Kamis, 14 Januari 2016

Episode Peradilan Pilkada

Episode Peradilan Pilkada

Ismail Hasani  ;   Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;  Direktur Riset Setara Institute
                                                       KOMPAS, 13 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Peradilan pemilu merupakan elemen kunci yang harus tersedia dalam sebuah mekanisme pemilihan yang berintegritas. Sementara sengketa pemilu adalah arena untuk memeriksa kinerja penyelenggaraan pemilu guna menjamin keadilan pemilu. Keadilan elektoral setidaknya berhubungan dengan legalitas penyelenggaraan pemilu, administrasi pelaksanaan pemungutan suara, integritas penyelenggaraan pemilu, penegakan hukum pemilu, dan legitimasi hasil pemungutan suara.

Setelah pada 9 Desember 2015 pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahap I diselenggarakan, episode berikutnya penyelesaian perselisihan hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Mengacu pada rekapitulasi perkara yang diterima MK, ada 147 perkara perselisihan hasil pilkada. Peradilan pilkada yang disediakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 sedianya ditujukan untuk memastikan integritas pilkada yang memberikan keadilan elektoral bagi kontestan dan utamanya bagi warga negara. Namun, mekanisme yang disediakan UU No 8/2015 berpotensi gagal menyempurnakan integritas dan kualitas pilkada yang tak melimpahkan keadilan elektoral.

Potensi kegagalan mengawal keadilan elektoral bertolak dari tidak diadopsinya prinsip nuncprotunc dalam UU No 8/2015, yang berarti bahwa pengadilan dapat menerima sengketa pemilu meski batasan waktu yang ditentukan sudah terlampaui, sepanjang ada bukti baru yang menunjukkan dugaan adanya pelanggaran yang merusak integritas pemilu. Secara eksplisit prinsip ini menunjukkan bahwa tugas utama peradilan pemilu adalah mewujudkan keadilan elektoral sehingga integritas pemilu bisa dijaga, dengan menelisik setiap kecurangan yang berkontribusi pada pemenangan seorang kandidat. Ruang untuk memperoleh keadilan itu hilang karena MK hanya akan memeriksa rekapitulasi penghitungan yang keliru. MK tak akan lagi memeriksa aneka kecurangan yang terjadi sepanjang proses pilkada meskipun itu terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

MK menegaskan hanya akan mengadili sengketa tentang selisih suara hasil penghitungan suara yang dihasilkan KPUD dan tidak akan masuk ke jenis perkara lain, tak terkecuali pelanggaran dalam pilkada yang mengandung unsur tindak pidana. Padahal, secara substantif sangat dimungkinkan bahwa tindak pidana pilkada yang terjadi merupakan faktor determinan kemenangan atau kekalahan kandidat. MK memilih jalan pragmatis dan ingkar atas terobosan yang pernah dibuatnya sendiri saat untuk pertama kali memeriksa dan memperkenalkan jenis pelanggaran yang bersifat TSM yang dijadikan dasar untuk memperoleh kebenaran materiil dalam mewujudkan keadilan elektoral.

Dalam Putusan MK No 41/PHPU.D-VI/2008 yang memutus sengketa hasil pilkada di Jawa Timur, pada poin 4.4. hal 135, MK menegaskan: ”Dalam mengadili perkara ini, Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh menilai hasil pilkada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa Timur, sebab kalau hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang dibuat oleh Termohon, [maka] tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga akan sulit ditemukan keadilan.”

Selisih maksimal

Jika secara materiil peradilan pilkada membatasi diri pada penghitungan hasil, secara formal peradilan pilkada pada tahap awal akan menggugurkan 123 permohonan dari 147 permohonan yang masuk ke MK. MK hanya akan memeriksa pokok perkara 24 permohonan, satu kabupaten di antaranya diajukan oleh dua pemohon, yakni Kabupaten Gorontalo. Pemohon dari enam provinsi dipastikan tidak satu pun permohonannya yang akan diterima MK. Putusan tidak diterimanya permohonan itu akan terjadi pada sidang pendahuluan saat MK memeriksa syarat formal para pemohon. Jika tidak memenuhi syarat formal, permohonannya dinyatakan tidak diterima.

Keabsahan pengajuan sengketa pilkada yang harus mengikuti selisih maksimal hasil pemilihan dengan margin error yang amat tipis ini diatur dalam UU No 8/2015 yang dijabarkan oleh MK pada Pasal 6 Ayat (1) dan (2) PMK No 1/2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Ketentuan Pasal 158 UU No 8/2015 intinya menentukan bahwa syarat formal permohonan sengketa adalah jika selisih perolehan suara yang diperoleh pemenang tidak melampaui batas maksimal antara 0,5 persen-2 persen suara, bergantung jumlah penduduk pada daerah pemilihan. Ketentuan ini ditujukan untuk menekan jumlah perkara yang tak berkualitas beralih ke MK.

Selisih maksimal suara antara 0,5 persen-2 persen merupakan bukti tidak digunakannya fakta selisih suara dalam pilkada yang selama ini terjadi dalam pilkada atau bahkan dalam pilpres. Selisih suara yang cukup besar dari 2 persen sekalipun dapat dibatalkan MK karena adanya kecurangan TSM. Margin error yang sangat tipis sebagai syarat formal pengajuan sengketa menunjukkan pembentuk UU terlalu yakin penyelenggara pilkada bekerja dengan sangat akurat, steril dari petahana, dan nihil kecurangan.

Peradilan pilkada hanya mengutamakan keterpenuhan kebutuhan adanya mekanisme untuk menyelesaikan keberatan meski tak ditujukan untuk menggali kebenaran materiil yang dapat membukukan keadilan elektoral. Peran MK hanya memenuhi keharusan adanya mekanisme dan prosedur peradilan dalam sebuah siklus pilkada. Kombinasi ketentuan batasan maksimal selisih dan pilihan MK hanya memeriksa hasil penghitungan, berpotensi merusak integritas pilkada, menghilangkan akses keadilan dan pelembagaan pelanggaran hak konstitusional kontestan.

MK masih punya kesempatan menciptakan terobosan untuk mengawal integritas pilkada tanpa melanggar ketentuan Pasal 158 UU No 8/2015. MK dapat memperluas tafsir kewenangan memeriksa hasil penghitungan yang diamanatkanUU dengan mempertimbangkan aspek indikasi kuat adanya pelanggaran TSM sebagai variabel penentu keabsahan permohonan sengketa. Begitulah cara MK melepaskan pasung dan belenggu norma dalam UU demi keadilan elektoral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar