Jumat, 08 Januari 2016

Meniti Amnesti

Meniti Amnesti

A Ahsin Thohari  ;  Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, Jakarta
                                                       KOMPAS, 08 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Presiden Joko Widodo berencana memberikan amnesti kepada kelompok bersenjata Nurdin bin Ismail alias Din Minimi di Provinsi Aceh dan kelompok lain di luar Aceh.  Sebelumnya, Senin (28/12/2015) malam, Din Minimi menyerahkan diri kepada Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso di pedalaman Peureulak, Aceh Timur. Din yang turun bersama 30 pengikutnya menyerahkan 15 pucuk senjata api dan sekarung amunisi kepada Sutiyoso. Sebagai imbalannya, Din meminta amnesti terhadap anggotanya sebanyak 120 orang dan 30 orang yang sudah ditahan polisi.

Presiden Jokowi merespons tuntutan itu dengan mempertimbangkan pelbagai aspek. Untuk meniti jalan menuju amnesti, Jokowi melontarkan isu pembangunan menjadi instrumen justifikasi utama karena pembangunan tidak dapat terwujud tanpa persatuan dan kesatuan. Jokowi juga lebih mengedepankan dialog kepada kelompok separatis bersenjata sebagai salah satu wujud pendekatan kemanusiaan.

Pendek kata, pendekatan kesejahteraan jelas sekali lebih dipilih Jokowi untuk menyelesaikan separatisme daripada memelihara permusuhan berkepanjangan.

Nalar hukum amnesti

Amnesti (berasal dari istilah Yunani amnestia yang berarti kelupaan) dipahami sebagai pengampunan secara resmi yang diberikan oleh pemerintah (biasanya kepala negara) kepada kelompok tertentu yang telah melakukan tindak pidana politik. Resultan penting amnesti adalah semua akibat hukum pidana yang menjadi konsekuensi kejahatan ditiadakan, dilupakan. Sederhananya, amnesti menghapus akibat hukum suatu tindak pidana. Hal ini dibedakan dengan abolisi yang berarti meniadakan penuntutan atas pelaku tindak pidana.     

Politik amnesti berjalan di atas nalar hukum bahwa menjadikan warga negara bertindak di jalan benar di masa yang akan datang adalah jauh lebih penting ketimbang menghukumnya lantaran kejahatan di masa lalu.

Pemberian amnesti kepada kelompok separatis bersenjata merupakan insentif untuk meredam pemberontakan dan dapat meretas jalan damai karena amnesti lebih dipahami sebagai kebebasan dan pemulihan (freedom and restoration) daripada pelupaan kejahatan dan kekebalan hukum (oblivion and impunity).

 Merujuk Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945, Presiden memiliki kewenangan memberikan amnesti dengan memerhatikan pertimbangan DPR.  Di tingkat undang-undang, kita memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi yang merupakan politik hukum pengampunan atas semua orang yang sebelum 27 Desember 1949 (tanggal berdirinya Republik Indonesia Serikat) telah melakukan tindak pidana akibat sengketa politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda.

Undang-undang yang dibentuk di masa Menteri Kehakiman Djody Gondokusumo itu tak tersentuh perubahan hingga kini. Padahal, undang-undang ini jelas tidak lagi sanggup menangkap denyut perubahan politik dan hukum. Akibatnya, setiap ada rencana pemberian amnesti selalu dihantui kekaburan landasan hukum, khususnya menyangkut ukuran-ukuran obyektif persyaratan pemberian amnesti.

Semua presiden terdahulu di negeri ini pernah menggunakan kewenangan konstitusional amnesti ini. Soekarno pernah memberikan amnesti dan abolisi kepada kelompok yang tersangkut pemberontakan Daud Bereuh, DI/TII Kahar Muzakar, PRRI/Permesta, Kartosuwiryo, dan Republik Maluku Selatan. Soeharto pernah memberikan amnesti dan abolisi kepada kelompok Fretilin di Timor Timur.

Pada era Reformasi, BJ Habibie memberikan amnesti dan abolisi kepada Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan, dan tahanan politik Papua (Hendrikus Kowip, Kasiwirus Iwop, dan Benediktus Kuawamba). Adapun Abdurrahman "Gus Dur" Wahid memberikan amnesti dan abolisi kepada aktivis Partai Rakyat Demokratik (salah satunya Budiman Sudjatmiko), aktivis Timor Timur, dan aktivis Islam.

Terakhir, Susilo Bambang Yudhoyono pernah memberikan amnesti kepada lebih dari seribu orang aktivis Gerakan Aceh Merdeka pasca penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

Manfaat dan mudarat

Ibarat pedang bermata dua, amnesti merupakan peranti hukum yang punya dua sisi manfaat sekaligus mudarat dalam satu tarikan napas. Ia mengandung manfaat karena negara terhindar dari biaya tinggi penegakan hukum mulai dari penyelidikan/penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan, pemeriksaan/putusan di pengadilan, dan pembinaan di lembaga pemasyarakatan.

Tidak hanya itu, amnesti bahkan juga mendorong terciptanya rekonsiliasi antara pelaku di satu sisi dan pemerintah bersama-sama masyarakat pada sisi lain. Itu untuk menatap masa depan lebih baik dan berdampingan secara damai dengan melupakan semua luka yang menggurat di antara keduanya. 

Akan tetapi, jangan lupa, amnesti juga mengandung mudarat manakala dikaitkan dengan rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan masyarakat menyangkut hubungan yang setara antara individu dan masyarakat berkenaan dengan distribusi hal-hal yang dapat dirasakan, baik berwujud maupun tak berwujud untuk aktivitas individu dalam hubungannya dengan eksistensinya saat mengarungi kehidupan bermasyarakat.

Aristoteles dalam The Politics menggambarkan fungsi rasa keadilan masyarakat berperan besar dalam memberikan jaminan bahwa individu terpenuhi peran sosialnya sekaligus-menurut Mary T Clarks (2015)-memperoleh apa yang menjadi haknya dalam masyarakat.

Neraca Jokowi dalam menimbang pemberian amnesti ada di tengah-tengah antara bobot rekonsiliasi yang melempengkan jalan pembangunan di satu kutub dan bobot rasa keadilan masyarakat yang harus dipenuhi agar peran sosialnya dapat optimal pada kutub yang lain.

Kearifan Presiden kita tunggu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar