Episode Peradilan Pilkada
Ismail Hasani ;
Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Direktur Riset Setara Institute
|
KOMPAS,
13 Januari 2016
Peradilan pemilu merupakan elemen kunci yang harus tersedia
dalam sebuah mekanisme pemilihan yang berintegritas. Sementara sengketa
pemilu adalah arena untuk memeriksa kinerja penyelenggaraan pemilu guna
menjamin keadilan pemilu. Keadilan elektoral setidaknya berhubungan dengan
legalitas penyelenggaraan pemilu, administrasi pelaksanaan pemungutan suara,
integritas penyelenggaraan pemilu, penegakan hukum pemilu, dan legitimasi
hasil pemungutan suara.
Setelah pada 9 Desember 2015 pemilihan kepala daerah (pilkada)
serentak tahap I diselenggarakan, episode berikutnya penyelesaian
perselisihan hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK). Mengacu pada
rekapitulasi perkara yang diterima MK, ada 147 perkara perselisihan hasil
pilkada. Peradilan pilkada yang disediakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
sedianya ditujukan untuk memastikan integritas pilkada yang memberikan
keadilan elektoral bagi kontestan dan utamanya bagi warga negara. Namun,
mekanisme yang disediakan UU No 8/2015 berpotensi gagal menyempurnakan
integritas dan kualitas pilkada yang tak melimpahkan keadilan elektoral.
Potensi kegagalan mengawal keadilan elektoral bertolak dari
tidak diadopsinya prinsip nuncprotunc dalam UU No 8/2015, yang berarti bahwa
pengadilan dapat menerima sengketa pemilu meski batasan waktu yang ditentukan
sudah terlampaui, sepanjang ada bukti baru yang menunjukkan dugaan adanya
pelanggaran yang merusak integritas pemilu. Secara eksplisit prinsip ini
menunjukkan bahwa tugas utama peradilan pemilu adalah mewujudkan keadilan
elektoral sehingga integritas pemilu bisa dijaga, dengan menelisik setiap
kecurangan yang berkontribusi pada pemenangan seorang kandidat. Ruang untuk
memperoleh keadilan itu hilang karena MK hanya akan memeriksa rekapitulasi
penghitungan yang keliru. MK tak akan lagi memeriksa aneka kecurangan yang
terjadi sepanjang proses pilkada meskipun itu terjadi secara terstruktur,
sistematis, dan masif (TSM).
MK menegaskan hanya akan mengadili sengketa tentang selisih
suara hasil penghitungan suara yang dihasilkan KPUD dan tidak akan masuk ke
jenis perkara lain, tak terkecuali pelanggaran dalam pilkada yang mengandung
unsur tindak pidana. Padahal, secara substantif sangat dimungkinkan bahwa
tindak pidana pilkada yang terjadi merupakan faktor determinan kemenangan
atau kekalahan kandidat. MK memilih jalan pragmatis dan ingkar atas terobosan
yang pernah dibuatnya sendiri saat untuk pertama kali memeriksa dan
memperkenalkan jenis pelanggaran yang bersifat TSM yang dijadikan dasar untuk
memperoleh kebenaran materiil dalam mewujudkan keadilan elektoral.
Dalam Putusan MK No 41/PHPU.D-VI/2008 yang memutus sengketa
hasil pilkada di Jawa Timur, pada poin 4.4. hal 135, MK menegaskan: ”Dalam
mengadili perkara ini, Mahkamah tidak dapat dipasung hanya oleh ketentuan
undang-undang yang ditafsirkan secara sempit, yakni bahwa Mahkamah hanya boleh
menilai hasil pilkada dan melakukan penghitungan suara ulang dari berita
acara atau rekapitulasi yang dibuat secara resmi oleh KPU Provinsi Jawa
Timur, sebab kalau hanya berpedoman pada hasil penghitungan suara formal yang
dibuat oleh Termohon, [maka] tidak mewujudkan kebenaran materiil sehingga
akan sulit ditemukan keadilan.”
Selisih
maksimal
Jika secara materiil peradilan pilkada membatasi diri pada
penghitungan hasil, secara formal peradilan pilkada pada tahap awal akan
menggugurkan 123 permohonan dari 147 permohonan yang masuk ke MK. MK hanya
akan memeriksa pokok perkara 24 permohonan, satu kabupaten di antaranya
diajukan oleh dua pemohon, yakni Kabupaten Gorontalo. Pemohon dari enam
provinsi dipastikan tidak satu pun permohonannya yang akan diterima MK.
Putusan tidak diterimanya permohonan itu akan terjadi pada sidang pendahuluan
saat MK memeriksa syarat formal para pemohon. Jika tidak memenuhi syarat
formal, permohonannya dinyatakan tidak diterima.
Keabsahan pengajuan sengketa pilkada yang harus mengikuti
selisih maksimal hasil pemilihan dengan margin error yang amat tipis ini
diatur dalam UU No 8/2015 yang dijabarkan oleh MK pada Pasal 6 Ayat (1) dan
(2) PMK No 1/2015 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Ketentuan Pasal 158 UU No 8/2015
intinya menentukan bahwa syarat formal permohonan sengketa adalah jika
selisih perolehan suara yang diperoleh pemenang tidak melampaui batas
maksimal antara 0,5 persen-2 persen suara, bergantung jumlah penduduk pada
daerah pemilihan. Ketentuan ini ditujukan untuk menekan jumlah perkara yang
tak berkualitas beralih ke MK.
Selisih maksimal suara antara 0,5 persen-2 persen merupakan
bukti tidak digunakannya fakta selisih suara dalam pilkada yang selama ini
terjadi dalam pilkada atau bahkan dalam pilpres. Selisih suara yang cukup
besar dari 2 persen sekalipun dapat dibatalkan MK karena adanya kecurangan
TSM. Margin error yang sangat tipis sebagai syarat formal pengajuan sengketa
menunjukkan pembentuk UU terlalu yakin penyelenggara pilkada bekerja dengan
sangat akurat, steril dari petahana, dan nihil kecurangan.
Peradilan pilkada hanya mengutamakan keterpenuhan kebutuhan
adanya mekanisme untuk menyelesaikan keberatan meski tak ditujukan untuk
menggali kebenaran materiil yang dapat membukukan keadilan elektoral. Peran
MK hanya memenuhi keharusan adanya mekanisme dan prosedur peradilan dalam
sebuah siklus pilkada. Kombinasi ketentuan batasan maksimal selisih dan
pilihan MK hanya memeriksa hasil penghitungan, berpotensi merusak integritas
pilkada, menghilangkan akses keadilan dan pelembagaan pelanggaran hak
konstitusional kontestan.
MK masih punya kesempatan menciptakan terobosan untuk mengawal
integritas pilkada tanpa melanggar ketentuan Pasal 158 UU No 8/2015. MK dapat
memperluas tafsir kewenangan memeriksa hasil penghitungan yang diamanatkanUU
dengan mempertimbangkan aspek indikasi kuat adanya pelanggaran TSM sebagai
variabel penentu keabsahan permohonan sengketa. Begitulah cara MK melepaskan
pasung dan belenggu norma dalam UU demi keadilan elektoral. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar