Selasa, 12 Januari 2016

Bapak, Ibu, Bangunlah!

Bapak, Ibu, Bangunlah!

Yudhistira ANM Massardi  ;   Sastrawan;
Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi, Bekasi
KOMPAS,  12 Januari 2015

                                                                                                                       


SEBAGAI sebuah bangsa, kita kini tengah terbuai dalam mimpi indah.
Diramalkan, pada 2030 Indonesia berpotensi menjadi negara dengan ekonomi terbesar ketujuh di dunia. Pada dekade itu juga kita akan menikmati ”bonus demografi” karena sekitar 180 juta penduduk (70 persen) ada dalam usia produktif (15-64 tahun).

Proyeksi lain memperkirakan populasi Indonesia pada 2020 sebesar 287,9 juta jiwa. Potensi keunggulan Indonesia semakin membesar karena pada saat yang sama diprediksi justru profil penduduk sejumlah negara lain di Asia semakin menua: Jepang, Tiongkok, Singapura, Taiwan, dan terutama Korea Selatan, sehingga produktivitas mereka menurun.

Sekarang terpulang kepada kita apakah akan membiarkan semua potensi itu tetap merupakan mimpi indah atau hendak mewujudkannya sebagai kenyataan. Jika memilih yang pertama, maka lanjutkan tidur nyenyak. Kalau pilihannya yang kedua, maka wahai bapak, ibu, bangunlah!

Darah halal

Kita tahu, pada 2030 yang akan menjadi angkatan kerja paling potensial dan berada di tengah piramida kependudukan itu adalah para pemuda yang berusia 15-30 tahun. Mereka adalah anak-anak kita yang dilahirkan sejak tahun 2000 hingga hari-hari sekarang ini.

Jika demikian, pertanyaan introspektif pertama yang harus diajukan adalah: apakah mereka berasal dari gen yang bermutu sehingga akan menjadi generasi yang cerdas, kreatif, dan kuat menjadi tenaga pendorong pertumbuhan? Pertanyaan tersebut akan melahirkan rentetan pertanyaan berikutnya. Apakah mereka berasal dari sperma dan indung telur yang sehat dan bergizi? Apakah mereka terbuat dari darah halal yang berasal dari rezeki yang diridai Allah, dan tidak dikotori oleh korupsi dan narkoba?

Pertanyaan-pertanyaan harus terus dipertajam dan dilanjutkan. Apakah anak-anak itu dikandung dalam rahim bunda yang bahagia atau ibu yang penuh tekanan dan kesedihan? Apakah sang bunda hanya menelan makanan yang sehat, berserat, kaya protein, dan bebas dari yang instan? Apakah sang bunda selalu membawa janinnya ke dalam suasana yang tenang, damai, dan mengajaknya berdialog dengan percakapan yang penuh pembelajaran?

Apakah kemudian sang jabang bayi dilahirkan secara normal atau melalui rekayasa kedokteran? Setelah dilahirkan, apakah masa 40 hari pertamanya hangat dalam pelukan bunda dan mendapatkan air susu ibu? Apakah pada tahun pertama dan keduanya, saat terjadi penyambungan sel-sel di dalam otaknya, kedua orangtuanya memberikan rangsangan positif sehingga semua pengetahuan yang—meminjam bahasa komputer—di-install dan di-down load hanyalah program-program yang religius, humanistik, dan saintifik?

Selanjutnya adalah pertanyaan paling ”mematikan”: apakah setelah anak memasuki usia toddler (18-24 bulan), ayah dan bunda sibuk ”mengurus”-nya karena beranggapan bahwa itu merupakan perwujudan dari tanggung jawab dan kasih sayang orangtua terhadap anak? Jika jawabannya ”ya”, maka itulah awal dari pembunuhan karakter dan kecerdasan anak! Dengan sibuk ”mengurus” anak, maka ayah dan bunda bukannya menyayangi anak, melainkan berlaku zalim terhadapnya. Artinya, pada 2030 kita tidak akan memiliki generasi penerus yang bermutu dan unggul, tetapi generasi yang rentan dan gagal. Semua mimpi indah tadi akan berubah menjadi mimpi buruk!
                                                                                
Maka, bapak, ibu, bangunlah! Berhentilah mengurus anak! Mengurus anak adalah terus menyuapinya walau anak sudah berusia lebih dari lima tahun. Mengurus anak adalah selalu memakaikan celana, baju, dan sepatunya. Selalu mengancingkan baju dan mengikatkan tali sepatunya. Selalu memandikan, memilihkan pakaian, dan mendandaninya. Selalu menyiapkan tas, buku-buku, dan makanan bekalnya. Tidak memberi mereka kesempatan untuk belajar mandiri karena ayah-bunda tidak sabar melihat proses yang perlahan dan kadang berantakan.

Bapak, ibu, bangunlah anak, dan bukan mengurusinya! Membangun anak adalah memberinya sedikit kesulitan agar ia selamat di masa depan. Ajari anak-anak untuk bisa mengatasi setiap kesulitan sejak usia dini. Tidak terus dibantu, disuapi, dan dituntun. Anak-anak hanya perlu arahan, informasi yang lengkap, faktual, ilmiah, contoh konkret, dan dorongan semangat, bukan bantuan terus-menerus yang mematikan semangat dan merebut kesempatannya untuk belajar.

Menemukan pengetahuan serta pengalaman hidupnya yang otentik adalah proses pembelajaran yang sangat dibutuhkan anak, dan itu akan melekat secara permanen di dalam benaknya sebagai bangunan awal dari konsepnya tentang dunia. Ajaklah anak ikut bekerja di dapur. Ajaklah anak ikut mencuci mobil dan bongkar-pasang perabotan. Itulah arti dari ungkapan ”pengalaman adalah guru terbaik”.

Tepuk diam

Jika sudah waktunya, masukkanlah mereka ke sekolah usia dini yang mengajarkan tentang klasifikasi warna-bentuk-ukuran, ciri-tanda-sifat-habitat, sebab-akibat, fungsi-manfaat. Bukannya taman kanak-kanak yang memaksa anak untuk segera bisa membaca dan menulis, dan bahkan berbahasa Inggris, sementara bahasa ibu dan bahasa Indonesianya diabaikan.

Sekolah anak usia dini yang menggunakan metode pengajaran yang benar adalah yang membuat anak-anak bahagia, dan mendorong mereka untuk menemukan sendiri pengetahuan dasarnya melalui berbagai kegiatan main bebas dan main dengan aturan. Bukan memaksa mereka untuk duduk manis dan diam, dan menyuruh mereka tak bergerak dengan berbagai tipuan ”tepuk diam” atau ”tepuk anak soleh”. Sebab, terus bergerak adalah fitrah anak-anak usia di bawah tujuh tahun sesuai dengan tahap perkembangannya, sebagaimana dipetakan Jean Piaget.

Anak-anak perlu bergerak untuk belajar memahami dan berkomunikasi dengan dunia melalui pancaindranya. Mereka perlu membangun seluruh kecerdasan jamaknya sebagaimana dirumuskan Howard Gardner (logik-matematik, bahasa, tubuh, ruang, intrapersonal, interpersonal, musikal, natural, spiritual). Anak-anak harus dibangun kepercayaan dirinya. Dibangun inisiatif dan semangatnya untuk bereksplorasi. Dibangun keberaniannya untuk berekspresi, bereksperimen, dan belajar dari kesalahan.

Kita pun punya konsep pendidikan yang bagus dan mampu melewati zamannya yang diterapkan Ki Hajar Dewantara di Taman Siswa. Tiga filosofinya yang terkenal adalah fondasi bagi para guru dan orangtua untuk membangun kecerdasan anak dan karakter yang kuat: Di depan memberi teladan (ing ngarso sung tulodo), di tengah membangun semangat (ing madya mangun karsa), di belakang memberikan dukungan (tut wuri handayani).

Bahkan, pada 1903, dalam usia 24 tahun, RA Kartini sudah memiliki pandangan yang kukuh dan bernas tentang pendidikan. Katanya, ibu adalah ”pendidik pertama umat manusia. Di pangkuannya, anak pertama-tama belajar merasa, berpikir, berbicara.... Tangan ibulah yang pertama-tama meletakkan benih kebaikan dan kejahatan dalam hati manusia, yang tidak jarang dibawa sepanjang hidupnya. Tidak tanpa alasan orang mengatakan bahwa kebaikan dan kejahatan diminum bersama air susu ibu.”

Kartini menegaskan: ”Pendidikan yang baik bukan yang semata-mata didasarkan atas kecerdasan otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan pembentukan akhlak pula.… Tanpa pembentukan budi pekerti, pengajaran yang terbaik tidak akan menghasilkan buah yang sangat diharapkan dari pendidikan itu.” Maka, bapak, ibu, bangunlah anak-anak kita dengan pola dan cara yang lebih baik. Jangan belenggu anak-anak kita dengan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah secara tergesa-gesa. Bangunlah jiwa dan raga anak-anak kita secara merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar