80 Tahun Jarak Kebudayaan
Acep Iwan Saidi ; Dosen Desain dan Kebudayaan Sekolah
Pascasarjana ITB
|
KOMPAS,
11 Januari 2016
Tahun 2015, tentu, merupakan masa dengan kisahnya sendiri. Meski
demikian, tentu pula bukan narasi yang terputus dari era sebelumnya. Ambilah
hubungan yang terdekat dengan tahun 2014. Berbagai pihak menyebut tahun 2014
sebagai tahun politik sebab pada tahun itu di dunia politik sedang
diselenggarakan hajatan besar pemilihan presiden.
Tahun 2015, Sang Presiden sudah terpilih dan bisa dibilang
sedang menghadapi masa sulit karena hadangan berbagai rintangan; sesuatu yang
lumrah saja dihadapi pemimpin baru. Urusan presiden pasti bukan hanya
mengelola pemerintahan dan soal-soal kenegaraan, melainkan juga harus piawai
memegang perisai dan pedang politik. Namun, apakah tahun 2015 masih bisa
disebut tahun politik?
Matinya politik
Saya sendiri ingin menyebutnya sebagai tahun kematian politik.
Penandanya, secara semiotik tampak pada foto headline harian ini (Kompas,
8/12/2015). Di situ tampak pose dua orang pemimpin sedang berhadapan. Di
sebelah kiri, Presiden Joko Widodo tampak berbicara serius. Telunjuk kanannya
yang diacungkan adalah indeks dari tindakan memberi peringatan. Wajahnya agak
menunduk, tetapi tidak ada kesan ramah sedikit pun sebagaimana biasanya
diperlihatkan Jokowi dalam keseharian. Posenya yang diambil menyamping
memberi kesan sedang tidak peduli pada keadaan di sekelilingnya. Inilah
gestur kemarahan yang ditekan. Presiden marah sebab namanya dicatut untuk mengembik
sejumlah saham ke PT Freeport Indonesia.
Sementara itu, di bagian kanan diletakkan foto Ketua DPR Setya
Novanto dalam pose yang berhadapan dengan Jokowi. Matanya menatap cemas.
Wajahnya berpaling menghindari tatapan sejumlah wartawan yang mengacungkan
alat perekam. Sementara tangannya dilipat ke depan dengan jari-jari saling
terselip, sebuah gestur yang merepresentasikan hilangnya rasa percaya diri.
Novanto, kita tahu, adalah pihak yang disebut sebagai Si Pencatut.
Foto headline yang
menampilkan dua sosok pemimpin dengan pose sedemikian kiranyamerupakan yang
pertama dalam sejarah Indonesia. Hal ini, hemat saya, merupakan salah satu
catatan kelam dalam manajemen politik dan lembaga kenegaraan kita. Bagaimana
tidak, dua pucuk pimpinan representasi rakyat bertentangan di ruang publik:
yang satu mencatut nama, yang lain marah karena dicatut.
Tentu bukan pencatutan dan kemarahan itu benar yang menyebabkan
dua pose pemimpin tersebut diletakkan sebagai sebuah headline sedemikian.
Pose itu hadir karena proses penyelesaian masalah tersebut justru mengundang
masalah baru yang lebih parah. Seperti diketahui, DPR, cq Mahkamah Kehormatan
Dewan (MKD), telah menyelesaikan kasus pelanggaran etika tersebut melalui
cara-cara yang justru tanpa etika. Sidang Novanto berlangsung tertutup,
sedangkan dua yang lain, Sudirman Said (Sang Pengadu) dan Maroef Sjamsoeddin
(Sang Perekam) digelar terbuka. Ini tentu sangat janggal. Namun, barangsiapa
menonton persidangan ini, tanpa menggunakan perangkat analisis apa pun,
segera akan maklum: sidang perkara Novanto bukanlah sidang etika, melainkan
sidang politik, yakni politik yang tanpa etika.
Tidak ada politik sesungguhnya jika tanpa etika. Sebab, bukankah
politik sejatinya adalah jalan ”metaforik” yang membuat segalanya ”estetis dan
etis”, bahkan jika fakta segalanya tersebut kotor. Di situ, politik
membutuhkan daya intelektualitas, kekuatan kreativitas. Sementara yang
ditunjukkan MKD justru cara sebaliknya. Secara semiotik, sidang MKD adalah
indeks dari hilangnya nalar intelektual dan sirnanya daya kreatif sehingga
tekanan publik dilawan dengan cara nirnalar. Mereka lupa bahwa dengan sidang
tertutup Novanto yang janggal sedemikian justru membuat segalanya terbuka.
Baju yang dipakai seseorang bukankah malah sering menelanjangi orang tersebut.
Hilangnya kesadaranitulah yang ingin saya sebut sebagai matinya politik.
Daulat manusia
Matinya politik sedemikian meniscayakan bangkitnya kekuatan
publik (rakyat). Ini terbukti, sekali lagi, dalam kasus MKD. Sebagaimana kita
saksikan bersama, sidang itu berujung pada pengunduran diri Novanto. Hal ini
berarti kekuatan publik telah melampaui tindakan apolitik MKD. Dengan kata
lain, politik telah tidak ada di situ. Politik telah mati.
Fakta matinya politik seperti itu mau tidak mau menyebabkan kita
harus memperlebar ruang diskusi. Soalnya, ia menjadi bukan melulu masalah
politik, melainkan menjadi persoalan kebudayaan. Bukankah cara vulgar MKD
merupakan representasi dari individu atau kelompok manusia yang tidak
berbudaya. Kebudayaan, jika kita mengacu pada pengertian sederhana saja,
adalah budhi (kehalusan perilaku dan nilai) dan daya (energi kreatif). Maka,
di manakah letaknya dua hal ini dalam diri para Yang Mulia MKD. Dalam bahasa
yang lebih simpel, di mana posisi manusia dan kemanusiaan?
Delapan puluh tahun lalu, sekelompok cendekiawan sekaligus
pejuang kemerdekaan bangsa ini berpolemik memperkarakan kebudayaan dalam
lapis paling mendasar, yakni manusia. Kala itu, Sutan Takdir Alisyahbana
(STA) bersama kawan danlawan polemiknya menyoal tentang sosok manusia baru
Indonesia. Kiranya tidak penting mengingat dan menganalisis siapa mengatakan
apa dalam polemik tersebut. Hal yang harus digarisbawahi adalah fakta bahwa
dalam sejarah kebangsaan ini kebudayaan menjadi fondasi bagi kehidupan
berbangsa.
Politik berbangsa dengan demikian harus ditempatkan dalam
konteks budaya. Kita tahu bahwa polemik kebudayaan tahun 1935 hakikatnya
adalah representasi dari imajinasi tentang manusia yang diandaikan ideal
menghuni Indonesia yang kelak (perspektif zaman itu) merdeka. Manusia yang
berdaulat dalam negara berdaulat adalah manusia yang berbudaya. Dengan
demikian, kebudayaan adalah sesuatu yang dialami, yang terlibat, dan lebih
jauh lagi sebagai yang menubuh. Melihat semua yang terlibat dalam polemik
tersebut dapat disimpulkan bahwa pada zaman itu keyakinan terhadap kebudayaan
memang demikian.
Setelah 80
tahun
Kini, 80 tahun kemudian, situasinya tampak berbanding terbalik.
Kasus MKD adalah contoh bahwa kebudayaan tidak hadir di dalam politik. Contoh
lain adalah RUU Kebudayaan yang disahkan sebagai Rancangan Undang-Undang
Inisiatif DPR. UU ini adalah penanda bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang
”jauh di sana”, di luar diri. Terlepas dari materi undang-undang tersebut
yang minor, pensisteman kebudayaan adalah reduksi atas kebudayaan itu
sendiri.
Situasinya menjadi bertambah menyedihkan karena pada ranah
akademik halnya juga sama. Berbagai penelitian tentang kebudayaan menyebabkan
kebudayaan berada di dalam jarak. Dan, jarak ini menjadi kian jauh karena
perangkat metodologis yang dipakai untuk menganalisisnya merupakan pinjaman
dari Barat—yang memang mau tak mau mesti dipakai dalam kaitan dengan sistem
pendidikan modern. Akibatnya, berbagai metode yang gagah itu justru membuat
kebudayaan sebagai obyek menjadi kian kecil dan terpencil. Pada posisi
seperti itu, kebudayaan dapat dijelaskan para akademisi dengan detail dan
canggih, tetapi semuanya kering, tak bergreget.
Karena di level pembuat kebijakan dan akademisi, juga sebagian
pemikir, kebudayaan telah ditempatkan dalam jarak seperti itu, masyarakat
secara umum pun demikian. Sebagian besar bahkanberpendapat bahwa kebudayaan
adalahgarapan budayawan saja. Sebagian lain hanya tahu bahwa kebudayaan
adalah hal yang menyangkut kesenian. Kita lupa bahwa, manakala berbicara
kebudayaan, kala itu kita sedang berbicara tentang diri sendiri. Sebegitu
jauh bangsa ini telah memisahkan kebudayaan dari diri kita, barangkali telah
80 tahun sejak polemik 1935 itu. Quo
vadis bangsaku? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar