Jaket Terapi Kanker
Inez Nimpuno ; Dokter; Survivor Kanker Payudara;
Bekerja di Kementerian Kesehatan
Negara Bagian Australian Capital Territory
|
KOMPAS,
16 Januari 2016
Sakit apa pun yang pemicunya kanker selalu mencemaskan. Bukan
melulu penyakitnya, tetapi cara pengobatan, biaya, dan kepastian untuk
sembuh. Ini karena kanker membutuhkan terapi yang super jitu, tepat serta
cepat, dan belum tentu sembuh.
Dengan tingkat ”ketakpastian” yang begitu tinggi, wajar jika
selalu terbit harapan pada setiap ikhtiar pengobatannya. Dalam konteks itulah
mengapa terapi alternatif bagi pengobatan kanker begitu banyak ragamnya,
termasuk terapi ”Jaket Dr Warsito” yang saat ini sedang jadi pembicaraan
sebagai metode pengobatan kanker, terutama kanker payudara.
Tulisan ini
menawarkan cara menimbang pengobatan alternatif yang dalam metode
pengobatannya menggunakan logika kedokteran modern. Ini tentu tak termasuk
pengobatan alternatif lain, misalnya yang bersifat spiritual, di mana basis
cabang pengetahuannya memang beda dengan pengobatan modern.
Saat ini jagat diagnostik dan pengobatan kanker payudara di
Indonesia dibuat hangat oleh kontroversi penggunaan teknologi Electrical Capacitance Volume Tomography
(ECVT) dan Electro Capacitative Cancer
Therapy (ECCT). Alat itu diciptakan Warsito, ahli fisika, bersama
beberapa peneliti sejawatnya.
Kontroversi itu bersumber dari penggunaan ECVT/ECCT yang dikemas
dalam bentuk jaket atau helm dan diklaim sebagai metode jalan pintas untuk
diagnostik dan pengobatan kanker payudara. Adalah hak seseorang atas klaim
itu, akan tetapi begitu ditawarkan kepada publik sebagai ”terapi kedokteran”,
maka negara/Kementerian Kesehatan—dalam perannya sebagai penyelenggara,
wasit, dan pengawas kesehatan warga— wajib memenuhi hak informasi bagi warga
atas akuntabilitas pengujian metode ini sesuai kaidah ilmiah ilmu kedokteran.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,
dan Permenkes No 9/2014 telah mengatur tentang operasional klinik penyedia
pelayanan kesehatan. Atas dasar itu Kemenkes telah meminta wali kota
Tangerang untuk menertibkan Klinik Riset Kanker Dr Warsito, berdasarkan
laporan warga yang merasa dirugikan.
Tentu saja Kemenkes juga harus terbuka pada ”pendekatan
alternatif”. Untuk itu, Kemenkes telah berdialog dengan pihak Warsito dan
menyepakati tiga hal: meninjau ulang hasil penelitian PT CTECH Edward
Technology, tak menerima klien baru sampai hasil tinjauan ulang diketahui,
dan diperbolehkan melakukan terapi bagi klien yang sedang berproses.
Persoalan mendasar dari sisi pendekatan riset medis adalah soal
prinsip uji eksperimental yang dijalankan di dunia riset kedokteran. Sebab,
bagaimanapun, ini bukan riset ilmiah ilmu fisika melainkan domain pengobatan
manusia atau kedokteran.
Nyatanya, riset ”Jaket Dr Warsito” tidak menggunakan ukuran-
ukuran onkologi (ilmu kanker) yang berlaku dalam dunia ilmu kanker, sementara
pokok pengobatan itu adalah kanker. Hal lain yang disoal: prinsip dan
protokol penatalaksanaan terapi kanker.
Prinsip yang
”dilompati”
Kontroversi lainnya muncul ketika isu ini kemudian bergeser pada
”ego sektoral”. Penertiban Klinik Riset Dr Warsito oleh Kemenkes dibaca
sejumlah pihak sebagai hambatan terhadap temuan karya ”anak bangsa”, yang
kemudian dipakai untuk menggiring opini publik ke arah isu nasionalisme
sebagai alasan mengesampingkan akal sehat. Padahal, inti masalahnya adalah
bagaimana upaya mengatasi pengobatan kanker, meskipun berat dan sulit, tidak
mengabaikan prinsip-prinsip akademis dalam dunia kedokteran yang
langkah-langkahnya telah dibangun berdasarkan logika kerja dunia kedokteran.
Antara lain uji klinis yang bisa diverifikasi secara metodologis dan bukan
anekdotal.
Karena temuan Jaket Dr Warsito itu ada dalam domain ilmu
kedokteran, bukan fisika, maka tentu saja temuan itu harus memenuhi dua
prinsip dasar: prinsip terapi kedokteran berbasis bukti (evidence-based
medicine) dan prinsip praktik kedokteran berbasis nilai (valued–based
medicine).
Dari dua prinsip itu negara (melalui Kemenkes) telah
menerjemahkannya ke dalam UU No 9/2004 dan Permenkes No 9/2014 yang
menggariskan definisi klinik dan praktisi kesehatan. Tujuan pelaksanaan UU
dan peraturan negara adalah untuk mengatur pelayanan kesehatan guna mencapai
hasil yang terbaik bagi pasien. Manakala itu semua tak diterapkan, dengan
sendirinya tak ada perlindungan bagi para pasien.
Padahal, seluruh sandaran logika yang dibangun dalam terapi
Jaket Dr Warsito adalah dunia kedokteran. Bahkan alat dan simbol-simbol
diagnosis dan layanan pengobatannya menggunakan domain dunia kedokteran
modern.
Dari sisi itu Jaket Dr Warsito bermasalah. Sebab Klinik Riset Dr
Warsito hingga kini masih aktif melakukan pelayanan klinik diagnostik dan
pengobatan kanker, padahal dalam waktu yang bersamaan terapi itu diakui masih
dalam proses penelitian. Dalam domain ilmu kedokteran, obat atau cara terapi
di bidang kedokteran yang masih dalam tahap diteliti (riset) tak bisa
digunakan sebagai metode pengobatan hingga terbukti efektivitas cara
kerjanya.
Dalam kasus Jaket Dr Warsito, prinsip itu ternyata telah
”dilompati” dan langsung pada klaim bahwa Jaket Dr Warsito ”menyembuhkan
kanker” dan dipraktikkan sebagai standar pengobatan kanker. Di sisi ini,
pendekatan Jaket Dr Warsito jelas menyesatkan.
Tuntutan negara dan komunitas praktisi/ahli kedokteran sebetulnya
cukup sederhana. Selain harus ”berdasarkan bukti”, pendekatan terapi Jaket Dr
Warsito hendaknya tidak melompati beberapa tahapan yang terbentang antara uji
laboratorium, uji klinis, sampai tahap penggunaan jaket sebagai terapi
standar pada pasien kanker.
Kesaksian anekdotal yang bersumber dari pengalaman awam tentu
saja patut dipertimbangkan. Namun, yang dihadapi oleh pasien kanker dan
keluarga adalah soal ketidakpastian. Memberikan kepastian dengan pendekatan
yang teruji, terukur, dan rasional adalah keniscayaan yang tak dapat
dikesampingkan oleh kepentingan apa pun, tak terkecuali oleh semangat
nasionalisme atau demi ”karya anak bangsa”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar