Kesepakatan Baru Perubahan Iklim
Doddy S Sukadri ;
Mantan Negosiator UNFCCC; Co-Coordinator
Pokja MRV Dewan Pengarah Perubahan Iklim KLHK; UN-CC Learn Climate Change
Ambassador
|
KOMPAS,
13 Januari 2016
Kesepakatan Paris yang telah diadopsi di Paris pada 12 Desember
2015 merupakan kulminasi negosiasi perubahan iklim global yang telah
berlangsung lebih dari 20 tahun. Sekitar 2.000 peserta Konferensi Perubahan
Iklim yang hadir dalam puncak acara tersebut bergemuruh merayakan kemenangan
ini. Presiden AS Barack Obama menyebut peristiwa isi sebagai ”historic” dalam
sejarah perundingan multilateral.
Konferensi Perubahan iklim yang disebut Conference of the Parties (COP) Ke-21 yang kali ini
diselenggarakan di Paris merupakan yang terbesar dibandingkan COP-COP
sebelumnya. Tak kurang dari 150 kepala negara, termasuk Presiden Joko Widodo,
hadir saat pembukaan di hari pertama. Sekitar 40.000 orang yang datang dari
195 negara plus Uni Eropa turut hadir dalam konferensi yang berlangsung
selama 12 hari itu.
Jaga kenaikan
suhu global
Kesepakatan Paris berisikan 29 pasal, bertujuan untuk
meningkatkan upaya dalam menjaga kenaikan temperatur udara di bawah 2 derajat
celsius. Diupayakan kenaikan maksimalnya hanya 1,5 derajat celsius di atas
temperatur rata-rata global sebelum revolusi industri (sampai saat ini
kenaikan temperatur Bumi sudah mencapai 1 derajat celsius). Menurut
Kesepakatan Paris, upaya ini harus dilakukan berdasarkan prinsip keadilan
serta sesuai kemampuan dan kondisi nasional masing-masing negara.
Untuk mencapai hal itu, setiap negara harus menyampaikan rencana
kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca (GRK)-nya yang dituangkan dalam
Rencana Kontribusi Penurunan Emisi GRK Nasional. Rencana penurunan emisi
nasional ini perlu dibuat dengan pendekatan ilmiah, dengan memerhatikan
keseimbangan antara sumber-sumber emisi GRK yang disebabkan aktivitas manusia
dan upaya-upaya penyerapan emisi tersebut dari atmosfer, serta dilaksanakan
dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan pengentasan orang dari kemiskinan.
Diharapkan pada 2050 kenaikan emisi ini sudah tak akan terjadi.
Kesepakatan Paris juga mewajibkan negara maju mengambil
kepemimpinan dalam upaya penurunan emisi GRK ini (Pasal 4 Ayat 4). Sementara
negara berkembang tetap melanjutkan upaya mitigasinya. Karena itu, dukungan
negara maju dalam bentuk pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas
diperlukan untuk meningkatkan aksi penurunan emisi GRK yang ambisius di
negara berkembang.
Sebagai negara berkembang dengan sumber daya hutan yang cukup besar,
Indonesia memberikan perhatian khusus terhadap sektor kehutanan. Penurunan
emisi GRK melalui skema REDD+ (Reducing
Emission from Deforestation and Forest Degradation) telah diakomodasikan
dalam Pasal 5 Kesepakatan Paris.
Hal yang menarik bagi Indonesia adalah disepakatinya tindakan
adaptasi terhadap perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan terbesar dan
memiliki pesisir pantai yang terpanjang di dunia, Indonesia sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim, termasuk ancaman tenggelamnya pulau-pulau kecil.
Kesepakatan Paris telah merespons isu ini dengan memperkuat
kapasitas adaptasi dengan meningkatkan ketahanan dan mengurangi dampak
perubahan iklim agar mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan yang
berkelanjutan. Selain itu, dampak negatif perubahan iklim telah direspons
dengan dimasukkannya isuloss and damage (kehilangan dan kerusakan), termasuk
perubahan cuaca ekstrem dan peranan pembangunan berkelanjutan dalam
mengurangi risiko loss and damage.
Isu pendanaan juga termasuk bagian penting dari Kesepakatan
Paris. Setelah digulirkannya gagasan untuk mengumpulkan dana pada saat COP 15
tahun 2009 di Kopenhagen, negara maju berjanji memberikan bantuan 100 miliar
dollar AS per tahun sampai 2020. Walaupun masih belum jelas realisasinya,
paling tidak isu ini telah direspons dengan keluarnya Green Climate Fund dan Adaptation
Fund yang akan menjadi sumber pendanaan utama untuk penanganan mitigasi
dan adaptasi perubahan iklim global di negara berkembang.
Tidak hanya pendanaan, bantuan negara maju juga disepakati dalam
bentuk kerja sama pengembangan dan transfer teknologi mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim, serta peningkatan kapasitas sumber daya. Semua kerja sama
ini harus dilakukan dalam kerangka kerja yang transparan, termasuk besarnya
bantuan pendanaan, transfer teknologi, pengembangan sumber daya, serta
pelaporan kemajuan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang dilakukan
semua negara.
Yang disebutkan terakhir juga termasuk pendidikan, pemahaman dan
pengetahuan tentang perubahan iklim untuk meningkatkan ketahanan negara
berkembang dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan mengurangi emisi
GRK-nya. Secara eksplisit, Pasal 12 Kesepakatan Paris menggarisbawahi
perlunya kerja sama antarnegara untuk meningkatkan pendidikan dan latihan
dalam bidang perubahan iklim, penyadaran masyarakat akan isu perubahan iklim,
partisipasi masyarakat, dan akses publik terhadap informasi yang terkait
dengan isu perubahan iklim.
Perlu segera
diratifikasi
Kesepakatan perubahan iklim yang baru ini akan diberlakukan
mulai 2020 dan akan menggantikan kesepakatan lama (Protokol Kyoto) yang masih
akan berlaku sampai dengan akhir tahun 2019. Sebagaimana Protokol Kyoto yang
diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui UU No 17/2004, Kesepakatan Paris
juga perlu diratifikasi oleh setiap negara anggota UNFCCC untuk memperoleh
kekuatan hukum yang tetap, baik dalam lingkup nasional maupun internasional.
Untuk itu, baik pemerintah maupun para wakil rakyat yang duduk di DPR perlu
mengetahui, mengerti, dan memahami Kesepakatan Paris dengan sebaik-baiknya
agar proses ratifikasi dapat berjalan lancar.
Ada dua hal yang menarik dari kesepakatan perubahan iklim yang
baru ini. Pertama, diberlakukannya prinsip ”Applicable to All” yang
mengharuskan setiap negara untuk memberikan kontribusi nasional penurunan
emisi GRK. Karena kesepakatan ini sifatnya mengikat secara hukum, kontribusi
negara berkembang tak lagi sukarela, tetapi wajib. Kedua, keinginan kuat
untuk menurunkan kenaikan temperatur rata-rata globaldi bawah 2 derajat celsius,
dan bahkan diharapkan maksimal 1,5 derajat C.
Kewajiban menurunkan emisi GRK bagi negara berkembang memang
merupakan keniscayaan. Menurut perhitungan para ilmuan, apabila hanya
mengandalkan penurunan emisi dari negara maju, tidak mungkin dapat menjaga
kenaikan suhu Bumi. Karena itu, diperlukan tambahan penurunan emisi dari
negara berkembang. Itulah asal mula munculnya prinsip Applicable to All pada
COP Ke-17 di Durban tahun 2011. Kesepakatan Paris, dengan demikian, secara
implisit merupakan ”kemenangan” bagi negara maju yang secara historis menjadi
biang kerok penyebab naiknya suhu Bumi akibat penggunaan bahan bakar fosil
pada Revolusi Industri tahun 1850. Mereka tidak lagi menjadi satu-satunya
kelompok yang dipersalahkan dan diwajibkan menurunkan emisi GRK-nya.
Kenaikan temperatur rata-rata dunia yang dibatasi 1,5 derajat
celsius akan membawa risiko plus-minus bagi negara-negara berkembang.
Plus-nya mengurangi dampak perubahan iklim yang lebih besar, termasuk ancaman
tenggelamnya pulau-pulau kecil akibat kenaikan permukaan air laut; kerusakan
biodiversitas, termasuk rusaknya terumbu karang dan kehidupan biota laut
lainnya; dan mengurangi dampak negatif perubahan iklim pada sektor pertanian,
kehutanan, perikanan, dan kesehatan.
”Minusnya, tekanan yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi
yang mengharuskan perubahan drastis menuju pembangunan rendah emisi karbon
dan percepatan penggunaan energi baru dan terbarukan. Untuk Indonesia, target
penurunan emisi GRK yang dituangkan melalui Rencana Kontribusi Penurunan
Emisi GRK Nasional (INDC) harus dikaji ulang agar total reduksi emisi GRK
nasional ditambah lebih besar lagi. Target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang
baru-baru ini dipatok pemerintah pada angka 5,3 persen per tahun harus
betul-betul diarahkan pada ”ekonomi hijau” karena pertumbuhan ekonomi terkait
langsung dengan total emisi yang dikeluarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar