Menyelamatkan Gerakan Mahasiswa
Halili ; Dosen Universitas Negeri Yogyakarta;
Peneliti Setara Institute, Jakarta
|
KOMPAS,
12 Januari 2016
Berita pemberhentian mahasiswa yang dilakukan oleh Rektor
Universitas Negeri Jakarta atas Ronny Setiawan telah menyebar secara viral
dan menimbulkan keprihatinan yang sangat luas. Ketua BEM UNJ tersebut
diberhentikan karena kritik.
Dalam konsideran Surat Keputusan (SK) Rektor UNJ Nomor
1/SP/2016, Ronny dinilai pihak rektorat melakukan tindakan yang tergolong
sebagai perbuatan kejahatan berbasis teknologi, penghasutan, dan pencemaran
nama baik sehingga membuat dia diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua
BEM UNJ sekaligus mahasiswa. Dukungan atas Ronny pun meluas. Tanda pagar
#SaveRonny sempat menempati puncak trending topic. Petisi daring menggugat
rektor melalui situs Change.orgtak butuh waktu lama untuk menghimpun 50.000
lebih dukungan.
Setelah menuai respons publik yang luas di dunia maya, melalui
jalur islah kedua belah pihak yang ditandatangani padaRabu (6/1), Rektor UNJ
akhirnyabersedia mencabut SK pemberhentian Ronny. Kasus tersebut sejatinya
pelajaran pentingbagi semua, khususnya dunia kampus.
Pertama, di era demokrasi, represi atas mahasiswa oleh kampusnya
sendiri merupakan tindakan yang tidak memiliki basis justifikasi. Tindakan
Rektor UNJ mengeluarkan SK pemberhentian secara legal nyata-nyata
problematik. Hanya pengadilan yang dapat memutus seseorang melakukan tindak
pidana atau tidak. Secara moral-politik, kritik sekeras apa pun dari mahasiswa
harus dipandang sebagai kontrol terhadap kekuasaan.
Arus balik
publik
Kedua, media sosial telah membuat era kampus sebagai menara
gading sudah selesai. Penguasa tertinggi di kampus jangan sekali-kali
membayangkan bahwa setiap tindakan represi, sekecil apa pun, dapat diproteksi
dari penciuman publik. Perkembangan dunia maya telah memungkinkan setiap
informasi, serahasia apa pun, dapat menyebar dan menuai tanggapan publik.
Setiap arus kecil yang bertentangan dengan nurani dan keadilan bisa mengundang
gelombang arus balik publik yang jauh lebih besar.
Publik tidak akan hanya terpancing untuk menyelamatkan si lemah
yang menjadi obyek kezaliman penguasa kampus. Mereka justru akan menelisik
obyek yang dikritik. Kalau kritik itu berkaitan dengan penyelewengan
penggunaan anggaran, pembungkaman kritik tentu akan memantik tuntutan
pengungkapan penyelewengan yang mungkin terjadi.
Ketiga, kasus ini harus menjadi otokritik bagi mahasiswa dan
gerakan mahasiswa. Di satu sisi, kegenitan bermedia sosial telah memancing
tumbuhnya watak instan, tak terkecuali mahasiswa dan para kaum terdidik lain.
Padahal, keharusan untuk berpijak pada dan menelusuri kebenaran dalam isu
tertentu semestinya menjadi pembeda gerakan kaum intelektual. Kebenaran
itulah yang pada akhirnya harus menjadi arena dialektis para pihak melalui
penggunaan media sosial.
Gerakan
”melempem”
Di samping itu, keberanian penguasa kampus untuk memberhentikan
aktivis gerakan mahasiswa patut diduga dilatari oleh melempemnya gerakan
mahasiswa di situ. Ketika sebagian besar mahasiswa menunjukkan fenomena
apatisme dan menjerumuskan diri pada anomali serta pembiarannya, kritik pedas
dari segelintir orang atas abnormalitas akan dibaca sebagai anomali yang
harus diluruskan. Yang segelintir itu akan dengan mudah disingkirkan karena
”ketidaknormalannya”.
Dalam situasi itu, frasa gerakan mahasiswa tampaknya tak lagi
dipandang episentrum gerakan sosial yang menggentarkan. Premis ”mahasiswa
takut pada dosen, dosen takut pada dekan, dekan takut pada rektor, rektor takut
pada presiden, presiden takut pada mahasiswa” yang mengglorifikasi ruh
gerakan mahasiswa kini tak lebih sebagai nostalgia masa lalu.
Pelajaran puncaknya, gerakan mahasiswa harus segera
diselamatkan, baik secara struktural maupun kultural. Eksistensi gerakan
mahasiswa menemukan urgensinya sebab gerakan sosial kaum intelektual (baca:
dosen) berbasis kampus telah lebih dulu mati suri. Sebagaimana diulas Agus
Suwignyo, ”Kosongnya Kampus Kita” (Kompas, 30 Oktober 2013), kampus-kampus
perguruan tinggi di Indonesia belakangan kosong sebab para dosen melakukan
eksodus dalam tiga bentuk: menjadi politisi dan pejabat birokrasi pemerintah;
berorientasi menjadi pejabat struktural kampus; dan menjadikan tuntutan
administratif karier, seperti kepangkatan, sertifikasi, dan lembar kinerja,
sebagai pencapaian puncak produktivitas.
Hal itu tidak hanya menjelaskan terjadinya pergeseran nilai
asketisme intelektual yang diidentifikasi oleh Agus Suwignyo, tetapi
sekaligus memupus kemungkinan lahirnya gerakan-gerakan sosial inspiratif dari
para dosen. Sebagian besar dosen memilih ”jalan aman”, klientelis, dan
super-pragmatis untuk memuluskan orientasi-orientasi non-intelektualnya.
Gerakan UI Bersih yang dimotori para dosen senior yang berhasil ”mendongkel”
rektor dan mengungkap korupsi di Kampus UI sungguh contoh yang sangat langka.
Jika situasi tersebut berturutan dengan matinya gerakan
mahasiswa, kampus semakin sulit untuk kita harapkan menjadi lokomotif moral
dan intelektual bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar