Rabu, 13 Januari 2016

Menyelamatkan Gerakan Mahasiswa

Menyelamatkan Gerakan Mahasiswa

Halili   ;  Dosen Universitas Negeri Yogyakarta; Peneliti Setara Institute, Jakarta
                                                       KOMPAS, 12 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Berita pemberhentian mahasiswa yang dilakukan oleh Rektor Universitas Negeri Jakarta atas Ronny Setiawan telah menyebar secara viral dan menimbulkan keprihatinan yang sangat luas. Ketua BEM UNJ tersebut diberhentikan karena kritik.

Dalam konsideran Surat Keputusan (SK) Rektor UNJ Nomor 1/SP/2016, Ronny dinilai pihak rektorat melakukan tindakan yang tergolong sebagai perbuatan kejahatan berbasis teknologi, penghasutan, dan pencemaran nama baik sehingga membuat dia diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua BEM UNJ sekaligus mahasiswa. Dukungan atas Ronny pun meluas. Tanda pagar #SaveRonny sempat menempati puncak trending topic. Petisi daring menggugat rektor melalui situs Change.orgtak butuh waktu lama untuk menghimpun 50.000 lebih dukungan.

Setelah menuai respons publik yang luas di dunia maya, melalui jalur islah kedua belah pihak yang ditandatangani padaRabu (6/1), Rektor UNJ akhirnyabersedia mencabut SK pemberhentian Ronny. Kasus tersebut sejatinya pelajaran pentingbagi semua, khususnya dunia kampus.

Pertama, di era demokrasi, represi atas mahasiswa oleh kampusnya sendiri merupakan tindakan yang tidak memiliki basis justifikasi. Tindakan Rektor UNJ mengeluarkan SK pemberhentian secara legal nyata-nyata problematik. Hanya pengadilan yang dapat memutus seseorang melakukan tindak pidana atau tidak. Secara moral-politik, kritik sekeras apa pun dari mahasiswa harus dipandang sebagai kontrol terhadap kekuasaan.

Arus balik publik

Kedua, media sosial telah membuat era kampus sebagai menara gading sudah selesai. Penguasa tertinggi di kampus jangan sekali-kali membayangkan bahwa setiap tindakan represi, sekecil apa pun, dapat diproteksi dari penciuman publik. Perkembangan dunia maya telah memungkinkan setiap informasi, serahasia apa pun, dapat menyebar dan menuai tanggapan publik. Setiap arus kecil yang bertentangan dengan nurani dan keadilan bisa mengundang gelombang arus balik publik yang jauh lebih besar.

Publik tidak akan hanya terpancing untuk menyelamatkan si lemah yang menjadi obyek kezaliman penguasa kampus. Mereka justru akan menelisik obyek yang dikritik. Kalau kritik itu berkaitan dengan penyelewengan penggunaan anggaran, pembungkaman kritik tentu akan memantik tuntutan pengungkapan penyelewengan yang mungkin terjadi.

Ketiga, kasus ini harus menjadi otokritik bagi mahasiswa dan gerakan mahasiswa. Di satu sisi, kegenitan bermedia sosial telah memancing tumbuhnya watak instan, tak terkecuali mahasiswa dan para kaum terdidik lain. Padahal, keharusan untuk berpijak pada dan menelusuri kebenaran dalam isu tertentu semestinya menjadi pembeda gerakan kaum intelektual. Kebenaran itulah yang pada akhirnya harus menjadi arena dialektis para pihak melalui penggunaan media sosial.

Gerakan ”melempem”

Di samping itu, keberanian penguasa kampus untuk memberhentikan aktivis gerakan mahasiswa patut diduga dilatari oleh melempemnya gerakan mahasiswa di situ. Ketika sebagian besar mahasiswa menunjukkan fenomena apatisme dan menjerumuskan diri pada anomali serta pembiarannya, kritik pedas dari segelintir orang atas abnormalitas akan dibaca sebagai anomali yang harus diluruskan. Yang segelintir itu akan dengan mudah disingkirkan karena ”ketidaknormalannya”.

Dalam situasi itu, frasa gerakan mahasiswa tampaknya tak lagi dipandang episentrum gerakan sosial yang menggentarkan. Premis ”mahasiswa takut pada dosen, dosen takut pada dekan, dekan takut pada rektor, rektor takut pada presiden, presiden takut pada mahasiswa” yang mengglorifikasi ruh gerakan mahasiswa kini tak lebih sebagai nostalgia masa lalu.

Pelajaran puncaknya, gerakan mahasiswa harus segera diselamatkan, baik secara struktural maupun kultural. Eksistensi gerakan mahasiswa menemukan urgensinya sebab gerakan sosial kaum intelektual (baca: dosen) berbasis kampus telah lebih dulu mati suri. Sebagaimana diulas Agus Suwignyo, ”Kosongnya Kampus Kita” (Kompas, 30 Oktober 2013), kampus-kampus perguruan tinggi di Indonesia belakangan kosong sebab para dosen melakukan eksodus dalam tiga bentuk: menjadi politisi dan pejabat birokrasi pemerintah; berorientasi menjadi pejabat struktural kampus; dan menjadikan tuntutan administratif karier, seperti kepangkatan, sertifikasi, dan lembar kinerja, sebagai pencapaian puncak produktivitas.

Hal itu tidak hanya menjelaskan terjadinya pergeseran nilai asketisme intelektual yang diidentifikasi oleh Agus Suwignyo, tetapi sekaligus memupus kemungkinan lahirnya gerakan-gerakan sosial inspiratif dari para dosen. Sebagian besar dosen memilih ”jalan aman”, klientelis, dan super-pragmatis untuk memuluskan orientasi-orientasi non-intelektualnya. Gerakan UI Bersih yang dimotori para dosen senior yang berhasil ”mendongkel” rektor dan mengungkap korupsi di Kampus UI sungguh contoh yang sangat langka.

Jika situasi tersebut berturutan dengan matinya gerakan mahasiswa, kampus semakin sulit untuk kita harapkan menjadi lokomotif moral dan intelektual bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar