Menekan Kasus ”Telantar”
Widjajalaksmi Kusumaningsih ;
Pengajar dan Dokter Spesialis
Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
FKUI-RSCM, Jakarta
|
KOMPAS,
14 Januari 2016
Sesuai sumpah dokter, begitu menyangkut kesehatan manusia,
pasien berada di bawah tanggung jawab seorang dokter. Dengan demikian, meski
ada beragam profesi di bidang kesehatan—baik dalam bentuk pengobatan
tradisional maupun alternatif—tanggung jawab terhadap pasien menjadi hak dan
kewajiban seorang dokter.
Namun, kondisi ideal di atas tidak selalu terlaksana. Banyak
masalah kesehatan muncul justru setelah pasien ditangani oleh profesi di luar
kedokteran. Di antara banyak kasus yang masuk ke Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, ada Asep (25, bukan nama sebenarnya) yang bisa menjadi ilustrasi.
Pengemudi Go-Jek ini mengalami kecelakaan lalu lintas dan terjatuh dari
motornya. Saat berobat ke puskesmas, ia dinyatakan lumpuh lengan kanan tanpa
gegar otak dan dirujuk ke rumah sakit besar dan lengkap untuk menanganinya.
Asep tidak pergi ke rumah sakit, tetapi mencari pengobatan
”lain”. Lengannya yang lumpuh ”dipijat” dan diberi olesan ”panas”. Setelah
beberapa lama berobat, lengan dan jari-jarinya malah lumpuh total dan baal.
Ketika akhirnya Asep ke rumah sakit dan diperiksa oleh tim dokter dari
berbagai spesialisasi, disimpulkan kasus Asep adalah kasus neglected
(telantar) yang diperberat dengan berbagai manipulasi akibat pengobatan lain.
Dalam ilmu kedokteran, kasus Asep disebut neglected cedera
plexus brachialis kanan total. Setidaknya ada dua metode untuk mengatasinya:
mempertahankan lengan kanan yang sudah lumpuh total atau mengorbankan lengan
kanan yang lumpuh. Jika alternatif kedua yang dipilih, lengan Asep akan
diamputasi dari sendi bahu, diganti dengan lengan palsu atau prosthesis dan dilatih
untuk menggunakannya. Jika lengan dipertahankan, Asep dilatih menggunakan
lengan kirinya untuk mengganti fungsi lengan kanan meski Asep bukan kidal.
Kasus neglected di atas tidak perlu terjadi jika Asep mengikuti
saran dokter ke rumah sakit yang lebih lengkap peralatan ataupun dokternya.
Kalau saja dokter yang melakukan dugaan ”malapraktik” ini, ia tentu tak lolos
dari jeratan hukum. Akan tetapi, bagaimana jika yang melakukan kesalahan
bukan seorang dokter?
Dokter diatur
dan diawasi
Dokter dalam ilmu pengobatan modern harus belajar bertahun-tahun
untuk memahami anatomi dan fisiologi tubuh manusia. Setelah lulus pun, tidak
mudah bagi seorang dokter mendapatkan surat izin praktik, demikian pula untuk
menjadi dokter spesialis. Dokter spesialis kandungan tidak berhak melakukan
operasi katarak yang merupakan domain dokter spesialis mata. Jika seorang
dokter melakukan kesalahan—disengaja ataupun tidak—ia akan mendapat hukuman
karena pekerjaan seorang dokter berhubungan dengan nyawa manusia.
Pendidikan menjadi dokter memang membutuhkan waktu yang lama dan
berat, tiap minggu ada ujian, tetapi ujian sesungguhnya adalah setelah
menjadi dokter dengan tugas yang diembannya. Saat mahasiswa, ada dokter
atasan, yaitu penanggung jawab atau pembimbing, sehingga tanggung jawab
pasien berada pada atasannya. Akan tetapi, saat bertugas sebagai dokter,
terutama di daerah, tiba-tiba para dokter muda yang baru lulus harus menjadi
pemimpin perawat, bidan, dan lain-lain yang usianya jauh lebih tua.
Terkait kiprah dokter, Indonesia memiliki Undang-Undang Praktik
Kedokteran. Termasuk jika dokter lulusan luar negeri hendak praktik di
Indonesia, ia harus diuji kembali oleh majelis khusus. Begitu pula izin
praktik dokter lulusan Indonesia tidak berlaku seumur hidup karena ada ujian
kompetensi berkala.
Pada kasus Asep, terjadi kecacatan permanen akibat ”terapi” dari
seseorang yang tidak mempunyai kompetensi. Dalam praktik sehari-hari penulis
sebagai seorang dokter spesialis, jumlah kasus neglected ini cukup besar.
Lebih memprihatinkan lagi karena Asep dan keluarganya adalah kaum ”tak
bersuara”. Bandingkan dengan dugaan kasus malapraktik chiropractic yang
sedang ramai dan telah merenggut nyawa pula.
Meski demikian, kenyataan menunjukkan bahwa sejak berabad-abad,
turun-menurun, ada berbagai profesi yang bergerak di bidang kesehatan
masyarakat. Di antaranya banyak yang tidak mendapat pendidikan formal seperti
dokter, perawat, bidan, ataupun penata laksana kesehatan modern lain, seperti
laboran, penata radiologi, dan terapis, seperti fisioterapis dan terapis
wicara.
Mereka lebih dikenal sebagai dukun: dukun urut, dukun bayi,
dukun patah tulang, dan seterusnya. Keahliannya diperoleh secara
turun-temurun dan umumnya dihormati masyarakat karena memiliki kelebihan yang
berasal dari Tuhan (gifted) dan
bersifat supernatural.
Bangun
komunikasi
Dokter di daerah harus luwes
berkomunikasi dengan para pengobat tradisional yang sudah berjalan ratusan
tahun ini. Pengalaman ketika praktik kerja, penulis mengajak mereka bekerja
sama dan mengajarkan ilmu kesehatan yang mendasar: sanitasi dan higienisasi.
Mereka dengan tambahan pengetahuan, tetap terbuka kesempatan
untuk membantu persalinan normal dan mendapat tugas tambahan untuk segera
melapor bila ada dugaan komplikasi, sangat membantu dalam menolong ibu-ibu
melahirkan karena dukun bayi tinggal di rumah ibu yang melahirkan, mengurus
ibu dan bayinya, sekaligus membantu memasak dan membersihkan rumah. Suatu hal
yang tidak dilakukan oleh bidan, apalagi seorang dokter.
Masyarakat amat percaya pada mereka dan menyebutnya sebagai
”orang pintar”. Maka, tugas dokter adalah berteman dengan mereka sambil
mengajari sterilisasi alat, cuci tangan, termasuk mengajarkan menu makanan
yang baik dan bergizi lebih untuk ibu hamil, ibu menyusui, ataupun bayi dan
anak balita. Penting pula ”rekan kerja para dokter tersebut” dididik untuk
memahami kasus-kasus berbahaya yang membutuhkan penanganan medis dan harus
segera dibawa ke rumah sakit.
Pengalaman penulis selanjutnya dalam berinteraksi dengan sistem
pengobatan lain di luar kedokteran adalah saat melanjutkan pendidikan S-2 di
Amerika Serikat setelah lulus spesialisasi di bidang kedokteran fisik dan
rehabilitasi. Ternyata di AS juga ada berbagai ”profesi” yang mengurus
kesehatan manusia, seperti podiatrist, chiropractic. Bedanya dengan metode
pengobatan tradisional di Indonesia, sistem pengobatan alternatif di AS
berkembang dalam budaya Barat yang diajarkan lewat sekolah.
Maka, mereka yang menjalani profesi kesehatan lain memang ada
yang berlatar belakang dokter, perawat, atau fisioterapis, tetapi lebih
banyak bukan salah satu di atas. Mereka berpendidikan ala Barat dengan nalar
dan bukti, mereka juga diakui oleh WHO, mereka juga bisa mencapai pendidikan
tertinggi setara S-3 atau PhD. Akan tetapi, sekali lagi, menyangkut kesehatan
manusia, mereka diajar untuk memahami bahwa pasien manusia adalah di bawah
tanggung jawab seorang dokter, sesuai sumpah dokter.
Jadi, apa pun profesinya, apa pun pendidikannya, mereka memahami
bahwa menyangkut tanggung jawab pasien, itu menjadi hak seorang dokter.
Dengan kata lain, mereka bisa menempatkan posisinya dalam ruang lingkup
pekerjaannya dan menghormati posisi dokter sebagai penanggung jawab utama.
Penulis juga pernah ke Tiongkok. Di sana, selain dokter dengan
pendidikan ala Barat, juga ada dokter tradisional yang ilmunya telah ada
sejak ribuan tahun lampau. Di rumah sakit, keduanya berdampingan dan saling
melengkapi.
Oleh karena itu, menyikapi kasus chiropractic ini tidak sekadar
menjadi pemadam kebakaran dengan menutup praktik ilegal, tetapi yang lebih
penting lagi adalah bagaimana mengatur, mengawasi, dan menindak tegas jika
dalam praktik pengobatan lain terjadi penyalahgunaan profesi dan pelanggaran
medik.
Pada kenyataannya, hal-hal yang tidak diharapkan terjadi pada
seorang manusia sakit (pasien) yang mencari pengobatan karena penanganan yang
”tidak kompeten” dan dilakukan oleh bukan ”penanggung jawab” legal (dokter)
dari pasien tersebut. Hal tersebut tidak akan terjadi jika masing-masing bisa
memosisikan diri pada kompetensi keahliannya dan siap dengan konsekuensi
untuk bertanggung jawab secara legal.
Di atas semuanya, negara bertanggung jawab melindungi warganya
sebagaimana diamanatkan undang-undang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar