Rabu, 13 Januari 2016

80 Tahun Jarak Kebudayaan

80 Tahun Jarak Kebudayaan

Acep Iwan Saidi   ;  Dosen Desain dan Kebudayaan Sekolah Pascasarjana ITB
                                                       KOMPAS, 11 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Tahun 2015, tentu, merupakan masa dengan kisahnya sendiri. Meski demikian, tentu pula bukan narasi yang terputus dari era sebelumnya. Ambilah hubungan yang terdekat dengan tahun 2014. Berbagai pihak menyebut tahun 2014 sebagai tahun politik sebab pada tahun itu di dunia politik sedang diselenggarakan hajatan besar pemilihan presiden.

Tahun 2015, Sang Presiden sudah terpilih dan bisa dibilang sedang menghadapi masa sulit karena hadangan berbagai rintangan; sesuatu yang lumrah saja dihadapi pemimpin baru. Urusan presiden pasti bukan hanya mengelola pemerintahan dan soal-soal kenegaraan, melainkan juga harus piawai memegang perisai dan pedang politik. Namun, apakah tahun 2015 masih bisa disebut tahun politik?

Matinya politik

Saya sendiri ingin menyebutnya sebagai tahun kematian politik. Penandanya, secara semiotik tampak pada foto headline harian ini (Kompas, 8/12/2015). Di situ tampak pose dua orang pemimpin sedang berhadapan. Di sebelah kiri, Presiden Joko Widodo tampak berbicara serius. Telunjuk kanannya yang diacungkan adalah indeks dari tindakan memberi peringatan. Wajahnya agak menunduk, tetapi tidak ada kesan ramah sedikit pun sebagaimana biasanya diperlihatkan Jokowi dalam keseharian. Posenya yang diambil menyamping memberi kesan sedang tidak peduli pada keadaan di sekelilingnya. Inilah gestur kemarahan yang ditekan. Presiden marah sebab namanya dicatut untuk mengembik sejumlah saham ke PT Freeport Indonesia.

Sementara itu, di bagian kanan diletakkan foto Ketua DPR Setya Novanto dalam pose yang berhadapan dengan Jokowi. Matanya menatap cemas. Wajahnya berpaling menghindari tatapan sejumlah wartawan yang mengacungkan alat perekam. Sementara tangannya dilipat ke depan dengan jari-jari saling terselip, sebuah gestur yang merepresentasikan hilangnya rasa percaya diri. Novanto, kita tahu, adalah pihak yang disebut sebagai Si Pencatut.

Foto headline yang menampilkan dua sosok pemimpin dengan pose sedemikian kiranyamerupakan yang pertama dalam sejarah Indonesia. Hal ini, hemat saya, merupakan salah satu catatan kelam dalam manajemen politik dan lembaga kenegaraan kita. Bagaimana tidak, dua pucuk pimpinan representasi rakyat bertentangan di ruang publik: yang satu mencatut nama, yang lain marah karena dicatut.

Tentu bukan pencatutan dan kemarahan itu benar yang menyebabkan dua pose pemimpin tersebut diletakkan sebagai sebuah headline sedemikian. Pose itu hadir karena proses penyelesaian masalah tersebut justru mengundang masalah baru yang lebih parah. Seperti diketahui, DPR, cq Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), telah menyelesaikan kasus pelanggaran etika tersebut melalui cara-cara yang justru tanpa etika. Sidang Novanto berlangsung tertutup, sedangkan dua yang lain, Sudirman Said (Sang Pengadu) dan Maroef Sjamsoeddin (Sang Perekam) digelar terbuka. Ini tentu sangat janggal. Namun, barangsiapa menonton persidangan ini, tanpa menggunakan perangkat analisis apa pun, segera akan maklum: sidang perkara Novanto bukanlah sidang etika, melainkan sidang politik, yakni politik yang tanpa etika.

Tidak ada politik sesungguhnya jika tanpa etika. Sebab, bukankah politik sejatinya adalah jalan ”metaforik” yang membuat segalanya ”estetis dan etis”, bahkan jika fakta segalanya tersebut kotor. Di situ, politik membutuhkan daya intelektualitas, kekuatan kreativitas. Sementara yang ditunjukkan MKD justru cara sebaliknya. Secara semiotik, sidang MKD adalah indeks dari hilangnya nalar intelektual dan sirnanya daya kreatif sehingga tekanan publik dilawan dengan cara nirnalar. Mereka lupa bahwa dengan sidang tertutup Novanto yang janggal sedemikian justru membuat segalanya terbuka. Baju yang dipakai seseorang bukankah malah sering menelanjangi orang tersebut. Hilangnya kesadaranitulah yang ingin saya sebut sebagai matinya politik.

Daulat manusia

Matinya politik sedemikian meniscayakan bangkitnya kekuatan publik (rakyat). Ini terbukti, sekali lagi, dalam kasus MKD. Sebagaimana kita saksikan bersama, sidang itu berujung pada pengunduran diri Novanto. Hal ini berarti kekuatan publik telah melampaui tindakan apolitik MKD. Dengan kata lain, politik telah tidak ada di situ. Politik telah mati.

Fakta matinya politik seperti itu mau tidak mau menyebabkan kita harus memperlebar ruang diskusi. Soalnya, ia menjadi bukan melulu masalah politik, melainkan menjadi persoalan kebudayaan. Bukankah cara vulgar MKD merupakan representasi dari individu atau kelompok manusia yang tidak berbudaya. Kebudayaan, jika kita mengacu pada pengertian sederhana saja, adalah budhi (kehalusan perilaku dan nilai) dan daya (energi kreatif). Maka, di manakah letaknya dua hal ini dalam diri para Yang Mulia MKD. Dalam bahasa yang lebih simpel, di mana posisi manusia dan kemanusiaan?

Delapan puluh tahun lalu, sekelompok cendekiawan sekaligus pejuang kemerdekaan bangsa ini berpolemik memperkarakan kebudayaan dalam lapis paling mendasar, yakni manusia. Kala itu, Sutan Takdir Alisyahbana (STA) bersama kawan danlawan polemiknya menyoal tentang sosok manusia baru Indonesia. Kiranya tidak penting mengingat dan menganalisis siapa mengatakan apa dalam polemik tersebut. Hal yang harus digarisbawahi adalah fakta bahwa dalam sejarah kebangsaan ini kebudayaan menjadi fondasi bagi kehidupan berbangsa.

Politik berbangsa dengan demikian harus ditempatkan dalam konteks budaya. Kita tahu bahwa polemik kebudayaan tahun 1935 hakikatnya adalah representasi dari imajinasi tentang manusia yang diandaikan ideal menghuni Indonesia yang kelak (perspektif zaman itu) merdeka. Manusia yang berdaulat dalam negara berdaulat adalah manusia yang berbudaya. Dengan demikian, kebudayaan adalah sesuatu yang dialami, yang terlibat, dan lebih jauh lagi sebagai yang menubuh. Melihat semua yang terlibat dalam polemik tersebut dapat disimpulkan bahwa pada zaman itu keyakinan terhadap kebudayaan memang demikian.

Setelah 80 tahun

Kini, 80 tahun kemudian, situasinya tampak berbanding terbalik. Kasus MKD adalah contoh bahwa kebudayaan tidak hadir di dalam politik. Contoh lain adalah RUU Kebudayaan yang disahkan sebagai Rancangan Undang-Undang Inisiatif DPR. UU ini adalah penanda bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang ”jauh di sana”, di luar diri. Terlepas dari materi undang-undang tersebut yang minor, pensisteman kebudayaan adalah reduksi atas kebudayaan itu sendiri.

Situasinya menjadi bertambah menyedihkan karena pada ranah akademik halnya juga sama. Berbagai penelitian tentang kebudayaan menyebabkan kebudayaan berada di dalam jarak. Dan, jarak ini menjadi kian jauh karena perangkat metodologis yang dipakai untuk menganalisisnya merupakan pinjaman dari Barat—yang memang mau tak mau mesti dipakai dalam kaitan dengan sistem pendidikan modern. Akibatnya, berbagai metode yang gagah itu justru membuat kebudayaan sebagai obyek menjadi kian kecil dan terpencil. Pada posisi seperti itu, kebudayaan dapat dijelaskan para akademisi dengan detail dan canggih, tetapi semuanya kering, tak bergreget.

Karena di level pembuat kebijakan dan akademisi, juga sebagian pemikir, kebudayaan telah ditempatkan dalam jarak seperti itu, masyarakat secara umum pun demikian. Sebagian besar bahkanberpendapat bahwa kebudayaan adalahgarapan budayawan saja. Sebagian lain hanya tahu bahwa kebudayaan adalah hal yang menyangkut kesenian. Kita lupa bahwa, manakala berbicara kebudayaan, kala itu kita sedang berbicara tentang diri sendiri. Sebegitu jauh bangsa ini telah memisahkan kebudayaan dari diri kita, barangkali telah 80 tahun sejak polemik 1935 itu. Quo vadis bangsaku?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar