun ini ke­mu­dian dilengkapi dengan kebijakan devaluasi mata uang yuan untuk kedua kali­nya setelah bulan Agustus tahun lalu PBOC juga mela­ku­kan hal yang sama dan ber­hasil menggagalkan The Fed untuk menaikan suku bunga acuan kredit AS un­tuk bulan September 2105. Suspensi bursa dan deva­lua­si mata uang ini merupakan sinyal awal yang kuat bahwa China akan menjadi momok ekonomi dan pasar ke­ua­ngan dunia untuk tahun ini. Boleh jadi China seperti Amerika tahun lalu dimana negeri Paman Sam tersebut menjadi pusat perhatian pelaku pasar di seluruh dunia, terutama akibat am­bi­guitas sikap The Fed yang nyaris terpelihara manis sepanjang tahun 2015.

Mimpi buruk ekonomi Tiongkok diperkirakan ma­sih berlanjut. Sebagaimana dikatakan MK Tang, eko­nom Goldman Sachs Group Inc, kepada Wall Street Jour­nal, Senin (4/1/16) bahwa per­­lambatan eko­­nomi Tiong­kok diper­ki­ra­kan akan terus berlang­sung se­pan­jang tahun 2016. Hal ini be­rarti bahwa tak ada lagi pertumbuhan dua digit da­lam kamus ekonomi Tiong­kok untuk tahun 2016. Bah­kan hasil survei Bloomberg juga me­nye­but­kan, pertum­buhan ekonomi China tahun ini hanya akan berkutik dikisaran 6,5% dan diper­kirakan akan turun menjadi 6,3% untuk tahun 2017.

Pertanyaanya, apakah China sedang memasuki kri­sis ekonomi? Nam­pak­nya jawabanya tidak, hanya saja pertumbuhan eko­no­minya sedang melambat. Lagi pula, bursa saham China tergeret turun karena sudah terlampau mahal. Jika dilihat pola pergerakan bursa pada umumnya, bisa sedikit disimpulkan bahwa indeks saham suatu negara maksimal tumbuh 15%-20% per tahun. Inilah salah satu anomalinya karena ternyata  di China, indeks bisa tumbuh hingga tiga kali lipat dari biasanya.

Memang harus diakui, da­ta-data sebelumnya juga me­nunjukan indikasi perlambatan yang cukup jelas, ta­pi belum bisa dika­tego­ri­kan sebagai tanda krisis. Bah­kan China Biege Book In­ternasional, salah satu ins­ti­tusi penelitian ber­penga­ruh di AS, Desember lalu mem­berikan peringatan was­pada atas perekonomian Tiong­kok . Institusi ini bah­kan melihat situasi di Tiong­kok sepertinya lebih bu­ruk dari data yang diindi­ka­sikan oleh badan pusat sta­tistik nasional Negeri Pan­da.

Mereka mengatakan, pertumbuhan negara de­ngan perekonomian kedua terbesar dunia itu berada dalam wilayah bahaya. Data ekonomi Tiongkok yang disurvey  meliputi pen­da­patan penjualan nasional, tingkat harga, laba, perekrutan tenaga kerja, kredit, dan anggaran belanja bisnis. Dan ternyata semuanya me­nga­lami pelemahan pada kuartal empat, dibanding periode sebelumnya.

Selain itu, seluruh sektor dari ritel hingga transportasi mengalami tekanan yang cukup parah. Dalam survei tersebut juga disebutkan bahwa pertumbuhan tingkat upah mengalami perlam­batan dan persaingan tenaga kerja semakin ketat. China Beige Book yang berbasis di New York telah melakukan survei kuartalan sejak 2012. Survei ini mengacu pada survei The Federal Re­serve’s Beige Book. Survei ini dilakukan terhadap seki­tar 2.000 perusahaan dan 160 bankir dari sektor yang beragam di Tiongkok.

Menurut beberapa ana­lis, pemerintah Tiongkok se­pertinya tidak akan mau mengakui bahwa pere­kono­mian negaranya sedang mem­­buruk. Namun, data ter­sebut sangat sulit di­sem­bu­nyikan. Nah, yang men­ja­di permasalahan saat ini ada­lah seberapa ce­pat Tiong­­kok mengalami per­lam­­batan dan apakah Nege­ri Panda ini dapat dengan mu­dah menyesuaikan de­ngan kondisi perlambatan tersebut.

Meski demikian, sejum­lah pengamat menilai, jika Tiong­kok ingin mempertahankan pertumbuhan, maka pemerintah harus terus ber­ko­­mitmen untuk mela­ku­kan reformasi ekonomi.

Selain reformasi eko­no­mi, Tiongkok juga harus melakukan transformasi dari ekonomi berbasis ma­nu­faktur dan ekspor ke eko­nomi berbasis jasa dan konsumsi. Sebagai catatan, Tiong­kok sebelumnya su­dah memperkenalkan sejum­lah kebijakan “stimulus mini” di sepanjang tahun 2015 untuk menyokong pertumbuhan ekonomi, na­mun, masih tarik ulur untuk merilis paket kejutan besar.

Tapi apa yang terjadi dengan dunia bisnis Tiong­kok di kawasan Asia Pasi­fik? Situasinya cukup ber­beda dengan yang terjadi di kancah domestik Tiongkok. Nafsu korporasi Tiongkok untuk tumbuh di pasar glo­bal nampaknya semakin tak terbendung. Mereka getol mencaplok perusahaan ber­s­kala internasional. Alhasil, separo dari total nilai tran­saksi merger dan akuisisi di kawasan Asia Pasifik di­sum­bang oleh korporasi asal negeri tembok raksasa. Berdasarkan data Bloom­berg, Jumat (18/12/15), aksi merger dan akuisisi yang melibatkan perusahaan di wilayah Asia Pasifik tahun 2015 melonjak 55% menjadi US$ 1,2 triliun. Itu be­rarti, peru­sa­ha­an Tiong­kok menyumbang $ 600 miliar.

Perusahaan-peru­sa­ha­an Tiongkok mengincar bebe­rapa aset utama dunia seperti Pirelli & C. SpA dari Italia. “Kami melihat peru­sa­haan Tiongkok mengejar merek, keahlian, dan inte­lektual properti untuk ber­gerak ke mata rantai atas,” ujar Brian Gu, Co-Head of Mergers and Acquisitions Asia Pasific JP Morgan Chase & Co.

Morgan Stanley adalah penerima manfaat terbesar dari booming merger dan akuisisi, dengan melahap pangsa pasar sebesar 17,6% da­ri seluruh transaksi di Asia Pasifik. Menyusul ke­mu­dian Goldman Sachs Group Inc. dengan pangsa sebanyak 14,4%. Adapun tran­sak­si Tiong­kok yang me­me­cah­kan rekor, pertama ke­lom­pok investor yang dipimpin oleh Zhou Hongyi yang menawar Qihoo 360 Tech­nology Co. senilai US$ 8,4 miliar.

Kedua, China National Chemical Corp. membeli Pirelli dengan harga US$ 8 miliar. Perusahaan ini juga dalam tahap negosiasi untuk mengambil alih perusahaan pembuat benih asal Swiss, Syngenta AG.  Ketiga, Tsing­hua Unigroup Ltd memborong 15% saham Western Digital Corp de­ngan nilai US$ 3,8 miliar. Dan keempat, WuXi Phar­ma Tech, perusahaan far­masi, bioteknologi, dan alat-alat kesehatan yang beroperasi di Tiongkok serta Amerika Serikat (AS) telah menyelesaikan merger dengan WuXi Merger Limited. Nilai penggabungan kedua korporasi ini ditaksir sekitar US$ 3,3 miliar. 

Total nilai transaksinya terbilang tidak kecil. Besa­ran nominal deal bisnis tersebut membuktikan bah­wa berita-berita perlam­batan ekonomi Tiongkok hanya hiasan anomali eko­no­mi menuju paradigma baru negeri Panda, yakni paradigma sebuah negeri yang diprediksi akan me­mim­pin Asia Pasifik di tahun-tahun mendatang dan tentunya menjadi negeri yang akan membuat Jepang dan AS akan berfikir pan­jang untuk mendominasi Asia secara sepihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar