Sabtu, 16 Januari 2016

Menekan Kasus ”Telantar”

Menekan Kasus ”Telantar”

Widjajalaksmi Kusumaningsih  ;   Pengajar dan Dokter Spesialis
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FKUI-RSCM, Jakarta
                                                       KOMPAS, 14 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Sesuai sumpah dokter, begitu menyangkut kesehatan manusia, pasien berada di bawah tanggung jawab seorang dokter. Dengan demikian, meski ada beragam profesi di bidang kesehatan—baik dalam bentuk pengobatan tradisional maupun alternatif—tanggung jawab terhadap pasien menjadi hak dan kewajiban seorang dokter.

Namun, kondisi ideal di atas tidak selalu terlaksana. Banyak masalah kesehatan muncul justru setelah pasien ditangani oleh profesi di luar kedokteran. Di antara banyak kasus yang masuk ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, ada Asep (25, bukan nama sebenarnya) yang bisa menjadi ilustrasi. Pengemudi Go-Jek ini mengalami kecelakaan lalu lintas dan terjatuh dari motornya. Saat berobat ke puskesmas, ia dinyatakan lumpuh lengan kanan tanpa gegar otak dan dirujuk ke rumah sakit besar dan lengkap untuk menanganinya.

Asep tidak pergi ke rumah sakit, tetapi mencari pengobatan ”lain”. Lengannya yang lumpuh ”dipijat” dan diberi olesan ”panas”. Setelah beberapa lama berobat, lengan dan jari-jarinya malah lumpuh total dan baal. Ketika akhirnya Asep ke rumah sakit dan diperiksa oleh tim dokter dari berbagai spesialisasi, disimpulkan kasus Asep adalah kasus neglected (telantar) yang diperberat dengan berbagai manipulasi akibat pengobatan lain.

Dalam ilmu kedokteran, kasus Asep disebut neglected cedera plexus brachialis kanan total. Setidaknya ada dua metode untuk mengatasinya: mempertahankan lengan kanan yang sudah lumpuh total atau mengorbankan lengan kanan yang lumpuh. Jika alternatif kedua yang dipilih, lengan Asep akan diamputasi dari sendi bahu, diganti dengan lengan palsu atau prosthesis dan dilatih untuk menggunakannya. Jika lengan dipertahankan, Asep dilatih menggunakan lengan kirinya untuk mengganti fungsi lengan kanan meski Asep bukan kidal.

Kasus neglected di atas tidak perlu terjadi jika Asep mengikuti saran dokter ke rumah sakit yang lebih lengkap peralatan ataupun dokternya. Kalau saja dokter yang melakukan dugaan ”malapraktik” ini, ia tentu tak lolos dari jeratan hukum. Akan tetapi, bagaimana jika yang melakukan kesalahan bukan seorang dokter?

Dokter diatur dan diawasi

Dokter dalam ilmu pengobatan modern harus belajar bertahun-tahun untuk memahami anatomi dan fisiologi tubuh manusia. Setelah lulus pun, tidak mudah bagi seorang dokter mendapatkan surat izin praktik, demikian pula untuk menjadi dokter spesialis. Dokter spesialis kandungan tidak berhak melakukan operasi katarak yang merupakan domain dokter spesialis mata. Jika seorang dokter melakukan kesalahan—disengaja ataupun tidak—ia akan mendapat hukuman karena pekerjaan seorang dokter berhubungan dengan nyawa manusia.

Pendidikan menjadi dokter memang membutuhkan waktu yang lama dan berat, tiap minggu ada ujian, tetapi ujian sesungguhnya adalah setelah menjadi dokter dengan tugas yang diembannya. Saat mahasiswa, ada dokter atasan, yaitu penanggung jawab atau pembimbing, sehingga tanggung jawab pasien berada pada atasannya. Akan tetapi, saat bertugas sebagai dokter, terutama di daerah, tiba-tiba para dokter muda yang baru lulus harus menjadi pemimpin perawat, bidan, dan lain-lain yang usianya jauh lebih tua.

Terkait kiprah dokter, Indonesia memiliki Undang-Undang Praktik Kedokteran. Termasuk jika dokter lulusan luar negeri hendak praktik di Indonesia, ia harus diuji kembali oleh majelis khusus. Begitu pula izin praktik dokter lulusan Indonesia tidak berlaku seumur hidup karena ada ujian kompetensi berkala.

Pada kasus Asep, terjadi kecacatan permanen akibat ”terapi” dari seseorang yang tidak mempunyai kompetensi. Dalam praktik sehari-hari penulis sebagai seorang dokter spesialis, jumlah kasus neglected ini cukup besar. Lebih memprihatinkan lagi karena Asep dan keluarganya adalah kaum ”tak bersuara”. Bandingkan dengan dugaan kasus malapraktik chiropractic yang sedang ramai dan telah merenggut nyawa pula.

Meski demikian, kenyataan menunjukkan bahwa sejak berabad-abad, turun-menurun, ada berbagai profesi yang bergerak di bidang kesehatan masyarakat. Di antaranya banyak yang tidak mendapat pendidikan formal seperti dokter, perawat, bidan, ataupun penata laksana kesehatan modern lain, seperti laboran, penata radiologi, dan terapis, seperti fisioterapis dan terapis wicara.

Mereka lebih dikenal sebagai dukun: dukun urut, dukun bayi, dukun patah tulang, dan seterusnya. Keahliannya diperoleh secara turun-temurun dan umumnya dihormati masyarakat karena memiliki kelebihan yang berasal dari Tuhan (gifted) dan bersifat supernatural.

Bangun komunikasi

Dokter di daerah harus luwes berkomunikasi dengan para pengobat tradisional yang sudah berjalan ratusan tahun ini. Pengalaman ketika praktik kerja, penulis mengajak mereka bekerja sama dan mengajarkan ilmu kesehatan yang mendasar: sanitasi dan higienisasi.

Mereka dengan tambahan pengetahuan, tetap terbuka kesempatan untuk membantu persalinan normal dan mendapat tugas tambahan untuk segera melapor bila ada dugaan komplikasi, sangat membantu dalam menolong ibu-ibu melahirkan karena dukun bayi tinggal di rumah ibu yang melahirkan, mengurus ibu dan bayinya, sekaligus membantu memasak dan membersihkan rumah. Suatu hal yang tidak dilakukan oleh bidan, apalagi seorang dokter.

Masyarakat amat percaya pada mereka dan menyebutnya sebagai ”orang pintar”. Maka, tugas dokter adalah berteman dengan mereka sambil mengajari sterilisasi alat, cuci tangan, termasuk mengajarkan menu makanan yang baik dan bergizi lebih untuk ibu hamil, ibu menyusui, ataupun bayi dan anak balita. Penting pula ”rekan kerja para dokter tersebut” dididik untuk memahami kasus-kasus berbahaya yang membutuhkan penanganan medis dan harus segera dibawa ke rumah sakit.

Pengalaman penulis selanjutnya dalam berinteraksi dengan sistem pengobatan lain di luar kedokteran adalah saat melanjutkan pendidikan S-2 di Amerika Serikat setelah lulus spesialisasi di bidang kedokteran fisik dan rehabilitasi. Ternyata di AS juga ada berbagai ”profesi” yang mengurus kesehatan manusia, seperti podiatrist, chiropractic. Bedanya dengan metode pengobatan tradisional di Indonesia, sistem pengobatan alternatif di AS berkembang dalam budaya Barat yang diajarkan lewat sekolah.

Maka, mereka yang menjalani profesi kesehatan lain memang ada yang berlatar belakang dokter, perawat, atau fisioterapis, tetapi lebih banyak bukan salah satu di atas. Mereka berpendidikan ala Barat dengan nalar dan bukti, mereka juga diakui oleh WHO, mereka juga bisa mencapai pendidikan tertinggi setara S-3 atau PhD. Akan tetapi, sekali lagi, menyangkut kesehatan manusia, mereka diajar untuk memahami bahwa pasien manusia adalah di bawah tanggung jawab seorang dokter, sesuai sumpah dokter.

Jadi, apa pun profesinya, apa pun pendidikannya, mereka memahami bahwa menyangkut tanggung jawab pasien, itu menjadi hak seorang dokter. Dengan kata lain, mereka bisa menempatkan posisinya dalam ruang lingkup pekerjaannya dan menghormati posisi dokter sebagai penanggung jawab utama.

Penulis juga pernah ke Tiongkok. Di sana, selain dokter dengan pendidikan ala Barat, juga ada dokter tradisional yang ilmunya telah ada sejak ribuan tahun lampau. Di rumah sakit, keduanya berdampingan dan saling melengkapi.

Oleh karena itu, menyikapi kasus chiropractic ini tidak sekadar menjadi pemadam kebakaran dengan menutup praktik ilegal, tetapi yang lebih penting lagi adalah bagaimana mengatur, mengawasi, dan menindak tegas jika dalam praktik pengobatan lain terjadi penyalahgunaan profesi dan pelanggaran medik.

Pada kenyataannya, hal-hal yang tidak diharapkan terjadi pada seorang manusia sakit (pasien) yang mencari pengobatan karena penanganan yang ”tidak kompeten” dan dilakukan oleh bukan ”penanggung jawab” legal (dokter) dari pasien tersebut. Hal tersebut tidak akan terjadi jika masing-masing bisa memosisikan diri pada kompetensi keahliannya dan siap dengan konsekuensi untuk bertanggung jawab secara legal.

Di atas semuanya, negara bertanggung jawab melindungi warganya sebagaimana diamanatkan undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar