Meniti
Amnesti
A Ahsin Thohari ; Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Trisakti, Jakarta
|
KOMPAS,
08 Januari 2016
Presiden Joko Widodo berencana memberikan amnesti kepada
kelompok bersenjata Nurdin bin Ismail alias Din Minimi di Provinsi Aceh dan
kelompok lain di luar Aceh. Sebelumnya,
Senin (28/12/2015) malam, Din Minimi menyerahkan diri kepada Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso di pedalaman Peureulak, Aceh Timur. Din yang
turun bersama 30 pengikutnya menyerahkan 15 pucuk senjata api dan sekarung
amunisi kepada Sutiyoso. Sebagai imbalannya, Din meminta amnesti terhadap
anggotanya sebanyak 120 orang dan 30 orang yang sudah ditahan polisi.
Presiden Jokowi merespons tuntutan itu dengan mempertimbangkan
pelbagai aspek. Untuk meniti jalan menuju amnesti, Jokowi melontarkan isu
pembangunan menjadi instrumen justifikasi utama karena pembangunan tidak
dapat terwujud tanpa persatuan dan kesatuan. Jokowi juga lebih mengedepankan
dialog kepada kelompok separatis bersenjata sebagai salah satu wujud
pendekatan kemanusiaan.
Pendek kata, pendekatan kesejahteraan jelas sekali lebih dipilih
Jokowi untuk menyelesaikan separatisme daripada memelihara permusuhan
berkepanjangan.
Nalar hukum
amnesti
Amnesti (berasal dari istilah Yunani amnestia yang berarti
kelupaan) dipahami sebagai pengampunan secara resmi yang diberikan oleh
pemerintah (biasanya kepala negara) kepada kelompok tertentu yang telah
melakukan tindak pidana politik. Resultan penting amnesti adalah semua akibat
hukum pidana yang menjadi konsekuensi kejahatan ditiadakan, dilupakan.
Sederhananya, amnesti menghapus akibat hukum suatu tindak pidana. Hal ini
dibedakan dengan abolisi yang berarti meniadakan penuntutan atas pelaku
tindak pidana.
Politik amnesti berjalan di atas nalar hukum bahwa menjadikan
warga negara bertindak di jalan benar di masa yang akan datang adalah jauh
lebih penting ketimbang menghukumnya lantaran kejahatan di masa lalu.
Pemberian amnesti kepada kelompok separatis bersenjata merupakan
insentif untuk meredam pemberontakan dan dapat meretas jalan damai karena
amnesti lebih dipahami sebagai kebebasan dan pemulihan (freedom and restoration) daripada pelupaan kejahatan dan
kekebalan hukum (oblivion and impunity).
Merujuk Pasal 14 Ayat (2)
UUD 1945, Presiden memiliki kewenangan memberikan amnesti dengan memerhatikan
pertimbangan DPR. Di tingkat
undang-undang, kita memiliki Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1954 tentang
Amnesti dan Abolisi yang merupakan politik hukum pengampunan atas semua orang
yang sebelum 27 Desember 1949 (tanggal berdirinya Republik Indonesia Serikat)
telah melakukan tindak pidana akibat sengketa politik antara Republik
Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda.
Undang-undang yang dibentuk di masa Menteri Kehakiman Djody
Gondokusumo itu tak tersentuh perubahan hingga kini. Padahal, undang-undang
ini jelas tidak lagi sanggup menangkap denyut perubahan politik dan hukum.
Akibatnya, setiap ada rencana pemberian amnesti selalu dihantui kekaburan
landasan hukum, khususnya menyangkut ukuran-ukuran obyektif persyaratan
pemberian amnesti.
Semua presiden terdahulu di negeri ini pernah menggunakan
kewenangan konstitusional amnesti ini. Soekarno pernah memberikan amnesti dan
abolisi kepada kelompok yang tersangkut pemberontakan Daud Bereuh, DI/TII
Kahar Muzakar, PRRI/Permesta, Kartosuwiryo, dan Republik Maluku Selatan.
Soeharto pernah memberikan amnesti dan abolisi kepada kelompok Fretilin di
Timor Timur.
Pada era Reformasi, BJ Habibie memberikan amnesti dan abolisi
kepada Sri Bintang Pamungkas, Muchtar Pakpahan, dan tahanan politik Papua
(Hendrikus Kowip, Kasiwirus Iwop, dan Benediktus Kuawamba). Adapun
Abdurrahman "Gus Dur" Wahid memberikan amnesti dan abolisi kepada
aktivis Partai Rakyat Demokratik (salah satunya Budiman Sudjatmiko), aktivis
Timor Timur, dan aktivis Islam.
Terakhir, Susilo Bambang Yudhoyono pernah memberikan amnesti
kepada lebih dari seribu orang aktivis Gerakan Aceh Merdeka pasca
penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.
Manfaat dan
mudarat
Ibarat pedang bermata dua, amnesti merupakan peranti hukum yang
punya dua sisi manfaat sekaligus mudarat dalam satu tarikan napas. Ia
mengandung manfaat karena negara terhindar dari biaya tinggi penegakan hukum
mulai dari penyelidikan/penyidikan di kepolisian, penuntutan di kejaksaan,
pemeriksaan/putusan di pengadilan, dan pembinaan di lembaga pemasyarakatan.
Tidak hanya itu, amnesti bahkan juga mendorong terciptanya
rekonsiliasi antara pelaku di satu sisi dan pemerintah bersama-sama
masyarakat pada sisi lain. Itu untuk menatap masa depan lebih baik dan
berdampingan secara damai dengan melupakan semua luka yang menggurat di
antara keduanya.
Akan tetapi, jangan lupa, amnesti juga mengandung mudarat
manakala dikaitkan dengan rasa keadilan masyarakat. Rasa keadilan masyarakat
menyangkut hubungan yang setara antara individu dan masyarakat berkenaan
dengan distribusi hal-hal yang dapat dirasakan, baik berwujud maupun tak
berwujud untuk aktivitas individu dalam hubungannya dengan eksistensinya saat
mengarungi kehidupan bermasyarakat.
Aristoteles dalam The Politics menggambarkan fungsi rasa
keadilan masyarakat berperan besar dalam memberikan jaminan bahwa individu
terpenuhi peran sosialnya sekaligus-menurut Mary T Clarks (2015)-memperoleh
apa yang menjadi haknya dalam masyarakat.
Neraca Jokowi dalam menimbang pemberian amnesti ada di
tengah-tengah antara bobot rekonsiliasi yang melempengkan jalan pembangunan
di satu kutub dan bobot rasa keadilan masyarakat yang harus dipenuhi agar
peran sosialnya dapat optimal pada kutub yang lain.
Kearifan Presiden kita tunggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar