Rabu, 13 Januari 2016

Evolusi Ekologi Media

Evolusi Ekologi Media

Agus Sudibyo   ;  Kepala Prodi Komunikasi Massa
Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Jakarta
                                                       KOMPAS, 11 Januari 2016

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Media melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Kita tidak akan bisa lari dari media, alih-alih cara hidup, mode perilaku dan persepsi kita tentang dunia sedemikian rupa dibentuk olehnya.

Namun, sebaliknya, media juga senantiasa berubah mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Demikianlah tesis teori ekologi media yang identik dengan dua nama besar dalam studi komunikasi, Marshal Mcluhan dan Neil Postman.

Pengertian media di sini tak hanya mencakup media cetak, televisi, dan radio, tetapi juga semua perangkat yang memediasi hubungan antarmanusia, seperti telepon, surat, dan uang. Meskipun dianggap terlalu mendewakan pengaruh teknologi terhadap manusia, teori ekologi media tetap relevan untuk menjelaskan dinamika perkembangan pengaruh teknologi komunikasi dan informasi terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Teori ini mengimajinasikan media sebagai organisme yang hidup dan berkembang dalam ekosistem sosial-kemasyarakatan, berkontribusi pada perubahan ekosistem itu, sekaligus dipengaruhi oleh perubahan itu. Resiproksitas antara perubahan pada aras media dan pada aras sosial-kemasyarakatan inilah yang tecermin dalam kondisi terkini terkait penetrasi teknologi internet dan keberadaan telepon pintar terhadap kehidupan masyarakat. Dalam konteks ini pula krisis yang dialami media massa konvensional belakangan ini mestinya bisa dijelaskan.

Perkembangan teknologi komputer telah mengubah lanskap komunikasi dan informasi. Riset dan eksperimen teknologi komputasi yang diinisiasi Howard Aiken (1944) memungkinkan manusia bukan hanya menyimpan dan mengolah informasi secara efisien, melainkan juga berkomunikasi dalam lingkup yang semakin luas dan hampir tak berbatas. Internet yang awalnya dikembangkan terbatas untuk kebutuhan militer Amerika Serikat kini menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat modern.

Terlebih ketika pengembangan teknologi telepon genggam telah menghasilkan fenomena ”telepon pintar” yang mampu menggabungkan kapasitas telepon, komputer, dan internet sekaligus.

Telepon pintar versi terakhir memungkinkan pengguna mengintegrasikan begitu banyak aktivitas komunikasi-informasi hanya dengan satu perangkat: menelepon, mengirimkan pesan, mengirim surat,melakukan riset, diskusi, baca koran, menonton televisi, mendengarkan radio, menulis laporan, merekam dan mengedit suara atau gambar.

Ketika telah diproduksi dalam skala industrial, telepon pintar pun tidak lagi menjadi privilese kelas atas. Menurut data Pyramid Research, ada 266 juta pengguna telepon pintar di Indonesia tahun 2015. Sekalipun satu orang bisa memiliki lebih dari satu, angka ini tetap fantastis dan menembus batas-batas kelas sosial. Perlu ditambahkan, 85 persen dari total pengguna internet di Indonesia—tahun lalu mencapai 139 juta—mengakses internet dengan menggunakan telepon pintar.

Mengubah cara hidup

Dapat dibayangkan perubahan yang terjadi kemudian. Masyarakat tak hanya bergantung pada satu jenis media, juga tak harus terpaku di depan komputer untuk menjelajahi dunia secara virtual. Tersedia banyak pilihan saluran informasi dan komunikasi. Rentang kebutuhan hidup yang terjangkau melalui telepon pintar begitu lebar: mencari informasi, hiburan, menjalankan profesi, memenuhi kebutuhan sehari-hari, bertransaksi bisnis, berinteraksi dengan komunitas, mengartikulasikan sikap politik.

Dengan mengoptimalkan aplikasi-aplikasinya, dunia ibarat ada dalam genggaman. Aktualisasi diri sebagai manusia individu, manusia ekonomi, ataupun makhluk sosial semakin tak terpisahkan darinya. Siklus hidup begitu memusat pada benda yang hanya sebesar buku saku itu. Rata-rata masyarakat urban tak ingat lagi berapa jam waktu dihabiskan untuk memelototi benda itu dan untuk urusan apa saja.

Perkembangan teknologi internet dan telepon pintar mulai memberikan banyak perubahan pada cara hidup masyarakat. Pada gilirannya perubahan ini juga memengaruhi preferensi masyarakat terhadap media. Terlebih-lebih media sosial telah hadir dengan pretensi untukmemberdayakan dan membebaskan. Sebagai hibridasi antara moda komunikasi interpersonal, komunikasi kelompok sekaligus komunikasi massa, media sosial memungkinkan tiap orang menjadi komunikator yang memproduksi dan menyebarluaskan informasi pada skala komunitas ataupun publik.

Hiperaktualitas dan interaktivitas menjadi keunggulan komparatif media sosial dibandingkan media konvensional yang terpola pada model komunikasi yang linier.

Tentu saja perkembangan ini menuntut langkah-langkah penyesuaian media konvensional. Bisnis media massa, khususnya media cetak, sedang mengalami kontraksi hebat. Apakah kontraksi ini mencerminkan sebuah senja kala? Patut ditunggu.

Dalam sejarahnya, media cetak menunjukkan daya elastisitas dalam menghadapi krisis. Ketika teknologi televisi berkembang pesat dekade 1960-an, beberapa pengamat juga memprediksi tamatnya media cetak. Ternyata media cetak tetap bertahan dan kontestasi media membentuk suatu ekuilibrium: kehadiran media cetak, televisi sekaligus radio pada gradasi yang berbeda tetap dibutuhkan masyarakat. Media cetak mungkin terkoreksi secara signifikan, tetapiakan hadir memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak dapat diakomodasi oleh media siber. Bukankah setiap jenis media sebenarnya memiliki batas-batasnya sendiri?

Persoalan berikutnya, jika media sosial hadir dengan slogan deliberatif ”everybody is journalist”, apakah pengertian tentang jurnalisme dan berita secara epistemologis lalu juga berubah? Bagaimana jurnalisme sebagai disiplin yang menuntut ortodoksi dalam penerapan nilai dan metode kerja diterapkan untuk media siber dan media sosial?

Jika disepakati media sosial adalah sejenis ruang publik, kebebasan berpendapat kita di sana dibatasi hak-hak orang lain untuk diperlakukan secara layak dan untuk menyaksikan proses komunikasi yang memenuhi etika dan kepantasan ruang publik. Yang layak dibicarakan di sana juga terbatas pada isu bersama, bukan isu privat. Persoalan ini juga perlu direnungkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar