Sabtu, 09 Januari 2016

Konflik Tak Bertepi: Arab Saudi vs Iran

Konflik Tak Bertepi: Arab Saudi vs Iran

Dinna Wisnu  ;  Pengamat Hubungan Internasional;
Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy
                                                  KORAN SINDO, 06 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Pepatah dalam politik di Indonesia yang berbunyi ”tidak ada musuh abadi”, sepertinya tidak berlaku untuk pemimpin negara yang sedang menjalani konflik regional di Timur Tengah.

Konflik antara Arab Saudi dan Iran semakin menguat setelah Kerajaan Arab Saudi mengeksekusi mati aktivis antipemerintah yang juga adalah tokoh agama Islam Syiah terkemuka Nimr al- Nimr bersama dengan 47 orang lain. Mereka dianggap sebagai teroris karena melakukan kritik terhadap kerajaan secara terus-menerus. Kejadian itu kemudian diikuti protes oleh pemerintah Iran, terjadi penyerangan Kedutaan Besar Arab Saudi di Iran.

Selanjutnya terjadi pemutusan hubungan diplomatik antara Arab Saudi dan Iran. Pemutusan itu juga diikuti sekutu Arab Saudi yang lain, seperti Bahrain dan Sudan. Sementaraitu, UniEmirat Arabmemilih untuk menurunkan status hubungan diplomatik dari kedutaan besar menjadi kuasa hukum dan ekonomi.

Terlalu dini untuk menganalisis dan memprediksi faktor-faktor apa yang mendorong konflik ini memuncak, karena konflik ini tidak hanya berbau sektarian tetapi juga memiliki dampak geopolitik. Kita tidak tahu apakah pemutusan hubungan diplomatik ini adalah puncak dari konflik atau akan ada puncak-puncak konflik lainnya yang lebih mengkhawatirkan.

Apa yang kita ketahui bahwa pemutusan hubungan diplomatik di antara kedua negara ini, khususnya oleh Kerajaan Arab Saudi, adalah sebuah langkah politik baru untuk melengkapi tekanan ekonomi yang dilancarkan Kerajaan Arab Saudi terhadap Iran secara tidak langsung melalui harga minyak yang rendah. Artikel saya minggu lalu menyebutkan bahwa rendahnya harga minyak dunia telah membuat anggaran belanja negara-negara di Timur Tengah yang sangat menggantungkan diri dengan minyak menjadi defisit.

Masalahnya, masing-masing negara, khususnya Iran dan Arab Saudi, memiliki stamina yang berbeda dalam menghadapi harga minyak yang rendah tersebut. Penasihat minyak untuk Kerajaan Arab Saudi, Mohammad al-Sabban (The Guardian, 2015) mengatakan bahwa negara itu dapat bertahan selama 8 tahun dengan harga minyak yang paling rendah sekalipun.

Sementara bagi Iran, harga minyak yang rendah membuat pemulihan ekonomi negara itu tersendat setelah dihapusnya sanksi ekonomi. Iran setidaknya membutuhkan harga minyak USD100 per barel agar dapat mengejar dan memulihkan ekonominya. Para pengamat minyak di dunia mempercayai bahwa rendahnya harga minyak ini lebih kental kandungan politik daripada faktor ekonominya.

Faktor politik itu terutama terkait dengan persaingan tiada henti antarkoalisi Arab Saudi menghadapi Iran. Bibit-bibit konflik yang terjadi di antara dua negara tersebut mulai bersemai subur ketika Amerika Serikat dan sekutunya melakukan invasi ke Irak tahun 2003. Invasi itu secara tidak langsung membuat stabilitas di Timur Tengah yang ringkih menjadi semakin rapuh. Pergantian kekuasaan di Irak kemudian dianggap sebagai meluasnya pengaruh Iran karena rezim yang berkuasa condong ke Syiah.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran massal di seluruh Timur Tengah. Musim Semi Arab (Arab Springs) melanda negara-negara Timur Tengah dan melahirkan perubahan-perubahan tatanan politik yang tidak dapat diperkirakan siapa pun termasuk oleh Amerika Serikat. Ketidakpercayaan dan saling curiga lebih tepat disebut sebagi penyebab tak berkesudahan dari kedua negara ini.

Mereka saling mencurigai masing-masing melakukan ekspansi kekuatan dan terlibat dalam upaya perebutan pengaruh di kawasan. Kita lihat konflik di Yaman atau Suriah. Hal ini diperparah dengan mengaitkan identitas keagamaan Sunni dan Syiah sebagai faktor yang mengonsolidasikan kekuatan arus bawah di masing-masing negara, termasuk di Indonesia.

Di antara para analis, sebetulnya juga masih ada perdebatan tentang apakah identitas Syiah dan Sunni tersebut sebagai pemicu persaingan dua kekuatan besar di Timur Tengah, atau lebih karena kepentingan ekonomi-politik dua negara itu untuk memperluas wilayah dan pengaruh.

Ambil contoh 43 terpidana yang digolongkan sebagai ”teroris” oleh Kerajaan Arab Saudi adalah termasuk juga mereka yang berasal dari jaringan Al- Qaeda yang beraliran Sunni. Mereka bertanggung jawab atas pengeboman yang terjadi di Arab Saudi sepanjang 2003- 2006 (Euronews, 2016).

Menurut sumber resmi pemerintah Arab Saudi, Nimr al-Nimr dan tiga terpidana yang beraliran Syiah juga melakukan penembakan terhadap petugas kepolisian pada 2012. Apabila kita percaya pada informasi itu, Kerajaan Arab Saudi memang tidak menargetkan secara khusus apakah mereka Syiah atau Sunni.

Kategori yang dipakai adalah siapa yang melawan kerajaan akan dikategorikan sebagai teroris. Oleh sebab itu, sulit untuk menentukan satu faktor lebih menentukan daripada faktor lain dalam menganalisis dinamika yang cukup aktif di Timur Tengah. Pada saat ini, ada faktor krisis ekonomi dunia yang membuat negara-negara dunia lebih menyukai dialog daripada perang untuk menyelesaikan masalah.

Dari sisi hegemoni, kepemimpinan Barack Obama di Amerika Serikat terbilang tidak terlalu agresif di Timur Tengah. China tidak terlibat langsung. Sementara itu, Suriah dan Yaman masih menjadi medan perebutan kekuatan bersenjata. Iran masih melanjutkan perundingan nuklir dengan negara 5P+1. Rusia dikabarkan menyokong Suriah dan Iran.

Sementara itu, kepemimpinan yang moderat di Iran dan faktor-faktor lain antarnegara kawasan dapat secara langsung atau tidak langsung menyumbang pasang-surutnya konflik di Timur Tengah, khususnya antara Arab Saudi dan Iran. Yang perlu kita lakukan terkait dengan krisis di Timur Tengah, yang paling prioritas menurut saya, adalah menjaga jangan sampai sentimen konflik menyuburkan potensi konflik yang ada di dalam negeri.

Informasi-informasi yang sepotong mengenai konflik ini bisa menjadi bahan bakar bagi pihak-pihak tertentu yang menginginkan ketidakstabilan terjadi juga di sini. Di sisi lain, kita justru dapat menggunakan konflik yang terjadi di Timur Tengah sebagai bahan pembelajaran untuk saling memperkuat solidaritas di antara perbedaan-perbedaan, khususnya dalam keyakinan beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar