Dewan Pengawas dan Direksi BPJS
Hotbonar Sinaga ; Direktur Utama Jamsostek (Persero)
2007-2012
|
KOMPAS,
16 Januari 2016
Undang-undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengamanahkan
pemilihan bakal calon dewan pengawas dan direksi untuk kedua BPJS telah
diproses panitia seleksi yang diatur dalam Peraturan Presiden tentang Tata
Cara Pemilihan dan Penetapan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi BPJS
(Kesehatan dan Ketenakerjaan).
Melalui situs web Dewan Jaminan Sosial Nasional
(www.djsn.go.id), seyogianya publik dapat mengikuti sudah sampai di mana
proses yang telah dilaksanakan dan seberapa transparan serta cukup waktukah
untuk bisa mengakses informasi tentang para bakal calon. Informasi yang telah
lolos seleksi administratif dibuka dan diumumkan di media cetak berperedaran
nasional seluas-luasnya. Informasi tentang bakal calon dewan pengawas dan
anggota direksi bukan hanya alamat KTP-nya, tetapi juga sekelumit riwayat
profesionalnya misalnya data mengenai pernah atau masih menjabat di instansi
apa.
Kita mencermati bahwa panitia seleksi (pansel) yang telah
dipilih dengan pertimbangan profesional, dan terdiri atas para ahli di
bidangnya masing masing, perlu bersikap dan bertindak ekstra hati-hati. Sebab
mereka harus kita mintakan tanggung jawabnya bila bakal calon direksi dan
pengawas yang mereka usulkan melakukan penyimpangan atau kecurangan.
Adanya tanggung jawab ini menyebabkan pansel harus tegas dan
tegar menolaksegala macam intervensi, terutama unsur politisasi. Hal ini
dapat dijadikan alasan bila ada pihak-pihak tertentu yang ingin memaksakan
kehendak atas bakal calon tertentu.Publik juga harus ikut mencermati jangan
sampai pansel masuk angin dalam arti disusulkannya bakal calon oleh pihak
tertentu.
Pengawasan
atas BPJS
Perlu disadari, salah satu kelemahan utama dari kedua BPJS
tersebut adalah dalam masalah pengawasan yang merupakan kelemahan struktural.
Penulis pernah mengupas masalah ini sewaktu menjadi anggota dewan audit di
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2013-2014.
UU BPJS menyatakan bahwa BPJS berada langsung di bawah presiden
dan pengawasan eksternal dilakukan secara tidak langsung oleh BPK, DPR, dan
OJK serta Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dengan segala keterbatasannya.
Regulator kedua BPJS tersebut adalah kementerian teknis, yakni Kementerian
Tenaga Kerja untuk BPJS Ketenagakerjaan dan Kementerian Kesehatan untuk BPJS
Kesehatan, serta Kementerian Keuangan untuk masalah finansial.
OJK sebagai otoritas di sektor jasa keuangan hanya melakukan
pengawasan eksternal dari aspek ”pemerintahan”, bukan masalah teknis dan
tidak melakukan pengaturan. Di sisi lain, keberadaan DJSN yang membantu
presiden dalam perumusan kebijakan umumcuma melakukan monitoring dan evaluasi
serta sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),
melakukan kajian dan mengusulkan kebijakan investasi plus mengusulkan
anggaran bagi penerima bantuan iuran. Sebagai pengawas eksternal, DJSN belum
menjalankan fungsinya secara efektif sehingga perlu lebih diberdayakan.
Penjelasan di atas yang menggambarkan rawannya pengawasan
langsung, membutuhkan pengelolaan BPJS harus dilakukan oleh profesional yang
berintegritas tinggi dan sudah terbukti ”rekam jejak”-nya, baik dewan
pengawas maupun direksinya. Dana kelolaan yang begitu besar dengan potensi
yang jauh lebih besar lagi di masa mendatang, dapat menimbulkan godaan yang
besar untuk melakukan penyimpangan. Korupsi dapat dilakukan semudah
membalikkan tangan tanpa adanya pengawasan yang super ketat baik oleh
internal (dewan pengawas dan satuan pengawasan internal) maupun pengawas
eksternal.
Dengan demikian, dari sekian banyak persyaratan umum maupun
khusus, fokus pada integritas wajib dan harus jadi pertimbangan utama.
Penulis menyampaikan pendapat ini berdasarkan pengalaman praktis sewaktu
memimpin PT Jamsostek (sebelum berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan)
2007-2012, yang pada saat itu mengelola dana peserta sekitar Rp 125 triliun.
Bukan hanya masalah kejujuran untuk pantang melakukan korupsi, penyimpangan,
dan sejenisnya yang wajib diutamakan, tetapi juga komitmen pada efisiensi dan
dilarang menghamburkan dana sesuai dengan salah satu prinsip penyelenggaraan
jaminan sosial, yaitu: ”Hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan
seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan
peserta”.
PPATK dan KPK
Atas dasar pertimbangan di atas, penulis menyarankan
keterlibatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait laporan harta kekayaan
penyelenggara negara (LHKPN) untuk para bakal calon yang saat ini masih atau
pernah menjadi penyelenggara negara, walaupun ini tidak diwajibkan dalam
ketentuan perundangan.
Tampaknya faktor waktu jadi kendala besar untuk melaksanakan hal
ini, sehinggamasukan dari kedua instansi tersebut dapat diminta sebelum
penetapan oleh presiden dalam pengajuan bakal calon dewan pengawas ke DPR dan
penetapan 7 dari 14 bakal calon direksi masing masing BPJS oleh presiden.
Faktor integritas bakal calon menjadi faktor sangat krusial yang tidak boleh
diabaikan karena menangani dana ratusan triliun rupiah memerlukan komitmen
luar biasa pada kejujuran.
Pasal 3 Ayat (1) butir (d) Perpres tentang Tata Cara Pemilihan
dan Penetapan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi BPJS tegas
dinyatakan, bakal calon harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela Pertimbangan integritas merupakan unsur mutlak yang tidak dapat
diujikan atau dideteksi dari wawancara. Karena itulah perlu diupayakan
mekanisme keterlibatan PPATK dan KPK.
Selain integritas, moralitaspara bakal calon juga wajib
dijadikan pertimbangan presiden ketika menetapkan anggota direksi kedua BPJS.
Tanyakanlah pendapat obyektif dari mereka yang mengenal bakal calon secara
profesional. Bahkan, kalau dipandang perlu dapat dimintai masukan dari Badan
Intelijen Negara (BIN) untuk melakukan observasi antara lain atas pola hidup
mereka sebagai bahan pertimbangan penetapan oleh DPR dan/ataupresiden.
Kemungkinan penyimpangan yang dihadapi oleh kedua BPJS cukup
beragam dan boleh dikatakan rawan, sehingga perlu adanya implementasi
”pemerintahan yang baik” yang dinilai secara periodik oleh konsultan
independen. Karena itulah dibutuhkan dewan pengawas yang sudah terbukti
memiliki pengalaman praktik dalam pengawasan, selain persyaratan integritas.
Keterwakilan dari unsur tripartit dalam susunan dewan pengawas merupakan
”kelemahan fatal” dalam ketentuan UU.
Pertimbangan lain yang mengadang penyelenggaraan BPJS secara
baik, benar, dan lurus adalah kepatuhan pada perundang-undangan serta
praktik-praktik terbaik dalam penyelenggaraan jaminan sosial. Kepatuhan pada
berbagai ketentuan merupakan prasyarat dalam memitigasi risiko yang mungkin
timbul. Walaupun tidak disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan posisi
untuk setiap direktur, sangat direkomendasikan adanya posisi direktur
kepatuhan dan manajemen risiko. Hal inimengingat besarnya risiko, terutama
risiko finansial,terkait keberlangsungan programBPJS Kesehatan dan risiko
investasi yang dihadapiBPJS Ketenagakerjaan.
Dalam kaitan ini, maka posisi direktur yang terbuka untuk
diperebutkan bukan hanya tujuh, termasuk direktur utama. Penulis menyarankan
posisi atau tanggung jawab direktur pada kedua BPJS harus menangani:
keuangan, umum dan SDM, rencana dan pengembangan, termasuk teknologi
informasi, pelayanan, kepesertaan, kepatuhan dan manajemen risiko, serta
investasi. Posisi direktur investasi pada BPJS Kesehatan dapat diganti dengan
direktur humas dan hubungan kelembagaan, mengingat fungsi investasi dapat
ditangani pejabat eselon I.
Semoga saja presiden dan DPR segera memutuskan (sebenarnya sudah
terlambat dari tenggat 31 Desember 2015 sesuai UU BPJS) pengurus kedua BPJS
tersebut yang betul-betul amanah dalam menjalankan tugas dengan penuh tanggung
jawab dan memiliki iman yang tak tergoyahkan oleh berbagai godaan demi
kepentingan seluruh penduduk Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar