Paradoks Tiongkok
Ronny P Sasmita ;
Analis Ekonomi Politik International
Financeroll Indonesia
|
HALUAN,
11 Januari 2016
Kebijakan suspensi
bursa Tiongkok di awal hari kerja tahun ini, Senin (4/1/16), dan Kamis
(7/1/16), boleh jadi merupakan kado awal tahun yang menyesakkan. Konon guncangan
pada pembukaan perdagangan pasar modal Tiongkok awal tahun ini membuat
panas dingin investor dunia.
Bagaimana tidak, hanya setengah hari
perdagangan, Senin (4/1), indeks bursa Shanghai yakni CSI 300 Index amblas
hingga 7%. Sontak ini membuat otoritas bursa China menghentikan perdagangan
saham (suspensi) di waktu yang tersisa. Indeks bursa Shanghai anjlok 6,86%
ke 3.296,26.
Sedangkan, indeks bursa Shenzhen terpangkas
8,22% menjadi 2.119,16. Kepanikan pasar saham China timbul pasca Biro
Statistik Nasional China melansir data manufaktur yang tercermin
dalam Purchasing Manager Index (PMI) bulan Desember 2015 sebesar 49,7.
Penurunan yang sudah terjadi lima bulan berturut-turut menjadi penanda bagi
pelaku pasar bahwa ekonomi Tiongkok memang tengah bermasalah. Itu pula
sebabnya investor individu yang berkontribusi hingga 80% pada pergerakan saham
bursa Tiongkok melakukan aksi jual dan berujung penghentian perdagangan.
Sedemikian dahsyat pengaruh bursa Tiongkok
sampai-sampai ikut menyeret pasar saham dunia. Indeks Dow Jones dibuka
melorot 2,28% ke level 17.027,28 hingga pukul 22.05 WIB pada sesi perdagangan
Senin (4/1/16). Sedangkan, S&P 500 turun 1,81% menjadi 2.006,88. Pada
hari yang sama, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun dibawa tergelincir
sebesar 1,46% ke level 4.525,92. Hal ini tentu sangat bisa dipahami, pasar
saham Tiongkok merupakan pasar terbesar kedua sejagat setelah AS.
Kado awal tahun ini kemudian dilengkapi
dengan kebijakan devaluasi mata uang yuan untuk kedua kalinya setelah bulan
Agustus tahun lalu PBOC juga melakukan hal yang sama dan berhasil
menggagalkan The Fed untuk menaikan suku bunga acuan kredit AS untuk bulan
September 2105. Suspensi bursa dan devaluasi mata uang ini merupakan sinyal
awal yang kuat bahwa China akan menjadi momok ekonomi dan pasar keuangan
dunia untuk tahun ini. Boleh jadi China seperti Amerika tahun lalu dimana
negeri Paman Sam tersebut menjadi pusat perhatian pelaku pasar di seluruh
dunia, terutama akibat ambiguitas sikap The Fed yang nyaris terpelihara
manis sepanjang tahun 2015.
Mimpi buruk ekonomi Tiongkok diperkirakan masih
berlanjut. Sebagaimana dikatakan MK Tang, ekonom Goldman Sachs Group Inc, kepada Wall Street Journal, Senin
(4/1/16) bahwa perlambatan ekonomi Tiongkok diperkirakan akan terus
berlangsung sepanjang tahun 2016. Hal ini berarti bahwa tak ada lagi
pertumbuhan dua digit dalam kamus ekonomi Tiongkok untuk tahun 2016. Bahkan
hasil survei Bloomberg juga menyebutkan, pertumbuhan ekonomi China tahun
ini hanya akan berkutik dikisaran 6,5% dan diperkirakan akan turun menjadi
6,3% untuk tahun 2017.
Pertanyaanya, apakah China sedang memasuki krisis
ekonomi? Nampaknya jawabanya tidak, hanya saja pertumbuhan ekonominya
sedang melambat. Lagi pula, bursa saham China tergeret turun karena sudah
terlampau mahal. Jika dilihat pola pergerakan bursa pada umumnya, bisa
sedikit disimpulkan bahwa indeks saham suatu negara maksimal tumbuh 15%-20%
per tahun. Inilah salah satu anomalinya karena ternyata di China,
indeks bisa tumbuh hingga tiga kali lipat dari biasanya.
Memang harus diakui, data-data sebelumnya
juga menunjukan indikasi perlambatan yang cukup jelas, tapi belum bisa dikategorikan
sebagai tanda krisis. Bahkan China Biege Book Internasional, salah satu institusi
penelitian berpengaruh di AS, Desember lalu memberikan peringatan waspada
atas perekonomian Tiongkok . Institusi ini bahkan melihat situasi di Tiongkok
sepertinya lebih buruk dari data yang diindikasikan oleh badan pusat statistik
nasional Negeri Panda.
Mereka mengatakan, pertumbuhan negara dengan
perekonomian kedua terbesar dunia itu berada dalam wilayah bahaya. Data
ekonomi Tiongkok yang disurvey meliputi pendapatan penjualan
nasional, tingkat harga, laba, perekrutan tenaga kerja, kredit, dan anggaran
belanja bisnis. Dan ternyata semuanya mengalami pelemahan pada kuartal
empat, dibanding periode sebelumnya.
Selain itu, seluruh sektor dari ritel hingga
transportasi mengalami tekanan yang cukup parah. Dalam survei tersebut juga
disebutkan bahwa pertumbuhan tingkat upah mengalami perlambatan dan
persaingan tenaga kerja semakin ketat. China
Beige Book yang berbasis di New York telah melakukan survei kuartalan
sejak 2012. Survei ini mengacu pada survei The Federal Reserve’s Beige Book. Survei ini dilakukan terhadap
sekitar 2.000 perusahaan dan 160 bankir dari sektor yang beragam di
Tiongkok.
Menurut beberapa analis, pemerintah Tiongkok
sepertinya tidak akan mau mengakui bahwa perekonomian negaranya sedang memburuk.
Namun, data tersebut sangat sulit disembunyikan. Nah, yang menjadi
permasalahan saat ini adalah seberapa cepat Tiongkok mengalami perlambatan
dan apakah Negeri Panda ini dapat dengan mudah menyesuaikan dengan kondisi
perlambatan tersebut.
Meski demikian, sejumlah pengamat menilai,
jika Tiongkok ingin mempertahankan pertumbuhan, maka pemerintah harus terus
berkomitmen untuk melakukan reformasi ekonomi.
Selain reformasi ekonomi, Tiongkok juga
harus melakukan transformasi dari ekonomi berbasis manufaktur dan ekspor ke
ekonomi berbasis jasa dan konsumsi. Sebagai catatan, Tiongkok sebelumnya sudah
memperkenalkan sejumlah kebijakan “stimulus mini” di sepanjang tahun 2015
untuk menyokong pertumbuhan ekonomi, namun, masih tarik ulur untuk merilis
paket kejutan besar.
Tapi apa yang terjadi dengan dunia bisnis
Tiongkok di kawasan Asia Pasifik? Situasinya cukup berbeda dengan yang
terjadi di kancah domestik Tiongkok. Nafsu korporasi Tiongkok untuk
tumbuh di pasar global nampaknya semakin tak terbendung. Mereka getol
mencaplok perusahaan berskala internasional. Alhasil, separo dari total
nilai transaksi merger dan akuisisi di kawasan Asia Pasifik disumbang oleh
korporasi asal negeri tembok raksasa. Berdasarkan data Bloomberg, Jumat
(18/12/15), aksi merger dan akuisisi yang melibatkan perusahaan di wilayah
Asia Pasifik tahun 2015 melonjak 55% menjadi US$ 1,2 triliun. Itu berarti,
perusahaan Tiongkok menyumbang $ 600 miliar.
Perusahaan-perusahaan Tiongkok mengincar
beberapa aset utama dunia seperti Pirelli & C. SpA dari Italia. “Kami
melihat perusahaan Tiongkok mengejar merek, keahlian, dan intelektual
properti untuk bergerak ke mata rantai atas,” ujar Brian Gu, Co-Head of Mergers and Acquisitions Asia
Pasific JP Morgan Chase & Co.
Morgan Stanley adalah penerima manfaat
terbesar dari booming merger dan
akuisisi, dengan melahap pangsa pasar sebesar 17,6% dari seluruh transaksi
di Asia Pasifik. Menyusul kemudian Goldman
Sachs Group Inc. dengan pangsa sebanyak 14,4%. Adapun transaksi Tiongkok
yang memecahkan rekor, pertama kelompok investor yang dipimpin oleh Zhou
Hongyi yang menawar Qihoo 360 Technology
Co. senilai US$ 8,4 miliar.
Kedua, China
National Chemical Corp. membeli Pirelli dengan harga US$ 8 miliar.
Perusahaan ini juga dalam tahap negosiasi untuk mengambil alih perusahaan
pembuat benih asal Swiss, Syngenta AG. Ketiga, Tsinghua Unigroup Ltd
memborong 15% saham Western Digital Corp dengan nilai US$ 3,8 miliar. Dan
keempat, WuXi Pharma Tech, perusahaan farmasi, bioteknologi, dan alat-alat
kesehatan yang beroperasi di Tiongkok serta Amerika Serikat (AS) telah
menyelesaikan merger dengan WuXi Merger
Limited. Nilai penggabungan kedua korporasi ini ditaksir sekitar US$ 3,3
miliar.
Total nilai transaksinya terbilang tidak
kecil. Besaran nominal deal bisnis tersebut membuktikan bahwa berita-berita
perlambatan ekonomi Tiongkok hanya hiasan anomali ekonomi menuju paradigma
baru negeri Panda, yakni paradigma sebuah negeri yang diprediksi akan memimpin
Asia Pasifik di tahun-tahun mendatang dan tentunya menjadi negeri yang akan
membuat Jepang dan AS akan berfikir panjang untuk mendominasi Asia secara
sepihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar