Kamis, 14 Januari 2016

Kesepakatan Baru Perubahan Iklim

Kesepakatan Baru Perubahan Iklim

Doddy S Sukadri  ;   Mantan Negosiator UNFCCC; Co-Coordinator Pokja MRV Dewan Pengarah Perubahan Iklim KLHK; UN-CC Learn Climate Change Ambassador
                                                       KOMPAS, 13 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Kesepakatan Paris yang telah diadopsi di Paris pada 12 Desember 2015 merupakan kulminasi negosiasi perubahan iklim global yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Sekitar 2.000 peserta Konferensi Perubahan Iklim yang hadir dalam puncak acara tersebut bergemuruh merayakan kemenangan ini. Presiden AS Barack Obama menyebut peristiwa isi sebagai ”historic” dalam sejarah perundingan multilateral.

Konferensi Perubahan iklim yang disebut Conference of the Parties (COP) Ke-21 yang kali ini diselenggarakan di Paris merupakan yang terbesar dibandingkan COP-COP sebelumnya. Tak kurang dari 150 kepala negara, termasuk Presiden Joko Widodo, hadir saat pembukaan di hari pertama. Sekitar 40.000 orang yang datang dari 195 negara plus Uni Eropa turut hadir dalam konferensi yang berlangsung selama 12 hari itu.

Jaga kenaikan suhu global

Kesepakatan Paris berisikan 29 pasal, bertujuan untuk meningkatkan upaya dalam menjaga kenaikan temperatur udara di bawah 2 derajat celsius. Diupayakan kenaikan maksimalnya hanya 1,5 derajat celsius di atas temperatur rata-rata global sebelum revolusi industri (sampai saat ini kenaikan temperatur Bumi sudah mencapai 1 derajat celsius). Menurut Kesepakatan Paris, upaya ini harus dilakukan berdasarkan prinsip keadilan serta sesuai kemampuan dan kondisi nasional masing-masing negara.

Untuk mencapai hal itu, setiap negara harus menyampaikan rencana kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK)-nya yang dituangkan dalam Rencana Kontribusi Penurunan Emisi GRK Nasional. Rencana penurunan emisi nasional ini perlu dibuat dengan pendekatan ilmiah, dengan memerhatikan keseimbangan antara sumber-sumber emisi GRK yang disebabkan aktivitas manusia dan upaya-upaya penyerapan emisi tersebut dari atmosfer, serta dilaksanakan dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pengentasan orang dari kemiskinan. Diharapkan pada 2050 kenaikan emisi ini sudah tak akan terjadi.

Kesepakatan Paris juga mewajibkan negara maju mengambil kepemimpinan dalam upaya penurunan emisi GRK ini (Pasal 4 Ayat 4). Sementara negara berkembang tetap melanjutkan upaya mitigasinya. Karena itu, dukungan negara maju dalam bentuk pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas diperlukan untuk meningkatkan aksi penurunan emisi GRK yang ambisius di negara berkembang.

Sebagai negara berkembang dengan sumber daya hutan yang cukup besar, Indonesia memberikan perhatian khusus terhadap sektor kehutanan. Penurunan emisi GRK melalui skema REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation) telah diakomodasikan dalam Pasal 5 Kesepakatan Paris.

Hal yang menarik bagi Indonesia adalah disepakatinya tindakan adaptasi terhadap perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan terbesar dan memiliki pesisir pantai yang terpanjang di dunia, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, termasuk ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil.

Kesepakatan Paris telah merespons isu ini dengan memperkuat kapasitas adaptasi dengan meningkatkan ketahanan dan mengurangi dampak perubahan iklim agar mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan yang berkelanjutan. Selain itu, dampak negatif perubahan iklim telah direspons dengan dimasukkannya isuloss and damage (kehilangan dan kerusakan), termasuk perubahan cuaca ekstrem dan peranan pembangunan berkelanjutan dalam mengurangi risiko loss and damage.

Isu pendanaan juga termasuk bagian penting dari Kesepakatan Paris. Setelah digulirkannya gagasan untuk mengumpulkan dana pada saat COP 15 tahun 2009 di Kopenhagen, negara maju berjanji memberikan bantuan 100 miliar dollar AS per tahun sampai 2020. Walaupun masih belum jelas realisasinya, paling tidak isu ini telah direspons dengan keluarnya Green Climate Fund dan Adaptation Fund yang akan menjadi sumber pendanaan utama untuk penanganan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global di negara berkembang.

Tidak hanya pendanaan, bantuan negara maju juga disepakati dalam bentuk kerja sama pengembangan dan transfer teknologi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, serta peningkatan kapasitas sumber daya. Semua kerja sama ini harus dilakukan dalam kerangka kerja yang transparan, termasuk besarnya bantuan pendanaan, transfer teknologi, pengembangan sumber daya, serta pelaporan kemajuan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan semua negara.

Yang disebutkan terakhir juga termasuk pendidikan, pemahaman dan pengetahuan tentang perubahan iklim untuk meningkatkan ketahanan negara berkembang dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan mengurangi emisi GRK-nya. Secara eksplisit, Pasal 12 Kesepakatan Paris menggarisbawahi perlunya kerja sama antarnegara untuk meningkatkan pendidikan dan latihan dalam bidang perubahan iklim, penyadaran masyarakat akan isu perubahan iklim, partisipasi masyarakat, dan akses publik terhadap informasi yang terkait dengan isu perubahan iklim.

Perlu segera diratifikasi

Kesepakatan perubahan iklim yang baru ini akan diberlakukan mulai 2020 dan akan menggantikan kesepakatan lama (Protokol Kyoto) yang masih akan berlaku sampai dengan akhir tahun 2019. Sebagaimana Protokol Kyoto yang diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No 17/2004, Kesepakatan Paris juga perlu diratifikasi oleh setiap negara anggota UNFCCC untuk memperoleh kekuatan hukum yang tetap, baik dalam lingkup nasional maupun internasional. Untuk itu, baik pemerintah maupun para wakil rakyat yang duduk di DPR perlu mengetahui, mengerti, dan memahami Kesepakatan Paris dengan sebaik-baiknya agar proses ratifikasi dapat berjalan lancar.

Ada dua hal yang menarik dari kesepakatan perubahan iklim yang baru ini. Pertama, diberlakukannya prinsip ”Applicable to All” yang mengharuskan setiap negara untuk memberikan kontribusi nasional penurunan emisi GRK. Karena kesepakatan ini sifatnya mengikat secara hukum, kontribusi negara berkembang tak lagi sukarela, tetapi wajib. Kedua, keinginan kuat untuk menurunkan kenaikan temperatur rata-rata globaldi bawah 2 derajat celsius, dan bahkan diharapkan maksimal 1,5 derajat C.

Kewajiban menurunkan emisi GRK bagi negara berkembang memang merupakan keniscayaan. Menurut perhitungan para ilmuan, apabila hanya mengandalkan penurunan emisi dari negara maju, tidak mungkin dapat menjaga kenaikan suhu Bumi. Karena itu, diperlukan tambahan penurunan emisi dari negara berkembang. Itulah asal mula munculnya prinsip Applicable to All pada COP Ke-17 di Durban tahun 2011. Kesepakatan Paris, dengan demikian, secara implisit merupakan ”kemenangan” bagi negara maju yang secara historis menjadi biang kerok penyebab naiknya suhu Bumi akibat penggunaan bahan bakar fosil pada Revolusi Industri tahun 1850. Mereka tidak lagi menjadi satu-satunya kelompok yang dipersalahkan dan diwajibkan menurunkan emisi GRK-nya.

Kenaikan temperatur rata-rata dunia yang dibatasi 1,5 derajat celsius akan membawa risiko plus-minus bagi negara-negara berkembang. Plus-nya mengurangi dampak perubahan iklim yang lebih besar, termasuk ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat kenaikan permukaan air laut; kerusakan biodiversitas, termasuk rusaknya terumbu karang dan kehidupan biota laut lainnya; dan mengurangi dampak negatif perubahan iklim pada sektor pertanian, kehutanan, perikanan, dan kesehatan.

”Minusnya, tekanan yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi yang mengharuskan perubahan drastis menuju pembangunan rendah emisi karbon dan percepatan penggunaan energi baru dan terbarukan. Untuk Indonesia, target penurunan emisi GRK yang dituangkan melalui Rencana Kontribusi Penurunan Emisi GRK Nasional (INDC) harus dikaji ulang agar total reduksi emisi GRK nasional ditambah lebih besar lagi. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang baru-baru ini dipatok pemerintah pada angka 5,3 persen per tahun harus betul-betul diarahkan pada ”ekonomi hijau” karena pertumbuhan ekonomi terkait langsung dengan total emisi yang dikeluarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar