Evolusi Ekologi Media
Agus Sudibyo ; Kepala Prodi Komunikasi Massa
Akademi Televisi Indonesia (ATVI)
Jakarta
|
KOMPAS,
11 Januari 2016
Media melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Kita tidak
akan bisa lari dari media, alih-alih cara hidup, mode perilaku dan persepsi
kita tentang dunia sedemikian rupa dibentuk olehnya.
Namun, sebaliknya, media juga senantiasa berubah mengikuti
perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Demikianlah tesis teori
ekologi media yang identik dengan dua nama besar dalam studi komunikasi,
Marshal Mcluhan dan Neil Postman.
Pengertian media di sini tak hanya mencakup media cetak,
televisi, dan radio, tetapi juga semua perangkat yang memediasi hubungan
antarmanusia, seperti telepon, surat, dan uang. Meskipun dianggap terlalu
mendewakan pengaruh teknologi terhadap manusia, teori ekologi media tetap
relevan untuk menjelaskan dinamika perkembangan pengaruh teknologi komunikasi
dan informasi terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Teori ini mengimajinasikan media sebagai organisme yang hidup
dan berkembang dalam ekosistem sosial-kemasyarakatan, berkontribusi pada
perubahan ekosistem itu, sekaligus dipengaruhi oleh perubahan itu.
Resiproksitas antara perubahan pada aras media dan pada aras sosial-kemasyarakatan
inilah yang tecermin dalam kondisi terkini terkait penetrasi teknologi
internet dan keberadaan telepon pintar terhadap kehidupan masyarakat. Dalam
konteks ini pula krisis yang dialami media massa konvensional belakangan ini
mestinya bisa dijelaskan.
Perkembangan teknologi komputer telah mengubah lanskap
komunikasi dan informasi. Riset dan eksperimen teknologi komputasi yang
diinisiasi Howard Aiken (1944) memungkinkan manusia bukan hanya menyimpan dan
mengolah informasi secara efisien, melainkan juga berkomunikasi dalam lingkup
yang semakin luas dan hampir tak berbatas. Internet yang awalnya dikembangkan
terbatas untuk kebutuhan militer Amerika Serikat kini menjadi bagian integral
dari kehidupan masyarakat modern.
Terlebih ketika pengembangan teknologi telepon genggam telah
menghasilkan fenomena ”telepon pintar” yang mampu menggabungkan kapasitas
telepon, komputer, dan internet sekaligus.
Telepon pintar versi terakhir memungkinkan pengguna
mengintegrasikan begitu banyak aktivitas komunikasi-informasi hanya dengan
satu perangkat: menelepon, mengirimkan pesan, mengirim surat,melakukan riset,
diskusi, baca koran, menonton televisi, mendengarkan radio, menulis laporan,
merekam dan mengedit suara atau gambar.
Ketika telah diproduksi dalam skala industrial, telepon pintar
pun tidak lagi menjadi privilese kelas atas. Menurut data Pyramid Research,
ada 266 juta pengguna telepon pintar di Indonesia tahun 2015. Sekalipun satu
orang bisa memiliki lebih dari satu, angka ini tetap fantastis dan menembus
batas-batas kelas sosial. Perlu ditambahkan, 85 persen dari total pengguna
internet di Indonesia—tahun lalu mencapai 139 juta—mengakses internet dengan
menggunakan telepon pintar.
Mengubah cara
hidup
Dapat dibayangkan perubahan yang terjadi kemudian. Masyarakat
tak hanya bergantung pada satu jenis media, juga tak harus terpaku di depan
komputer untuk menjelajahi dunia secara virtual. Tersedia banyak pilihan
saluran informasi dan komunikasi. Rentang kebutuhan hidup yang terjangkau
melalui telepon pintar begitu lebar: mencari informasi, hiburan, menjalankan
profesi, memenuhi kebutuhan sehari-hari, bertransaksi bisnis, berinteraksi
dengan komunitas, mengartikulasikan sikap politik.
Dengan mengoptimalkan aplikasi-aplikasinya, dunia ibarat ada
dalam genggaman. Aktualisasi diri sebagai manusia individu, manusia ekonomi,
ataupun makhluk sosial semakin tak terpisahkan darinya. Siklus hidup begitu
memusat pada benda yang hanya sebesar buku saku itu. Rata-rata masyarakat
urban tak ingat lagi berapa jam waktu dihabiskan untuk memelototi benda itu
dan untuk urusan apa saja.
Perkembangan teknologi internet dan telepon pintar mulai
memberikan banyak perubahan pada cara hidup masyarakat. Pada gilirannya
perubahan ini juga memengaruhi preferensi masyarakat terhadap media.
Terlebih-lebih media sosial telah hadir dengan pretensi untukmemberdayakan
dan membebaskan. Sebagai hibridasi antara moda komunikasi interpersonal,
komunikasi kelompok sekaligus komunikasi massa, media sosial memungkinkan
tiap orang menjadi komunikator yang memproduksi dan menyebarluaskan informasi
pada skala komunitas ataupun publik.
Hiperaktualitas dan interaktivitas menjadi keunggulan komparatif
media sosial dibandingkan media konvensional yang terpola pada model
komunikasi yang linier.
Tentu saja perkembangan ini menuntut langkah-langkah penyesuaian
media konvensional. Bisnis media massa, khususnya media cetak, sedang
mengalami kontraksi hebat. Apakah kontraksi ini mencerminkan sebuah senja
kala? Patut ditunggu.
Dalam sejarahnya, media cetak menunjukkan daya elastisitas dalam
menghadapi krisis. Ketika teknologi televisi berkembang pesat dekade 1960-an,
beberapa pengamat juga memprediksi tamatnya media cetak. Ternyata media cetak
tetap bertahan dan kontestasi media membentuk suatu ekuilibrium: kehadiran
media cetak, televisi sekaligus radio pada gradasi yang berbeda tetap
dibutuhkan masyarakat. Media cetak mungkin terkoreksi secara signifikan,
tetapiakan hadir memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak dapat diakomodasi
oleh media siber. Bukankah setiap jenis media sebenarnya memiliki
batas-batasnya sendiri?
Persoalan berikutnya, jika media sosial hadir dengan slogan
deliberatif ”everybody is journalist”,
apakah pengertian tentang jurnalisme dan berita secara epistemologis lalu
juga berubah? Bagaimana jurnalisme sebagai disiplin yang menuntut ortodoksi
dalam penerapan nilai dan metode kerja diterapkan untuk media siber dan media
sosial?
Jika disepakati media sosial adalah sejenis ruang publik,
kebebasan berpendapat kita di sana dibatasi hak-hak orang lain untuk diperlakukan
secara layak dan untuk menyaksikan proses komunikasi yang memenuhi etika dan
kepantasan ruang publik. Yang layak dibicarakan di sana juga terbatas pada
isu bersama, bukan isu privat. Persoalan ini juga perlu direnungkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar