Konflik
Tak Bertepi: Arab Saudi vs Iran
Dinna Wisnu ; Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate
School of Diplomacy
|
KORAN
SINDO, 06 Januari 2016
Pepatah dalam politik di Indonesia yang berbunyi ”tidak ada
musuh abadi”, sepertinya tidak berlaku untuk pemimpin negara yang sedang
menjalani konflik regional di Timur Tengah.
Konflik antara Arab Saudi dan Iran semakin menguat setelah Kerajaan
Arab Saudi mengeksekusi mati aktivis antipemerintah yang juga adalah tokoh
agama Islam Syiah terkemuka Nimr al- Nimr bersama dengan 47 orang lain.
Mereka dianggap sebagai teroris karena melakukan kritik terhadap kerajaan
secara terus-menerus. Kejadian itu kemudian diikuti protes oleh pemerintah Iran,
terjadi penyerangan Kedutaan Besar Arab Saudi di Iran.
Selanjutnya terjadi pemutusan hubungan diplomatik antara Arab
Saudi dan Iran. Pemutusan itu juga diikuti sekutu Arab Saudi yang lain,
seperti Bahrain dan Sudan. Sementaraitu, UniEmirat Arabmemilih untuk
menurunkan status hubungan diplomatik dari kedutaan besar menjadi kuasa hukum
dan ekonomi.
Terlalu dini untuk menganalisis dan memprediksi faktor-faktor
apa yang mendorong konflik ini memuncak, karena konflik ini tidak hanya
berbau sektarian tetapi juga memiliki dampak geopolitik. Kita tidak tahu
apakah pemutusan hubungan diplomatik ini adalah puncak dari konflik atau akan
ada puncak-puncak konflik lainnya yang lebih mengkhawatirkan.
Apa yang kita ketahui bahwa pemutusan hubungan diplomatik di
antara kedua negara ini, khususnya oleh Kerajaan Arab Saudi, adalah sebuah
langkah politik baru untuk melengkapi tekanan ekonomi yang dilancarkan
Kerajaan Arab Saudi terhadap Iran secara tidak langsung melalui harga minyak
yang rendah. Artikel saya minggu lalu menyebutkan bahwa rendahnya harga
minyak dunia telah membuat anggaran belanja negara-negara di Timur Tengah
yang sangat menggantungkan diri dengan minyak menjadi defisit.
Masalahnya, masing-masing negara, khususnya Iran dan Arab Saudi,
memiliki stamina yang berbeda dalam menghadapi harga minyak yang rendah
tersebut. Penasihat minyak untuk Kerajaan Arab Saudi, Mohammad al-Sabban (The Guardian, 2015) mengatakan bahwa
negara itu dapat bertahan selama 8 tahun dengan harga minyak yang paling
rendah sekalipun.
Sementara bagi Iran, harga minyak yang rendah membuat pemulihan
ekonomi negara itu tersendat setelah dihapusnya sanksi ekonomi. Iran
setidaknya membutuhkan harga minyak USD100 per barel agar dapat mengejar dan
memulihkan ekonominya. Para pengamat minyak di dunia mempercayai bahwa
rendahnya harga minyak ini lebih kental kandungan politik daripada faktor
ekonominya.
Faktor politik itu terutama terkait dengan persaingan tiada
henti antarkoalisi Arab Saudi menghadapi Iran. Bibit-bibit konflik yang
terjadi di antara dua negara tersebut mulai bersemai subur ketika Amerika
Serikat dan sekutunya melakukan invasi ke Irak tahun 2003. Invasi itu secara
tidak langsung membuat stabilitas di Timur Tengah yang ringkih menjadi semakin
rapuh. Pergantian kekuasaan di Irak kemudian dianggap sebagai meluasnya
pengaruh Iran karena rezim yang berkuasa condong ke Syiah.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran massal di seluruh Timur Tengah.
Musim Semi Arab (Arab Springs) melanda negara-negara Timur Tengah dan
melahirkan perubahan-perubahan tatanan politik yang tidak dapat diperkirakan
siapa pun termasuk oleh Amerika Serikat. Ketidakpercayaan dan saling curiga
lebih tepat disebut sebagi penyebab tak berkesudahan dari kedua negara ini.
Mereka saling mencurigai masing-masing melakukan ekspansi
kekuatan dan terlibat dalam upaya perebutan pengaruh di kawasan. Kita lihat
konflik di Yaman atau Suriah. Hal ini diperparah dengan mengaitkan identitas
keagamaan Sunni dan Syiah sebagai faktor yang mengonsolidasikan kekuatan arus
bawah di masing-masing negara, termasuk di Indonesia.
Di antara para analis, sebetulnya juga masih ada perdebatan
tentang apakah identitas Syiah dan Sunni tersebut sebagai pemicu persaingan
dua kekuatan besar di Timur Tengah, atau lebih karena kepentingan
ekonomi-politik dua negara itu untuk memperluas wilayah dan pengaruh.
Ambil contoh 43 terpidana yang digolongkan sebagai ”teroris”
oleh Kerajaan Arab Saudi adalah termasuk juga mereka yang berasal dari
jaringan Al- Qaeda yang beraliran Sunni. Mereka bertanggung jawab atas
pengeboman yang terjadi di Arab Saudi sepanjang 2003- 2006 (Euronews, 2016).
Menurut sumber resmi pemerintah Arab Saudi, Nimr al-Nimr dan
tiga terpidana yang beraliran Syiah juga melakukan penembakan terhadap
petugas kepolisian pada 2012. Apabila kita percaya pada informasi itu,
Kerajaan Arab Saudi memang tidak menargetkan secara khusus apakah mereka
Syiah atau Sunni.
Kategori yang dipakai adalah siapa yang melawan kerajaan akan
dikategorikan sebagai teroris. Oleh sebab itu, sulit untuk menentukan satu
faktor lebih menentukan daripada faktor lain dalam menganalisis dinamika yang
cukup aktif di Timur Tengah. Pada saat ini, ada faktor krisis ekonomi dunia
yang membuat negara-negara dunia lebih menyukai dialog daripada perang untuk
menyelesaikan masalah.
Dari sisi hegemoni, kepemimpinan Barack Obama di Amerika Serikat
terbilang tidak terlalu agresif di Timur Tengah. China tidak terlibat
langsung. Sementara itu, Suriah dan Yaman masih menjadi medan perebutan
kekuatan bersenjata. Iran masih melanjutkan perundingan nuklir dengan negara
5P+1. Rusia dikabarkan menyokong Suriah dan Iran.
Sementara itu, kepemimpinan yang moderat di Iran dan
faktor-faktor lain antarnegara kawasan dapat secara langsung atau tidak
langsung menyumbang pasang-surutnya konflik di Timur Tengah, khususnya antara
Arab Saudi dan Iran. Yang perlu kita lakukan terkait dengan krisis di Timur
Tengah, yang paling prioritas menurut saya, adalah menjaga jangan sampai
sentimen konflik menyuburkan potensi konflik yang ada di dalam negeri.
Informasi-informasi yang sepotong mengenai konflik ini bisa
menjadi bahan bakar bagi pihak-pihak tertentu yang menginginkan
ketidakstabilan terjadi juga di sini. Di sisi lain, kita justru dapat
menggunakan konflik yang terjadi di Timur Tengah sebagai bahan pembelajaran
untuk saling memperkuat solidaritas di antara perbedaan-perbedaan, khususnya
dalam keyakinan beragama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar